Thursday, August 23, 2007

Restrukturisasi Kepartaian

Chris Siner Key Timu

Pada awal Orde Baru (1966-1967) dicanangkan gagasan restrukturisasi kepartaian politik. Sistem multipartai yang beroperasi pada zaman demokrasi parlementer (1950-1959) dan demokrasi terpimpin Orde Lama (1959-1965) dinilai tidak menunjang stabilitas politik dan pemerintahan.

Dengan restrukturisasi kepartaian, jumlah partai tidak terlalu banyak, meningkatkan kinerja kepartaian, dan mendorong pemerintah bekerja efektif.

Kelemahan sistem multipartai terletak pada jumlah partai yang banyak, karakternya berbasis ideologis primordial-eksklusif, dan berorientasi mengejar kekuasaan pemerintahan. Kelemahan itu perlu diperbaiki. Jumlah partai tidak banyak. Karakter partainya pun berubah menjadi berbasis ideologis-inklusif dan berorientasi program kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Dinamika kehidupan politik tidak lagi didominasi pertarungan antarpartai politik untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan. Partai terdorong mengarahkan dinamikanya kepada mengagregasi aspirasi rakyat dan memperjuangkannya melalui program kepartaian.

Stabilitas politik

Salah satu gugatan atas sistem parlementer dengan sistem multipartai adalah tidak adanya stabilitas politik dan pemerintahan. Bukti empiris adalah jatuh bangunnya kabinet pada 1950-1959, bahkan ada yang berumur kurang dari satu tahun.

Dalam sistem parlementer dibenarkan penggantian pemerintahan jika DPR menyatakan mosi tidak percaya. Periodisasi penggantian pemerintahan tidak teratur dan tidak menentu. Kabinet tidak memiliki waktu cukup dan konsentrasi memadai untuk menjalankan programnya.

Sistem presidensial dengan presiden sebagai kepala pemerintahan, periodisasi pergantian pemerintahan teratur (lima tahun), kecuali terjadi sesuatu yang luar biasa. Stabilitas pemerintahan terjamin. Gangguan mungkin terjadi karena sistem presidensial tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Itu karena kurangnya kepercayaan diri dan kemampuan presiden dalam mengelola pemerintahan. Apalagi jika dalam menyusun kabinet digunakan pola parlementer. Terjadi celah dan peluang untuk diganggu dan dimanfaatkan partai-partai yang berkarakter memburu kekuasaan.

Diperlukan beberapa partai

Dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung, Agustus 1966, dimunculkan gagasan lima partai politik, dengan paradigma yang merujuk latar belakang politik-ideologi, sosial-kultural, dan sejarah kepartaian. Dua partai merepresentasi komunitas politik Islam, satu merepresentasi komunitas politik kebangsaan, satu merepresentasi komunitas politik kristiani, satu merepresentasi komunitas sosialis/kekaryaan. Hampir bersamaan waktunya, dalam Musyawarah Rakyat Jawa Barat muncul gagasan pengelompokan partai dalam dua kelompok (dwigrup), Yang satu kelompok material, berorientasi pokok kepada bidang kehidupan lahiriah masyarakat, tanpa melupakan bidang spiritual dan kultural. Yang lain, kelompok spiritual, dengan orientasi pokok kepada bidang spiritual dan sosial-kultural, tanpa melupakan bidang kehidupan lahiriah.

Dua gagasan itu tidak sempat diwacanakan secara luas. Gagasan itu diproyeksikan untuk berproses secara demokratis, tetapi lalu tersingkir oleh anasir-anasir otoritarian yang antidemokrasi. Lalu dilakukan operasi politik rekayasa dan rekayasa politik. Partai-partai digiring dan dipaksa berfusi. Yang berlatar belakang Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan, lainnya menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Dipertontonkan sandiwara demokrasi di bawah panji "Demokrasi Pancasila" atas nama Orde Baru. Dilaksanakan pemilu akal- akalan, penuh manipulasi guna memenangkan Golkar yang direkayasa sebagai mayoritas (mutlak) tunggal. Struktur itu berakhir pada awal gerakan reformasi karena dinilai anti-demokrasi.

Restrukturisasi kepartaian

Reformasi hanya bicara tentang demokratisasi politik tanpa restrukturisasi kepartaian. Pertumbuhan pesat jumlah partai politik dianggap sebagai keberhasilan demokratisasi. Sebanyak 48 partai politik dalam Pemilu 1999 sebagai reaksi balik atas lima kali pemilu Orde Baru yang hanya menampilkan tiga kontestan. Dengan undang-undang kepartaian yang ketat melalui ketentuan electoral threshold 3 persen, tampil 24 partai politik dalam Pemilu 2004.

Jumlah partai yang sederhana dinilai kompatibel terhadap sistem presidensial. Yang ideal adalah sistem dua partai, dengan dua partai besar yang relatif sama kuat dan bertarung di setiap pemilu, dengan menggunakan sistem pemilu distrik.

Indonesia masih sulit menggunakan sistem ini. Sejarah kehidupan kepartaian yang pluralistik secara ideologis dan sosial-kultural mempersulit pilihan sistem dua partai. Namun, kebutuhan akan restrukturisasi kepartaian adalah bagian integral upaya mematangkan dan mendewakan kehidupan demokrasi serta untuk memastikan bekerjanya sistem presidensial.

Untuk itu, harus ditumbuhkan kemauan politik dari semua komponen komunitas politik Indonesia. Perlu diupayakan struktur kepartaian dengan jumlah yang kompatibel bagi fungsi sistem presidensial. Lebih dari 10 partai rasanya sulit. Kurang dari 10 partai perlu dipertimbangkan. Mungkin lima partai seperti diwacanakan pada Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966, di Bandung, dapat menjadi rujukan, tentu dengan revisi dan modifikasi. Di satu pihak dapat menampung pluriformitas latar belakang komunitas politik Indonesia. Di lain pihak jumlahnya sederhana, untuk mengelola interaksi positif dan konstruktif dalam kehidupan politik nasional. Proses restrukturisasi harus demokratis, ketentuan electoral threshold adalah salah satu cara.

Pola pengelompokan partai (koalisasi) yang memerintah dan yang oposisi hendaknya merujuk paradigma "ideologi inklusif" (terbuka), visi dominan, dan prioritas misi serta latar belakang kesejarahan partai-partai. Termasuk posisi, peran, dan sepak terjangnya di masa Orde Baru.

Rasanya tidak cukup logis, PDI-P dan Golkar dalam kubu (kelompok) yang sama, baik yang memerintah maupun oposisi. Lebih logis jika keduanya ada pada kubu berbeda.

Chris Siner Key Timu Pemerhati Masalah Sosial Politik/Pusat Kajian dan Edukasi Masyarakat (Pakem)

No comments:

A r s i p