Wednesday, August 29, 2007

Defisit RAPBN 2008



Oleh :Fuad Bawazier

Mantan Menteri Keuangan

Pada 16 Agustus 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2008 di hadapan DPR-RI. Ini adalah RAPBN ketiga Presiden SBY. Para pengamat ekonomi umumnya kecewa dengan RAPBN 2008 ini. Pertama, karena belum ada perubahan policy APBN, masih seperti yang doeloe saja yang sudah berlangsung 40 tahun, yakni anggaran defisit dan utang luar negeri. Dalam RAPBN 2008 pemerintah akan menarik pinjaman baru Rp134,7 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 91,7 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 43 triliun (4,7 miliar dol;ar AS dengan kurs Rp 9.100).

Pinjaman Rp 134,7 triliun ini terjadi karena total pengeluaran (belanja) negara Rp 896,1 triliun sedangkan total pemasukan (pendapatan) negara dan hibah hanya Rp 761,4 triliun. Besarnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diasumsikan Rp 4.306,6 triliun. Dari hitungan ini besarnya defisit anggaran seharusnya Rp 134,7 triliun atau 3,1 persen PDB, bukan Rp 75 triliun atau 1,7 persen PDB. Presiden SBY melaporkan rencana total belanja negara hanya Rp 836,4 triliun, karena tidak memasukkan anggaran untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 59,7 triliun. Padahal ini adalah jumlah yang wajib dibayar pemerintah, dan dalam bentuk uang tunai. Sedangkan pinjaman baru luar negeri sebesar Rp 43 triliun itu tidak wajib ditarik, tergantung pemerintah.

Apabila pinjaman luar negeri Rp 43 triliun itu dibatalkan, maka total pengeluaran (belanja) negara Rp 853,1 triliun sehingga defisitnya Rp 91,7 triliun atau 2,1 persen PDB yang ditutup dengan pinjaman dalam negeri. Karena APBN dihitung atas dasar cash basis, maka perhitungan defisit anggaran seharusnya sederhana dan lurus saja seperti yang diajarkan orangtua atau akal sehat kita. Defisit adalah selisih antara belanja atau pengeluaran (termasuk beban wajib seperti pembayaran utang luar negeri) dan pendapatan atau pemasukan yang bersumber dari kekuatan/hak sendiri, yang tidak menambah beban atau kewajiban di kemudian hari (utang).

Saldo dan defisit Tegasnya, besarnya defisit adalah sama dengan besarnya kewajiban/utang baru yang ditarik untuk menutup selisih kurang anggaran, baik seluruhnya ataupun sebagian, sebagai konsekuensi lebih besar pasak dari pada tiang. Dalam hal selisih kurang anggaran ditutup dari tabungan atau penjualan BUMN/aset negara lainnya (bukan utang baru atau kewajiban baru), maka hasil penjualan tersebut merupakan pemasukan/pendapatan negara, dengan konsekuensi aset atau kekayaan negara berkurang.

Demikian pula bila selisih kurang anggaran ditutupi dari hasil penjualan atau menyewakan pulau atau aset negara, maka hasilnya merupakan pemasukan atau pendapatan negara yang mengurangi besarnya defisit anggaran, dengan konsekuensi stock aset negara juga berkurang. Bila aset negara bertambah karena temuan kekayaan alam seperti emas atau migas, tetapi belum memberikan pemasukan atau pendapatan negara, maka yang berubah barulah stock aset atau kekayaan negara, tetapi tidak/belum berpengaruh pada perhitungan besarnya defisit anggaran.

Jadi perlu dibedakan dan dipisahkan antara saldo atau stock kekayaan negara dengan defisit anggaran. Begitu pula dengan saldo atau stock utang negara dengan defisit anggaran. Gali lubang tutup lubang itu tidak mengurangi atau mengubah perhitungan defisit. Jadi perlu berhati-hati dengan perbedaan antara utang baru (menambah) dan pembayaran utang lama (mengurangi), karena mudah dimanipulasi dalam perhitungan defisit.

