Wednesday, August 29, 2007

Syarat Calon Perseorangan


Oleh : Anas Urbaningrum

Ketua DPP Partai Demokrat

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang bagi munculnya calon perseorangan di dalam pilkada, segera diikuti dengan debat tentang bagaimana putusan tersebut diimplementasikan. Salah satu isu yang penting dalam konteks implementasi tersebut adalah syarat dukungan bagi calon perseorangan. Ini pula yang akan menjadi titik perhatian dan tarik-menarik politik dalam pembahasan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada banyak pikiran dan kepentingan yang menyertai debat tentang hal ini. Ada yang mengusulkan syarat dukungan calon perseorangan harus sama dengan syarat calon dari parpol, yakni 15 persen. Ada pula yang mengusulkan sama dengan syarat calon perseorangan dalam pilkada di NAD, yakni 3 persen (dari jumlah penduduk). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan syarat yang lebih ringan dari 3 persen pemilih, khusus pada daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar, karena angka kumulasinya juga besar. Usulan-usulan lain berkisar 5 persen sampai 10 persen.

Memang untuk menemukan syarat dukungan yang adil dan proporsional tidaklah gampang. Bukan saja karena hal ini adalah perkara baru dalam pilkada, tetapi juga karena banyak selera dan argumentasi yang hampir semuanya mempunyai dasar rasionalitas politik. Karena itu dibutuhkan kristalisasi gagasan dan kepentingan yang bersandar pada tujuan utama hadirnya calon perseorangan, yakni membuka ruang demokrasi yang lebih lebar dalam rekrutmen kepemimpinan politik lokal dan meningkatkan kualitas pilkada.

Landasan pijak
Atas dasar hal tersebut, hemat saya ada beberapa landasan pijak yang harus kita pertimbangkan dalam merumuskan syarat dukungan bagi calon perseorangan. Bukan semata-mata angka yang terkait dengan pemilih, tetapi juga berhubungan dengan teknis pelaksanaannya. Bukan saja terkait dengan hubungan antara calon dan pendukung, tetapi juga dengan pihak penyelenggara, bahkan terkait dengan filosofi dasar kehadiran calon perseorangan itu sendiri.

Pertama, salah satu bagian dari amar putusan MK menyatakan bahwa syarat calon perseorangan harus mempertimbangkan dua hal, yakni keseimbangan dengan syarat calon dari parpol dan tidak boleh lebih berat dari syarat calon dari parpol. Jika boleh diberi penafsiran politik, keseimbangan bisa dimaknai sebagai kesepadanan yang adil. Ini melibatkan 'rasa politik' tentang keadilan persyaratan tersebut.

Jika calon dari parpol dipersyaratkan harus didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai 15 persen kursi atau suara, tentu saja tidak serta-merta seimbang, sepadan dan adil, jika calon perseorangan juga dipersyaratkan didukung oleh 15 persen pemilih. Kita perlu melihat dengan objektif tentang dua hal yang berbeda, dukungan parpol dan dukungan pemilih. Juga dua entitas politik yang berbeda, calon yang didukung parpol dan calon yang berangkat dari dukungan pemilih. Karena itu, terasa tidak seimbang dan adil, jika syaratnya disamakan angkanya. Angka 15 persen bagi calon perseorangan akan mudah dipahami sebagai ketidakikhlasan dan hambatan terhadap munculnya calon perseorangan.

Kedua, putusan MK tentang peluang bagi calon perseorangan bukan bermaksud untuk mematikan partai politik. Jika maknanya karena ketidaksukaan kepada partai politik, tentu ini akan menjadi bencana bagi demokrasi. Karena itu, pasti dan sudah jelas bukan disemangati oleh kebencian kepada partai politik. Atas dasar itulah, maka rumusan persyaratan bagi calon perseorangan juga mesti adil terhadap eksistensi dan masa depan partai politik.

Jika angkanya terlalu ringan, disengaja atau tidak, akan menyebabkan inflasi politik bagi parpol. Dengan demikian, kehadiran calon perseorangan tidak berfaedah untuk mendorong perbaikan internal parpol, justru malah menjadi sebab semakin ringkihnya parpol di mata publik. Kalau ini yang terjadi, maka meringan-ringankan syarat bagi calon perseorangan tidak ubahnya refleksi dari kepentingan untuk membuat parpol menjadi makin kerdil dan tidak penting.

