Thursday, August 9, 2007

Pilkada Jakarta, Ungkapan Protes?

Imam B Prasodjo

Tak ada yang mengejutkan! Tak perlu analisis canggih untuk menebak pasangan Fauzi Bowo-Prijanto unggul dibandingkan Adang Daradjatun-Dani Anwar dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini.

Telah diperkirakan, terlalu sulit bagi Adang-Dani untuk bersaing dengan Fauzi-Prijanto yang dibantu sedikitnya 20 partai politik, didongkrak puluhan tokoh dan selebriti nasional yang ikut berkampanye di berbagai media, diduga dibiayai dana jauh lebih besar, serta tentu secara informal diuntungkan oleh mesin birokrasi pemerintah daerah karena jabatan Fauzi Bowo sebelumnya adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Alhasil, ibarat menonton pertandingan, kita disuguhi permainan yang sama sekali tidak menegangkan. Maka saat kemenangan diumumkan, sorak "hore" rakyat niscaya tak terdengar gegap gempita. Kampung dan jalan tak menggeliat. Biasa saja!

Dengan demikian, kemenangan Fauzi-Prijanto harus dimaknai tersendiri. Bagaimana membaca detak mainstream jantung rakyat dalam situasi semacam ini?

Hasil Pilkada DKI tampak menjadi ajang penegasan bahwa kekuatan elite politik tidak bisa begitu saja diremehkan. Buktinya, "keroyokan partai politik" itu berhasil menang. Namun, pada saat yang sama, koalisi partai untuk mendukung calon tertentu, betapapun terlihat solid, ternyata tidak seperkasa yang dibayangkan. Apabila kita mengacu pada hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang sering dijadikan iklan oleh Denny JA untuk mendukung Fauzi-Prijanto, Fauzi-Prijanto memang secara konsisten unggul.

Bahkan survei terakhir pada awal Agustus 2007 menunjukkan lebih dari separuh responden (50,7 persen) memilih Fauzi-Prijanto, sementara Adang-Dani hanya mendapat seperempatnya (26,8 persen).

Pertanyaannya, akan ke manakah calon pemilih yang belum memutuskan pilihannya (undecided voters), yang dalam survei besarnya mencapai 22,5 persen? Atau apakah yang golput (12 persen) tidak akan berubah untuk memilih salah satu dari kedua pasangan itu?

Titik terang

Hasil hitung cepat (quick count) Lembaga Survei Indonesia pimpinan Saiful Mujani, yang disiarkan MetroTV, memberi sedikit titik terang. Hingga pukul 20.00 WIB, sebagaimana diduga, pasangan Fauzi-Prijanto terlihat unggul dengan 56,12 persen suara, sementara Adang-Dani mendapat 43,88 persen.

Berapa yang tidak sah dan golput atau yang tidak dapat melakukan hak pilihnya karena tidak terdaftar dan lain-lain belum diketahui.

Cuma dari indikasi awal ini rupanya Adang-Dani secara cukup signifikan mendapat simpati pemilih sehingga mendapat tambahan suara hingga 17 persen, sementara Fauzi-Prijanto cuma bertambah sekitar 5 persen.

Mengapa Adang-Dani mendapat tambahan signifikan? Namun, mengapa juga tambahan itu tidak cukup besar untuk memenangi pilkada ini?

Protes "voters"?

Apabila jumlah undecided voters maupun golput sebelum pemilihan ditengarai cukup besar, dengan adanya peningkatan suara signifikan bagi Adang-Dani dapat menunjukkan beberapa kemungkinan bahwa merekalah yang banyak menambah suara bagi pasangan Adang-Dani. Mengapa? Ada beberapa kemungkinan melihat keadaan ini.

Pertama, undecided voters/golput pada detik-detik terakhir akhirnya memutuskan menghukum elite politik maupun partai-partai politik yang "mengeroyok" Adang-Dani. Walaupun Adang-Dani tidak serta-merta menjadi figur yang diinginkan, undecided voters akhirnya memilih mereka karena ingin menunjukkan kekesalannya terhadap partai-partai politik. Dukungan terhadap Adang-Dani mungkin berasal dari protest voters yang selama ini telah tidak percaya terhadap tingkah laku elite-elite partai yang dipersepsikan oportunistik, yang hanya ramai-ramai mendukung sekadar untuk menaruh "saham" bagi kandidat yang diperkirakan akan menang. Inikah strategi partai untuk mempersiapkan Pemilu 2009?

