Tuesday, August 14, 2007

Fenomena Pilkada DKI

Jeffri Geovani

SEPERTI diduga banyak kalangan, Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) DKI Jakarta yang berlangsung 8 Agustus 2007, berhasil mengantarkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur untuk periode lima tahun mendatang, meskipun dengan persentase yang masih minimalis. Kepada pasangan Fauzi-Prijanto, dan kepada segenap warga Jakarta, kita ucapkan selamat.

Kita juga patut bersyukur, meskipun masih banyak kekurangan, secara umum Pilkada DKI berjalan lancar, aman, dan damai. Setelah mengamati proses jalannya Pilkada, setidaknya ada dua fenomena politik yang patut kita perhatikan. Pertama, antusiasme warga Jakarta yang relatif tinggi membuktikan bahwa harapan publik terhadap Pilkada sebagai sarana untuk memperbiki kedaan masih lumayan tinggi.

Meskipun survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) memperkirakan potensi golput mencapai 65%, yang terbukti hanya sekitar 30%. Artinya, partisipasi rakyat dalam Pilkada di DKI Jakarta (sekitar 70%) lebih baik dibandingkan dengan Pilkada Riau (54,66%), Sulawesi Barat (59,84%), Banten (60, 83%), Kalimantan Selatan (60,95%), Kalimantan Tengah (61,05%), Sumatera Barat (63,32%), Jambi (66,82%), dan Bengkulu (68,64%).

Kedua, Pilkada DKI Jakarta sekali lagi membuktikan adanya kesenjangan antara elite partai dengan grass root. Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung 20 partai politik yang dalam Pemilu 2004 lalu memiliki lebih dari 76% suara, nyatanya, menurut hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga riset, hanya mampu meraih suara sekitar 56,12% hingga 59% suara.

Menurut data exit poll yang dilakukan LSI, pemilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2004 adalah massa yang persentase paling besar yang memilih pasangan Fauzi-Prijanto, yakni 83,3%. padahal, seperti kita ketahui, di antara ke-20 partai pendukung, PKB adalah partai yang elitenya paling enggan mendukung Fauzi-Prijanto.

Dengan kedua fenomena politik di atas, bisa kita asumsikan bahwa meskipun didukung oleh koalisi 20 partai politik, yang memilih pasangan Fauzi-Prijanto toh tetap saja warga Jakarta. Terbukti, pemilih Fauzi-Priyanto tidak sama dan sebangun dengan pemilih ke-20 partai dalam Pemilu 2004 lalu. Bahkan PKS yang terkenal sangat solid sekalipun, menurut exit poll, yang memilih pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar, ”hanya” 82,8% dari 23,3% pemilihnya dalam Pemilu 2004. Padahal perolehan suara Adang-Dani dalam Pilkada mencapai 40% lebih suara.

Artinya, dukungan partai politik adalah satu hal dan pilihan rakyat dalam Pilkada adalah hal yang lain. Kesenjangan antara pemilih partai dalam Pemilu 2004 dengan pemilih nama calon secara langsung dalam Pilkada bisa dijadikan sebagai sarana legitimasi politik bagi calon terpilih bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan nantinya tidak harus merasa tersandera oleh keinginan partai-partai politik yang mendukungnya.

Yang memilih pasangan Fauzi-Prijanto adalah warga Jakarta, oleh karenanya, bagaimana memenuhi harapan warga Jakarta merupakan konsekuensi politik yang harus dipenuhi oleh pasangan ini.

Tanpa mengabaikan yang lain, setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadi harapan warga Jakarta, pertama kemampuan mengatasi bencana banjir; kedua, kemampuan mengatasi kemacetan lalu lintas; dan ketiga, kemampuan mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Tingkat keberhasilan pasangan Fauzi-Prijanto dalam mengatasi ketiga hal ini akan menjadi tolok ukur utama dalam memimpin dan mengelola DKI Jakarta.***


*Direktur Eksekutif The Indonesian Institute dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah

No comments:

A r s i p