Ketiga, faktor penyelenggara pilkada juga perlu mendapatkan perhatian. Jelas bahwa penyelenggara pilkada, KPUD, adalah pihak yang akan melakukan verifikasi dukungan terhadap para calon, termasuk calon perseorangan. Verifikasi dukungan calon dari parpol jelas sangat berbeda dengan calon perseorangan. Verifikasi dukungan calon perseorangan akan jauh lebih berat dan rumit ketimbang calon dari parpol.

Kita meyakini bahwa KPUD akan mampu dan sanggup melakukan tugasnya, meskipun pekerjaan itu sangat berat. Oleh karena itu, kita perlu mengalkulasi kemampuan maksimal KPUD untuk melakukan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan. Tidak sepatutnya memberikan beban yang berlebih kepada KPUD. Jika calon perseorangan terlalu banyak, tentu volume kerja untuk verifikasi saja akan berlipat-lipat. Beban yang terlalu berat akan berimplikasi pada keterbatasan hasil. Ujungnya adalah tambahan beban politik berupa protes dan tekanan.

Kalkulasi angka bisa kita buat. Jika syarat calon perseorangan ditetapkan 5 persen dari julmlah pemilih, secara teoretis, maksimal akan memungkinkan munculnya 19 calon perseorangan. Dapat dibayangkan bagaimana beban verifikasi yang harus ditanggung oleh KPUD. Bagaimana kalau 3 persen atau lebih ringan dari 3 persen? Jelas akan lebih berat lagi.

Beberapa pertimbangan tersebut perlu kita lihat untuk merumuskan syarat calon perseorangan yang seimbang, sepadan, adil, dan proporsional dengan calon yang berangkat dari dukungan parpol. Bukan semata-mata untuk kepentingan calon perseorangan, juga kepentingan parpol dan kepentingan teknis penyelenggaraan, tetapi untuk kepentingan bersama bagi penyelenggaraan pilkada yang lebih berkualitas dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal agar makin stabil, efektif dan produktif bagi rakyat.

Angka proporsional Atas dasar itulah, hemat saya, angka yang adil dan proporsional untuk calon perseorangan adalah separuh dari syarat calon dari parpol. Jika calon dari parpol didukung sekurang-kurangnya 15 persen kursi atau suara, cukup adil dan proporsional jika calon perseorangan didukung sekurang-kurangnya 7,5 persen dari jumlah pemilih. Angka 7,5 persen tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan. Jadi keseimbangan yang dimaksud oleh MK bisa kita rumuskan dengan angka 15 persen untuk calon parpol dan 7.5 persen untuk calon perseorangan.

Selain itu, perlu ditambah dengan syarat sebaran dukungan. Syarat ini mewajibkan dukungan untuk calon perseorangan tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pilkada gubernur/wakil gubernur atau 50 persen kecamatan untuk pilkada bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota. Hal ini untuk lebih 'menjamin' bahwa calon yang bersangkutan dikenal dan didukung secara luas oleh rakyat setempat. Ringkas kata, sebaiknya kita tidak terjebak pada jalan pikiran untuk memberat-beratkan atau meringan-ringankan syarat dukungan bagi calon perseorangan. Yang wajar, adil dan proporsional saja, sehingga baik bagi semua dan produktif bagi masa depan demokrasi kita, khususnya di tingkat lokal. Wallahu a`lam.

Ikhtisar
- Setelah putusan MK yang membuka peluang bagi munculnya calon perseorangan dalam pilkada, perdebatan mulai berkembang soal syarat yang diperlukan calon tersebut.
- Untuk menentukan syarat yang adil dan proporsional bagi calon perseorang tidaklah mudah.
- Angka yang moderat untuk menentukan dukungan bagi calon perseorangan adalah separuh dari syarat bagi calon dari parpol.
- Dukungan calon perseorangan juga harus tersebar di minimal 50 persen wilayah pemilihan.

1 comment:

Unknown said...

Saya Ibu Hannah Boss, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada individu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (hannahbossloanfirm@gmail.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.

A r s i p