Bila negara membayar utang lama lebih besar dari pada menarik utang baru atau sebaliknya, yang pasti berubah adalah saldo utangnya dan rasio utang terhadap PDB. Sedangkan pengaruhnya terhadap anggaran (defisit, surplus, atau balance) tergantung pada besarnya selisih belanja (termasuk pembayaran utang pokok) dengan pendapatan negara termasuk hibah, pajak, dan lain-lain. Defisit anggaran mencakup masa perhitungan atas dasar tahunan (12 bulan) sedangkan saldo utang adalah keadaan per tanggal tertentu. Jadi, defisit adalah selisih yang ditutup dengan utang atau kewajiban baru. Artinya saldo utang hanya dapat ditutup atau dikurangi dari penghapusan (write off), pengurangan (hair cut), pembayaran kembali baik dengan uang tunai (yang bukan berasal dari utang baru), atau dibayar dengan barang atau jasa, atau dari sumber hibah.

Kedua, RAPBN 2008 dinilai banyak obral janji dan terlalu optimistis, tetapi kurang realistis bila dibanding dengan capaian selama ini, khususnya pertumbuhan ekonomi 6,8 persen. Ketiga, RAPBN 2008 ini dinilai belum efisien dan efektif. Contohnya, target pengembalian dana korupsi hanya Rp 26,5 miliar atau 10 persen saja dari anggaran pemberantasan korupsi yang Rp 264 miliar. Semestinya dibalik, yaitu anggaran pemberantasan korupsi hanya 10 persen dari dana pengembalian korupsi, dan hal ini seharusnya sangat mungkin tercapai mengingat luas, marak, dan besarnya korupsi di Indonesia. Jangan bagaikan mengejar ayam kehilangan sapi.

Keempat, anggaran dana bantuan sosial Rp 67,4 triliun yang dicurigai sebagai upaya politik mendekati rakyat menjelang Pemilu 2009. Kelima, RAPBN 2008 ini bukan saja dinilai sarat dengan window dressing dan penuh wacana angin surga, tetapi juga sebagai strategi cuci otak untuk terus-menerus membangun opini publik bahwa pembangunan ekonomi telah berhasil, dan opini bahwa tahun depan akan lebih sukses lagi. Informasi 'sukses' yang menyesatkan tetapi terus-menerus dicekokkan tim ekonomi pemerintah selama 40 tahun ini terbukti cukup berhasil membingungkan politisi atau sekurang-kurangnya meredam berita kegagalan ekonomi. Untuk mengerem wacana-wacana gombal ini memang sudah saatnya dibuat indeks janji/rencana SBY dengan realisasinya.

Cermin kegagalan
Sebenarnya RAPBN 2008 ini adalah kesempatan terakhir SBY untuk membuktikan perubahan yang pernah dijanjikan sekaligus membuktikan bahwa tidak hanya Presiden RI yang berganti tetapi juga rezim ekonominya. Seharusnya RAPBN 2008 berani membebaskan Indonesia dari jebakan utang luar negeri yang sudah berlangsung sejak awal orde baru yang merugikan ekonomi Indonesia dan mengurangi kedaulatan kita.

RAPBN 2008 ini juga mencerminkan kegagalan ekonomi pemerintah SBY karena tidak sesuai dengan target-target dalam Rencana Pembanguan Jangka Panjang (RPJP) yang antara lain, adalah defisit 0 persen, agar tidak menambah utang baru, apalagi utang dalam mata uang asing. Utang luar negeri dengan formatnya selama ini telah lama menjadi simbol bahwa tim ekonomi Indonesia masih berkhidmat atau tunduk pada policy dan kepentingan yang diarahkan Bank Dunia dan grupnya. Selama rezim ekonomi pemerintah yang sering disebut dengan istilah Mafia Berkeley masih rezim boneka kepentingan asing, mereka akan mati-matian dengan berbagai cara dan argumentasi untuk mempertahankan anggaran defisit demi mempertahankan kehadiran utang luar negeri.

Semasa orde baru, Mafia Berkeley berbohong menutupi anggaran defisit dengan mengatakannya sebagai anggaran berimbang sehingga pos utang luar negeri disebut dengan istilah keren penerimaan pembangunan, dan kreditor disebut donor. Kini mereka terpaksa mengakuinya sebagai anggaran defisit, tetapi perhitungannya dicoba untuk dikecilkan.

Ikhtisar
- APBN 2008 masih menganut gaya lama, yakni anggaran defisit yang membuka peluang masuknya utang baru.
- Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen dalam APBN 2008 juga terlampau optiistis dibanding realitas capaian selama ini.
- Perlu dibuat indeks janji/rencana pemerintahan SBY serta realisasinya.
- Seharusnya, RAPBN 2008 ini berani membebaskan Indonesia dari jebakan utang luar negeri yang merugikan kedaulatan bangsa.

No comments:

A r s i p