Wednesday, August 22, 2007

Pertaruhan Demokrasi Indonesia

Salah satu hal yang dapat dibanggakan di tengah keterpurukan dewasa ini adalah kemampuan bangsa Indonesia dalam menumbuhkan kehidupan demokrasi. Bangsa Indonesia, yang heterogen dan baru saja bebas dari cengkeraman kekuasaan yang otoritarian, telah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis pada tahun 1999 dan 2004.

Bahkan, sejak tahun 2005 sampai dengan bulan ini telah diselenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) lebih dari 300 kali, termasuk pilkada di provinsi yang baru saja menyelesaikan konflik bersenjata selama puluhan tahun, Nanggroe Aceh Darussalam.

Tidak mengherankan negara-negara Barat, yang selama ini berpendapat bahwa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim tidak dapat berdemokrasi, secara terbuka mengakui keteledorannya itu. Mereka bahkan berbalik menyatakan Indonesia dapat dijadikan contoh bagi tegaknya demokrasi.

Keberhasilan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Justru dengan pengalaman Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, masyarakat mengharapkan seleksi anggota KPU menghasilkan orang-orang yang diibaratkan "setengah manusia setengah malaikat". Artinya, mereka dituntut mempunyai kredibilitas dan integritas yang sangat tinggi.

Harapan yang tinggi itu menuntut Tim Seleksi Anggota KPU bisa mempersembahkan calon anggota KPU yang bermartabat serta kompeten untuk melaksanakan tugasnya. Namun, prestasi bangsa yang dapat dijadikan kebanggaan itu kini dipertanyakan sejumlah kalangan.

Pengumuman Tim Seleksi beberapa waktu lalu mengejutkan banyak pihak. Bahkan, menurut Wakil Presiden, Presiden dipastikan akan mengevaluasi hasil kerja Tim Seleksi (Media Indonesia, 13 Agustus 2007).

Rencana Presiden itu patut didukung mengingat tim dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dengan demikian, seandainya Tim Seleksi kemudian terbukti mempunyai vested interest atau dikendalikan oleh orang yang mempunyai kepentingan sempit, Presiden dapat membubarkannya.

Agar persoalan menjadi jelas, Tim Seleksi sebaiknya mengumumkan secara terbuka metode, proses, dan skor yang diperoleh setiap calon anggota KPU secara transparan. Keteledoran memilih metode atau memanipulasi seleksi hanya akan menghasilkan anggota KPU yang tidak menguasai persoalan atau menjadi "boneka" dari orang-orang yang masih bermimpi mengendalikan KPU.

Evaluasi oleh Presiden perlu segera dilakukan sebelum Tim Seleksi menyampaikan hasilnya kepada DPR. Keterlambatan Presiden mengambil tindakan tegas pertaruhannya bukan hanya kredibilitas Presiden, melainkan juga demokrasi di Indonesia.

Kecewa

Kekecewaan masyarakat juga dipicu karena tidak lolosnya beberapa tokoh yang selama ini dinilai memiliki kredibilitas, berpengalaman, kompeten, dan memahami penyelenggaraan pemilu.

Ketidakpuasan masyarakat mencuat setelah terungkap bahwa tes tertulis, sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 11 Ayat 3 Huruf e mengenai pengetahuan, keahlian, serta pengalaman yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu, diabaikan sama sekali. Faktor yang lebih menentukan, seperti rekam jejak dan pengalaman, tidak diperhatikan.

Pengalaman tersebut sangat diperlukan mengingat angggota KPU harus pula memahami dan mengetahui teknis pemilu serta mengelola penyelenggaraan yang banyak menyangkut hal-hal bersifat teknis.

Bahkan, mengukur kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi hanya dengan semacam tes psikologis dengan metode multiple choice tentunya sangat tidak memadai.

Kontroversi semakin panas karena Tim Seleksi yang semula menyatakan menggunakan jasa konsultan dari Universitas Indonesia ternyata setelah didesak wartawan mengakui menggunakan konsultan yang dimiliki oleh salah seorang anggota Tim Seleksi.

Rezim pemilu

Sekadar catatan, pada saat pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu, salah satu perdebatan yang sengit antara pemerintah dan DPR adalah menyangkut apakah pilkada rezim pemilu atau rezim pemerintahan daerah.

Di balik perdebatan sengit itu tercium bahwa unsur-unsur pemerintah diduga tetap ingin mempertahankan dominasinya dalam penyelenggaraan pilkada. Pihak DPR menginginkan agar pilkada adalah rezim pemilu sehingga campur tangan pemerintah dapat dihilangkan.

Penegasan dalam UU No 22/2007 bahwa pilkada adalah rezim pemilu tampaknya tidak menyurutkan elemen-elemen pemerintah untuk tetap melakukan intervensi dalam penyelenggaraan pemilu atau pilkada.

Oleh karena itu, muncul kekhawatiran di sejumlah kalangan, jangan sampai proses pemilihan anggota KPU ini menghasilkan anggota KPU yang bergantung pada birokrasi pemerintah.

Sudah selayaknya pemerintah, khususnya Presiden dan DPR, mengambil langkah-langkah yang tepat agar demokrasi yang sudah mulai bersemai dapat menjadi semakin mengakar di bumi Indonesia.

No comments:

A r s i p