Thursday, August 16, 2007

Merdeka bagi Rakyat Miskin

Benny Susetyo

Setiap memperingati hari kemerdekaan, selalu muncul pertanyaan, seberapa jauh kita benar-benar merdeka?

Bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada pedagang kaki lima yang tempat berjualannya digusur semena-mena, warung dirobohkan paksa, atau buruh ditipu majikan, maka kemerdekaan merupakan omong kosong. Bagi mereka, kemerdekaan hanya fakta sejarah.

Tidak menjiwai kehidupan

Kemerdekaan tidak menjiwai kehidupan masyarakat karena berhenti sebagai fakta sejarah. Kemerdekaan adalah cerita masa lalu dan tidak terkait dengan masa kini. Keharuan dan keceriaan dalam aneka perlombaan, pemutaran film, upacara pengibaran bendera, kerja bakti memerahputihkan kampung sering hanya seremoni agustusan. Rutinitas mencoba memaknai heroisme.

Kemerdekaan kita baru sebatas kata-kata, sulit menjadi jiwa peri kehidupan masyarakat, sebab semua orang ingin meraih "kemerdekaannya" masing-masing. Jiwa kemerdekaan sebagai kesatuan rasa kolektif kebangsaan berubah menjadi keserakahan pribadi-pribadi untuk memiliki kemerdekaan masing-masing.

Makna kemerdekaan terasa sempit bila hanya merdeka dari penjajah pada 17 Agustus 1945. Seolah setelah kemerdekaan itu kita tak lagi memiliki musuh bersama, atau tak ada lagi yang bisa dijadikan musuh bersama. Padahal seiring dengan perubahan era, masih banyak musuh yang harus dihadapi bersama.

Kemerdekaan bukan sekadar upacara di tanah lapang, melainkan memberi kelapangan luas kepada rakyat untuk mengisi kemerdekaan ini tanpa gangguan.

Keadilan yang kian melepuh ibarat api dalam sekam. Ketidakadilan merupakan musuh yang terus menggerogoti jiwa kemerdekaan 1945. Siapakah yang tidak khawatir bila jiwa kemerdekaan 1945 suatu saat runtuh karena kesadaran elite untuk bersikap adil terhadap rakyatnya tergerus sikap egois, cinta kekuasaan, dan nafsu serakah.

Tanpa meremehkan arti kemerdekaan 1945, inilah fakta kehidupan bangsa sepanjang merdeka. Dialektika "mengisi kemerdekaan" selama 62 tahun sering hampa bagi kaum papa. Mereka seolah bukan pribadi yang berhak menikmati kemerdekaan.

Para pahlawan yang gigih berjuang pada masa lalu tak pernah membayangkan kehidupan anak yang kesulitan mengakses pendidikan. Faktanya, berapa juta anak Indonesia merasa sengsara karena harus berpendidikan atau lebih sengsara karena sulitnya berpendidikan?

Para elite bangsa harus bertanggung jawab atas aneka persoalan yang menyangkut nestapa kehidupan rakyat pada masa merdeka ini. Mereka telah memperlakukan negara dan kekuasaan bukan untuk membuktikan kesungguhan kemerdekaan, melainkan meremehkannya dengan berbuat tidak adil dan menghambat kreativitas masyarakat.

Para elite bangsa yang tidak merasa keliru mengelola negara, dengan menghamba kepada neoimperialisme asing ataupun utang luar negeri, sudah saatnya menyadari dampak yang kian parah dari ketidaksiapan bangsa menghadapi globalisasi. Kita nyaris tidak memiliki nilai tawar di mata internasional. Bahkan lebih buruk, pembangunan yang telah dijalankan 62 tahun, sebagian besar tidak jelas untuk siapa.

Masyarakat miskin tetap menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite kekuasaan. Kemiskinannya menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk keuntungan tertentu. Ini semua dilakukan dalam situasi dan kondisi yang disebut merdeka.

Merdeka bermakna bebas

Merdeka bermakna bebas dari penjajahan fisik ataupun mental. Merdeka bermakna kolektif, dengan kemerdekaan kolektif menjadi cermin kemerdekaan individual, bukan sebaliknya.

Kaum miskin butuh hak untuk menikmati kemerdekaan. Kemerdekaan bukan hanya milik elite politik dan orang kaya. Kini, kemerdekaan belum merata. Tidak semua jiwa yang hidup di Tanah Air ini menikmati kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Semakin tua umur kemerdekaan, selayaknya melahirkan bangsa dengan elite lebih bijak. Semakin tua umur kemerdekaan, seharusnya menambah kedewasaan berpikir, merasa, dan bertindak.

Kemerdekaan 1945 memiliki makna amat dalam bagi pembebasan manusia. Ketidakadilan ekonomi, agama, sosial, budaya dan politik adalah bentuk ketidakmerdekaan. Membiarkan ketidakadilan berkembang, berarti membiarkan pengkhianatan terhadap arti kemerdekaan.

BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institute

No comments:

A r s i p