Saturday, August 18, 2007

Kemerdekaan


Oleh : Azyumardi Azra

Apa arti kemerdekaan pada hari-hari peringatan HUT RI ini? Setiap tahun kita memperingati hari kebebasan dan kemerdekaan negeri ini dari kolonialisme dan imperialisme. Setiap tahun pula kita memperingati kemerdekaan dengan upacara bendera; mengibarkan sang saka merah putih, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan penuh semangat. Selebihnya adalah pesta rakyat; tarik tambang, panjat pinang, pacu karung, dan seterusnya. Itulah simbolisme dan rutinitas kita setiap kali merayakan 17 Agustus.

Apa makna kemerdekaan pada hari-hari ini? Makna kemerdekaan sangat boleh jadi berbeda dari tahun ke tahun, dari suatu masa kekuasaan suatu rezim ke masa kekuasaan rezim lainnya. Perasaan warga juga agaknya berbeda dari satu orang ke orang lain. Semangat dan nuansanya boleh jadi juga berbeda sejak bangsa kita merayakan hari kemerdekaan untuk pertama kali pada 17 Agustus 1946.

Alhasil, pada masa Bung Karno, salah satu dari dua proklamator kemerdekaan bersama Bung Hatta, dan juga presiden pertama RI, setiap peringatan hari kemerdekaan adalah hari-hari penuh heroisme. Masa Bung Karno adalah waktu-waktu untuk terus menyalakan semangat anti-Nekolim (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme). Tapi, dengan cara itulah Bung Karno memperkuat kesatuan bangsa ini --sebuah bangsa yang sangat majemuk dari berbagai segi; yang bagi banyak ahli luar, seperti Ben Anderson, hanya sebuah imagined communities, komunitas-komunitas terimajinasi, bukanlah sesuatu bangsa yang riil. Karena itu, salah satu jasa terbesar Bung Karno adalah sosoknya yang mampu memainkan peran sebagai solidarity maker, pencipta solidaritas dan kesatuan.

Semangat yang bernyala-nyala seperti itu mungkin tidak lagi tersisa di tengah kepungan globalisasi yang kian mencengkeram kita, jika globalisasi tidak dapat disebut sebagai 'neo-imperialisme' baru. Solidaritas kita juga semakin mencair dari hari ke hari. Dan, juga kian sulit mencari sosok kepemimpinan yang betul-betul bisa memainkan peran sebagai solidarity maker yang justru kembali dibutuhkan bangsa kita untuk merekat solidaritas, rasa senasib, dan sepenanggungan yang tercabik-cabik.

Lalu globalisasi. Lihatlah ke manapun kita memandang, yang terlihat lebih banyak wajah global dan globalisasi sejak yang paling kasat mata sampai kepada yang lebih subtil. Ada beragam jenis mobil mewah, fast food, durian bangkok, dan seterusnya dengan menyingkirkan rambutan, manggis, jeruk pontianak. Ada orang asing heran setengah mati; kok orang Indonesia lebih doyan buah pear atau apel daripada salak pondoh atau nangka, yang lebih dahsyat. Snobbish, kata dia.

Maka, heroisme dan semangat anti neo-kolonialisme, jika masih ada --ala Bung Karno-- kelihatan semakin tidak relevan lagi hari ini. Jika ada suara-suara anti neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sekarang ini; maka suara itu seperti teriakan pengembara yang tersesat di tengah gurun pasir yang luas tak bertepi.

Kembali retrospektif. Pada masa Presiden Soeharto, suasana, semangat, dan nuansa perayaan hari kemerdekaan pastilah lain pula. Masa-masa sepanjang kekuasaan rezim Soeharto peringatan hari kemerdekaan adalah hari-hari penggalangan tekad untuk meningkatkan stabilitas nasional; meningkatkan pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi; memperbesar 'kue' nasional untuk membaginya secara lebih merata kelak suatu waktu nanti; mengukuhkan persatuan dan kesatuan; dan memantapkan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Begitu bersemangatnya pemerintah Soeharto, sehingga timbul banyak ekses yang kini diratapi kalangan bangsa kita.

Sebaliknya, kini juga pada masa pasca-Soeharto kian banyak kalangan, terutama rakyat kecil, merindukan suasana masa Soeharto. Euforia kebebasan dan demokrasi selama hampir sepuluh tahun terakhir ini ternyata bukanlah waktu yang terlalu lama bagi bangkitnya kerinduan pada stabilitas; pada pertumbuhan ekonomi, di mana beras mudah didapat, di mana alat-alat kontrasepsi melimpah, di mana BBM mudah didapat; di mana para buruh lebih banyak bekerja daripada demonstrasi. Mereka juga rindu pada integrasi bangsa pada kesatuan dan persatuan; dan bahkan pada Pancasila sebagai faktor pemersatu yang masih tersisa.

Kemerdekaan yang sering diucapkan dalam tarikan napas yang sama dengan kebebasan pada masa reformasi ini memang cenderung menghasilkan kebebasan yang seolah tanpa batas. Sejak dari perseorangan, kelompok, bahkan lembaga atas nama kemerdekaan dan kebebasan melakukan berbagai hal yang pada gilirannya mengancam dan membahayakan kemerdekaan dan kebebasan itu sendiri.

Tujuh belas Agustus adalah masa yang paling tepat untuk merenungkan kembali perjalanan bangsa ini. Masa lampau tidak mungkin kembali; dan karena itu tidak sepatutnya pula kita terus merindukan masa lampau, yang bukan tidak ada pula cacat sejarahnya. Sikap paling bijak adalah belajar dan mengambil hikmah dari masa silam, dan dengan kepala tegak menghadapi masa depan; dengan kesediaan memperbaiki kesalahan baik di masa silam maupun sekarang dan menumbuhkan semangat dan percaya diri menyongsong hari esok.

No comments:

A r s i p