Thursday, August 9, 2007

Hasil Pilkada Minimalis

Effendi Gazali

Hasil hitung cepat (quick count) Pilkada DKI Jakarta yang bisa dipantau hingga pukul 18.00 WIB dari sejumlah lembaga survei menunjukkan kemenangan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto sekitar 56,12 hingga 59 persen atas Adang Daradjatun-Dani Anwar (41 hingga 43,8 persen).

Apa pun hasil akhir resmi nantinya, Pilkada DKI Jakarta tampaknya didesain banyak pihak untuk menuju sebuah pilkada minimalis. Kemampuan mendesain, mempertahankan, dan mengantisipasi berbagai implikasi bawaan pilkada minimalis itulah yang membawa Fauzi menjadi orang nomor satu di Ibu Kota.

Unsur-unsur pilkada minimalis itu pertama terlihat dari jumlah pasangan kandidat. Dua puluh partai, meski sempat diwarnai tarik ulur pada beberapa bulan terakhir, akhirnya sepakat mengusung nama Fauzi Bowo. Diyakini, Fauzi dan tim suksesnya amat percaya, mempertahankan jumlah peserta pilkada yang minimalis adalah syarat kemenangan mereka. Jika pasangan ketiga muncul, bisa dibayangkan akibatnya atas kubu Fauzi. Rentang jarak 13-15 persen adalah angka rawan bagi pasangan mana pun.

Unsur Fauzi Bowo

Unsur Fauzi Bowo sendiri adalah elemen minimalis kedua. Buktinya, ikatan partai-partai dengan Fauzi begitu kuat sehingga pertentangan soal siapa yang akan mendampingi Fauzi sebagai calon wakil gubernur tidak mampu membubarkan koalisi ini sampai saat pendaftaran ke KPUD. Padahal partai-partai politik itu, terutama yang perolehan kursinya cukup untuk mengajukan kandidat seorang diri, bisa saja muncul dengan banyak nama lain di Jakarta yang penuh pesohor politik, aktivis, artis, akademisi, dan sebagainya.

Ikatan unsur minimalis pertama dan kedua itu berjalan bersama waktu dan saling memperkuat. Mungkin ada yang mengatakan, secara alamiah semua hitungan dari berbagai sisi akan mengantar Fauzi. Padahal, betapa pun alamiahnya suatu kondisi awal, ia membutuhkan aktor-aktor komunikasi politik yang melakukan lobi-lobi ke berbagai partai politik dan penyusunan opini publik. Pesan utamanya: jika tidak mengusung Fauzi Bowo, calon mana pun—apalagi jika lebih dari dua pasangan—akan kalah menghadapi Adang-Dani dengan PKS yang solid.

Dari sini bisa dimengerti kerasnya perlawanan aktor-aktor politik di sekitar kubu Fauzi (Koalisi Pelangi) atas isu penundaan pilkada, apalagi tentang diizinkannya calon perseorangan sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007.

Saking kuatnya fokus pada Fauzi, nama Prijanto terkesan sebagai pelengkap. Deklarasi pasangan Fauzi-Prijanto pun baru dilakukan 1 Juni 2007. Padahal sebuah lembaga survei telah mengiklankan hasil tracking survey yang sudah dimulai sejak Mei dengan menempatkan Prijanto. Dan Fauzi-Prijanto tetap unggul atas pasangan Adang-Dani. Jelas, jika tidak ada kesalahan pencantuman bulan pelaksanaan tracking survey itu, nama Prijanto pasti dimasukkan dalam konteks simulasi. Artinya, ketika pasangan itu belum dideklarasikan atau tidak banyak warga Jakarta mendengar nama Prijanto, Fauzi tetap unggul. Sekali lagi terbukti, Fauzi adalah fokus dalam pilkada minimalis kali ini. Hal itu adalah karya komunikator politik yang luar biasa baik mengingat berbagai survei sebaliknya menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jakarta tidak puas dengan kinerja pemerintah daerah, dengan Fauzi merupakan bagian di dalamnya.

