Friday, August 24, 2007

Berpeluh di Tengah Paradoks

Doni Koesoema A

Guru yang berpeluh di bawah terik matahari berunjuk rasa di jalanan menyampaikan aspirasinya bisa dibaca sebagai sebuah usaha untuk survive di tengah paradoks profesi yang diembannya.

Paradoks adalah sebuah istilah untuk menggambarkan, dalam sebuah momen terdapat serentak dua hal yang seolah bertentangan dan bertolak belakang. Sebagaimana demo guru, misalnya, demo mereka bisa dikatakan tindakan paradoksal yang melahirkan cerca maupun puji.

Fenomena kontemporer

Guru berdemo adalah fenomena kontemporer dalam dunia pendidikan kita. Masalahnya bisa amat politis seperti kasus demo guru di Kampar, amat ekonomis seperti saat mereka menuntut kenaikan gaji, amat konstruktif seperti ketika menuntut kredibilitas pemerintah agar setia pada tuntutan konstitusi tentang anggaran pendidikan, amat edukatif saat mereka menuntut dihapuskannya ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa, dan amat integratif saat mereka menuntut dilaksanakannya sertifikasi sebagai syarat uji kompetensi. Meski demikian, demo guru tetap menyisakan paradoks.

Ketika guru berdemo, banyak orangtua memprotes dan menuntut agar para guru "kembali ke sekolah", tidak lagi "turun ke jalan" sebab orangtua merasa dirugikan dengan perilaku guru yang mangkir dari tugasnya mendidik murid.

Namun, serentak tuntutan dibarengi kenyataan, orangtua membiarkan anak-anak mereka dikuasai televisi atau play station saat mereka pulang dari sekolah. Apa yang orangtua serukan tidak mereka terapkan sendiri saat di rumah.

Ketika pemerintah gencar melancarkan program otonomi pendidikan, entah melalui Manajemen Berbasis Sekolah maupun pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), serentak pula disadari pentingnya standardisasi, entah berupa supervisi manajemen sekolah oleh lembaga publik maupun sistem penilaian yang berstandar nasional berupa ujian nasional.

Ketika setiap sekolah berlomba meningkatkan kualitasnya untuk menjadi sekolah bertaraf internasional yang membawa jargon global, serentak pula disadari pentingnya perawatan dan pengembangan tradisi lokal. Maka muncul jargon baru, "berpikir global, bertindak lokal".

Saat para guru dituntut untuk lebih menghargai perbedaan, mengembangkan proses pembelajaran yang menekankan multikecerdasaan, melalui KTSP yang memberikan otonomi bagi guru, pada saat bersamaan negara menuntut adanya standar nasional yang terukur untuk menentukan kualitas pendidikan secara nasional, melalui tata cara penilaian yang amat sempit berupa ujian nasional.

Kiranya bukan hanya guru yang terempas di tengah paradoks kehidupan. Dunia pendidikan rupanya selalu ada dalam dua tarikan ini. Justru karena posisi strategisnya bagi perubahan dalam masyarakat inilah dunia pendidikan harus selalu menghidupi diri di antara dua paradoks ini. Sebab, pada hakikatnya, hidup menyisakan semacam ambigu, dan ambigu senantiasa menjadi pembuka jalan bagi kelahiran ide cemerlang dan genius yang terlahir dari rahim kreativitas.

Jika demikian masalahnya, untuk memetakan fenomena dunia pendidikan kita, menjembatani antara yang global dan lokal, sentralisasi dan desentralisasi, otonomi dan standardisasi, perbedaan dan integrasi membutuhkan keluasan pandang, kelapangan hati, dan kesediaan untuk terus berubah.

Tepat apa yang dikatakan Andy Hargreaves (1997), pembaruan dalam pendidikan akan tepat sasaran saat arah pembaruan membidik situasi nyata profesi guru yang sebenarnya menerima mandat yang sifatnya kontradiktoris. Karena itu, yang dibutuhkan guru adalah "fleksibilitas dan kebijaksanaan (discretion) dan tingkat keterampilan lebih tinggi agar dapat menjawab kebutuhan siswa yang hidup dalam dunia kompleks dan penuh paradoks".

Pembaruan dari guru

Lari dari paradoks bukanlah jalan yang tepat bagi pembaruan pendidikan. Demikian juga jatuh dalam satu sisi ekstrem bukan jalan keluar yang bijak. Mungkin para guru perlu menyadari paradoks hidup itu senantiasa hadir dalam hidupnya, sebab mereka terpanggil untuk menghayati sebuah profesi yang mandatnya sering bersifat kontradiktoris.

Di tengah paradoks dunia pendidikan seperti ini, pembaruan radikal dalam dunia pendidikan hanya bisa diharapkan terjadi justru dari kalangan guru.

Pertama, guru dan sekolah harus tahu ke mana mereka akan melangkah. Tujuan menjadi agenda vital bagi setiap pendidik. Tentu saja, dalam konteks pendidikan, tujuan yang dipaksakan dari luar tidak akan efektif di lapangan. Arah di mana mereka akan melangkahkan kakinya harus berasal dari dimensi interioritas guru. Tanpa motivasi internal ini, pembaruan pendidikan hanya akan superfisial serta mudah ditinggalkan.

Kedua, di tengah dunia yang berubah cepat, dibutuhkan kesediaan dari para guru untuk terus mengevaluasi visi dan misinya. Mungkin tidak akan ada satu konsensus tentang hasil akhir, tetapi paling tidak para guru bisa saling berbagi pengalaman sebagai pribadi yang sama-sama ada dalam perjalanan mencerdaskan bangsa, dengan tujuan yang bersifat temporer dan dapat diraih setahap demi setahap.

Ketiga, teori dan praktik pendidikan menunjukkan, tanpa keterlibatan emosional dari guru, segala proses pembelajaran menjadi tidak berjiwa dan tidak hidup bagi siswa. Semata-mata menekankan kemampuan intelektual tanpa melibatkan perasaan, emosi, bela rasa, tantangan, kegembiraan, dan lainnya, hanya akan menghasilkan pembelajaran yang kering, yang pada gilirannya meminggirkan kehadiran individu yang sedang belajar.

Guru memang akan terus berpeluh di tengah paradoks profesinya, tetapi mereka tidak selalu harus "turun ke jalan" atau hanya "tinggal di dalam kelas". Menghidupi sebuah ruang penuh makna di antara dua paradoks yang mendesak merupakan keistimewaan panggilan setiap orang yang memutuskan diri menjadi guru. Kreativitas mereka akan menjadi saksi bahwa paradoks tidak akan hilang, tetapi justru jadi sarana yang berguna bagi uji pertumbuhan kemanusiaan dan peradaban.

Para guru, jangan takut berpeluh di tengah paradoks kehidupanmu.

Doni Koesoema A Moderator SMA Gonzaga, Jakarta

No comments:

A r s i p