Saturday, August 11, 2007

Parpol Mengidap Amnesia


Cetak E-mail

Oleh: Boni Hargens

Partai politik kita aneh. Dicela di mana-mana, tapi masih juga narsis. Kalau Felix Lengkong pernah mengutip Albert Bernstein tentang “drakula narsis” dalam sebuah analisis, sebagai salah satu kepribadian sulit manusia, maka partai politik di Indonesia, dilihat dari perspektif behaviourial, tampaknya berkepribadian drakula narsis juga.

Lihat saja, tidak peduli International Transparency mengategorikannya sebagai pranata paling korup di Indonesia. Partai politik terus saja merasa diri paling hebat. Dalam perancangan UU Susduk tentang Dewan Perwakilan Daerah, muncul usulan anggota DPD berasal dari partai politik. Dikatakan, senator di Amerika Serikat ada yang berasal dari partai politik. Pengusul itu lupa, partai di Amerika Serikat relatif bersahabat dengan rakyat, dan wakilnya pun akuntabel dalam berpolitik. Anggota partai menjadi senator bukan hal yang mengkhawatirkan, malah menguntungkan.

Setidaknya, koordinasi politik di Kongres lebih efektif karena sebagai wakil teritorial, senator bisa bekerja sama dengan wakil politik dari House of Representative. Di Indonesia, senator dari partai itu mengkhawatirkan. Pasalnya, belum ada yang berkarakter sebagai politisi sejati (baca: negarawan). Yang ada, masih sebatas “kader partai”. Politisi cenderung bertindak demi partai daripada demi bangsa dan negara. Lantas, menempatkan Indonesia dan AS dalam satu horizon adalah kekeliruan fatal yang hanya ingin meloloskan ambisi partai politik dalam mencaplok seluruh ruang politik kebangsaan. Nyaris seluruh ruang politik kini dikuasai partai politik. Bahkan, rakyat yang empunya kedaulatan berada pada posisi subordinat terhadap partai.

Berembusnya desakan calon independen dalam pemilu dan pilkada, tidak terlepas dari kredibilitas partai yang bergerak ke titik nol, ditentang habis-habisan oleh partai. Padahal, calon independen bermaksud “memerdekakan” kembali political sphere yang lama dijajah partai politik. Dalam sejarahnya, sekitar abad ke-18, di Amerika Serikat istilah “partai politik” selalu merujuk pada korupsi, ketidakstabilan, dan konflik. Partai dianggap biang korupsi, katalis dari ketidakstabilan politik, dan sumber konflik. Faksionalisasi selalu bermakna proliferasi korupsi dan instabilitas. Maka itu, orang seperti Washington tidak menyukai partai politik (Beller & Belloni, 1969).

Dalam perkembangan, partai politik mendapat pengakuan. Bahkan, demokrasi modern menjadikannya sebagai organisasi politik formal yang berwewenang terlibat dalam pemilu, dengan seperangkat fungsi, antara lain (a) sosialisasi politik, (b) komunikasi politik, (c) artikulasi kepentingan, (d) pendidikan politik, (e) pencegah konflik, dan (f) perekrutan elite. Sudah klasik, bahwa fungsi perekrutan saja yang dimaksimalkan. Spektrum fungsi lain terabaikan dalam implementasi. Saat yang sama, korupsi merajalela. Ketika konflik terjadi, partai politik bukan mencegah, malah menjadi sumber persoalan. Sungguh, partai politik bergerak mundur, kembali ke tabiat aslinya yang korup.

Maka kalau didaftar di sini, ada minimal tiga karakter partai politik di Indonesia. Pertama, partai sudah kehilangan “syarat malu”, oleh pengaruh tabiat narsis yang berlebihan. Lihat saja, partai-partai yang bertarung dalam Pilkada Jakarta, Agustus 2007. Belum lenyap dari ingatan kolektif warga Jakarta, bagaimana partai-partai membohongi rakyat dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004. Kini mereka kembali bersulap dan berbual untuk meraih suara mayoritas mutlak (50% +1). Para kandidat gubernur dan partai pendukungnya bernyanyi tentang Jakarta tanpa kemacetan dan kemiskinan. Yang terjadi, Jakarta makin sesak kendaraan dan kemiskinan kian mengakar.

Lalu, “miskin kota ” tereksklusi secara ganas, seolah-olah mereka bukan kategori “the demos” (istilah Carl Schmitt) dalam demokrasi. Kedua, sejarah kepartaian mengalami gelombang balik, mundur ke tabiat aslinya yang inheren dengan korupsi, ketidakstabilan, dan konflik. Jika demokrasi selalu dituduh gagal di negara berkembang seperti Indonesia, salah satu sumber penyakit adalah partai politik. Partai gagal berperan sebagai pranata dasar demokrasi ketika memfokuskan tujuan pada perebutan politik. Tuntutan partai lokal di Aceh, termasuk desakan revisi UU 32/2004, merupakan implikasi logis dari kegagalan partai (nasional). Pada ranah ini, eksistensi Partai GAM yang dituding separatis “jilid kedua” oleh Lemhanas, perlu dikaji secara komprehensif.

Melarang partai lokal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 memang itu amanat UU 11/2007 dan PP 20/2007. Namun, partai nasional mesti berbenah diri dan lebih proaktif membaca kehendak rakyat. Aceh adalah miniatur persoalan kepartaian di Indonesia, yang mana integritas partai nasional habis tergadai oleh pragmatisme yang mengesampingkan rakyat. Namun pelajaran Aceh mudah terlupakan, mengingat karakter lain dari partai politik kita adalah mengidap amnesia, gangguan ingatan.

Mudah melupakan sesuatu.Dulu Golkar mencampakkan PDIP setelah Jusuf Kalla menang dalam Munas VII di Bali pada 2005. Tiba-tiba keduanya bercumbu di Medan, 20 Juni lalu. Pemilihan langsung diterapkan melalui UU Pemilu No 13/2003 dan UU Pilpres No 23/2003 bermaksud mengurangi oligarki partai. Namun, masih saja partai mengaku diri paling eligibel dalam memimpin. Makanya calon independen ditentang. Padahal, nyaris tiada pemimpin yang digodok oleh partai. Yang ada, partai membeli orang berkualitas, atau yang berambisi menawarkan diri pada partai. Ini fakta agar direnungkan, maka keterlaluan kalau terlupakan.

Kini, parlemen bikameral yang bermaksud menempatkan wakil politik (politico) dan wakil golongan/teritorial dalam lembaga perwakilan, malah direkayasa menjadi wadah untuk wakil politik belaka, dengan adanya usulan DPD berasal dari partai politik. Lupa, bahwa Orde Lama gagal di tangan partai politik. Bongkar-pasang kabinet dekade 1950-an dilatari kegagalan partai politik. “Kuburkan partai politik”, teriak Soekarno di hadapan kader muda partai pada acara Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956.

Tiga tahun kemudian, Soekarno mengeluarkan Dekrit (5 Juli 1959). Di tangan Orde Baru, partai memang mandul. Namun, parlemen benar-benar perpanjangan tangan pemerintah. Maka, membolehkan anggota partai menjadi anggota DPD merupakan titik balik fatal yang potensial mendaur ulang sejarah Orde Baru. Perwakilan politik bakal berubah rupa menjadi perwakilan partai. Dewan Perwakilan Daerah pun bermetamorfosa, bukan lagi upper house, melainkan sekadar “dewan pelengkap DPR”. (*)

Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
Direktur Riset Parrhesia Institute, Jakarta

No comments:

A r s i p