Hutang minimalis

Unsur minimalis ketiga dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah pesan-pesan kampanye yang amat umum, tidak dirinci dalam kerangka waktu dan angka pencapaian tertentu, serta hampir tidak membandingkan antara Fauzi-Prijanto dan Adang-Dani. Beberapa spanduk, poster, stiker, juga iklan di media mulai terlihat "menyerang" lawan. Namun, ia tetap tinggal amat minimal dan dangkal atau hanya "menyerang" permukaan. Yang dipermasalahkan adalah kampanye Fauzi, "Jakarta untuk semua" (berarti jika Adang menang, Jakarta jadi tidak untuk semua?) atau "Serahkan Jakarta di tangan ahlinya" (bermakna: Adang-Dani bukan seorang ahli, sementara banjir selama ini tetap terjadi meski Jakarta sudah ditangani ahlinya?).

Di sisi lain, Adang-Dani mengedepankan, "Ayo benahi Jakarta" (berarti: selama ini Fauzi tidak ikut membenahi?) dan relawan-relawan terkait kubu ini mengangkat isu "Capek banjir", "Capek macet", "Capek lain-lainnya", tanpa betul-betul mengedepankan program-program nyata. Yang agak lantang terdengar dari Adang-Dani adalah kesehatan, pendidikan gratis sampai SMA, dan paradigma baru dalam birokrasi pemerintahan, hal-hal ini pun masih generalis dan minimalis.

Harus dicatat, pesan "Perubahan kini kian dekat" yang disampaikan lewat iklan televisi yang cukup menyentuh mungkin menambah perolehan Adang-Dani, meski pencapaian ini tetap minimalis karena lebih menggerakkan sisi emosional mereka yang terkena pesan (kemungkinan sampai level afektif).

Harapan untuk mendapat debat publik yang selama ini dikenal sebagai wahana pembandingan posisi kebijakan antarkandidat ternyata tidak tercapai. Yang terjadi cuma tanya jawab dengan panelis, dengan hanya satu kali kesempatan bertanya antarkandidat. Semuanya tanpa kesempatan rebuttal (sanggahan setelah jawaban diberikan pihak lain).

Hasil minimalis

Di ujung analisis awal hasil Pilkada DKI ini, saya ingin menekankan, pilkada minimalis terbukti menghasilkan sesuatu yang minimalis pula. Menurut hitung cepat Puskapol UI hingga pukul 18.00 WIB, tingkat partisipasi warga 63,3 persen atau 36,7 persen warga tidak menggunakan hak pilih dengan berbagai alasan. Masih dengan data Puskapol UI, 57,44 persen suara Fauzi berarti 36,36 persen dari suara pemilih terdaftar. Artinya angka ini relatif sama dengan jumlah yang tak menggunakan hak pilih (atau golput dan alasan lain). Angka sekitar 36,36 persen atau berapa pun hasil akhir nanti tetap merupakan suara rakyat dan hasil terbaik pilkada ini, tetapi bisa juga dilihat sebagai legitimasi yang kecil dari seluruh pemilih terdaftar.

Meski demikian, pilkada minimalis ini juga mempunyai kabar baik. Dengan perolehan sekitar 36,36 persen dari jumlah pemilih terdaftar, berarti kerja mesin 20 partai politik tidak efektif! Maka, Fauzi Bowo sebetulnya cuma punya utang minimalis kepada partai-partai politik itu. Apalagi, entah alamiah atau karena pencitraan, fokus ada pada Fauzi (dan kumisnya, yang dijadikan simbol magis untuk gampang diingat saat pemilih ada di bilik suara).

Soal Adang, dengan kepopulerannya yang meningkat melebihi kuota perolehan PKS 2004, senyumnya yang seperti tak ada beban, mungkin perlu dibahas tersendiri. Kemampuannya meraih suara mengambang secara signifikan, kalau saja digosok dengan direct-selling yang menawarkan kepastian manfaat untuk memilihnya di tengah lahan suara lawan, mungkin akan membuat hasil pilkada minimalis ini menjadi lebih minimalis lagi.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik FISIP UI

No comments:

A r s i p