Kedua, kampanye Fauzi-Prijanto yang begitu dominan memperlihatkan dukungan para tokoh nasional dan selebriti hingga pejabat puncak negara menimbulkan rasa "iba" tersendiri. Karena itu, bisa jadi undecided voters maupun yang semula berniat golput akhirnya ingin mendonasikan suaranya kepada kandidat yang diperkirakan jelas-jelas akan kalah karena rasa belas kasihan.

Ketiga, selama masa kampanye, Adang-Dani bisa jadi diuntungkan sikap Fauzi-Prijanto sendiri yang dianggap kurang dialogis. Di sejumlah acara debat kandidat yang banyak diselenggarakan masyarakat, Fauzi-Prijanto jelas-jelas menolak untuk hadir. Bahkan untuk acara Debat Cagub yang diselenggarakan oleh masyarakat Menteng yang sebetulnya banyak diorganisasi oleh pendukungnya akhirnya dibatalkan karena Fauzi-Prijanto menolak hadir. Ada kesan, Fauzi-Prijanto terlalu percaya diri, terlalu hati-hati, atau malah terlalu sombong, atau mungkin takut menghadapi perdebatan atau dialog terbuka yang mengontraskan pikiran antara kedua pasangan. Sebuah sikap yang aneh mengingat Fauzi Bowo memiliki latar belakang pendidikan yang baik.

Keempat, mesin kampanye Fauzi Bowo mendapat keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan Fauzi sebagai wakil gubernur. Mesin politiknya jelas-jelas telah bekerja sejak dini dengan begitu rapinya, yang antara lain dengan menggunakan pelang kampanye antinarkoba yang memunculkan wajah berkumisnya di mana-mana. Setidaknya, dengan cara ini wajah Fauzi menjadi lebih dikenal di tiap pelosok perkampungan Jakarta. Namun, kampanye-kampanye terselubung seperti ini dengan dosis agak berlebihan tersebut bisa jadi menimbulkan reaksi balik dan mengesankan penghamburan uang besar-besaran di tengah warga Jakarta yang banyak menderita. Saya pernah mendengar seorang sopir taksi pun berseloroh, "Wah dapat duit dari mana ya dia?" Pendeknya, besarnya peningkatan suara yang diterima Adang-Dani sangat mungkin lebih diakibatkan karena ekspresi protest voters yang ditumpahkan melalui pelampiasan dukungan terhadap Adang-Dani.

Kelima, Adang-Dani mendapat keuntungan dari protest voters/golput yang tidak tertampung suaranya akibat berhasilnya elite-elite partai menahan munculnya calon perseorangan. Apabila ada calon perseorangan, jelas konstelasi politik menjadi lain.

Namun, apa pun itu harus diakui juga bahwa mesin politik PKS, yang dikenal solidt, bisa jadi bekerja cukup baik sehingga memiliki pengaruh terhadap peningkatan suara bagi Adang-Dani, selain faktor-faktor yang disebutkan di atas.

Tak cukup kuat

Betapapun Adang-Dani sebenarnya diuntungkan oleh besarnya protest voters karena berbagai alasan tadi, tetapi daya tarik Adang-Dani tidak cukup kuat untuk mengubah konstelasi politik yang menggiringnya kepada kemenangan.

Mungkin soal menjadi lain bila PKS mengusung figur yang jauh lebih dikenal rakyat dengan rekam jejak yang meyakinkan. Lagi pula, betapapun kuat jaringan PKS, khususnya untuk menggaet pemilih di kalangan Islam dan kaum muda, PKS tampak belum berhasil sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang terkait dengan beberapa isu sensitif dan kontroversial, seperti kesan atau persepsi PKS sebagai pendukung perda syariat ataupun pendukung poligami.

Sekali lagi, ini hanya kesan yang tercipta, yang mungkin sangat merugikan Adang-Dani. Sebaliknya, slogan "Jakarta untuk Semua" yang dikumandangkan Fauzi-Prijanto tepat mengenai sasaran dan seolah-olah menunjukkan jati diri politik yang kontras dengan Adang-Dani.

Apa pun hasilnya, kelihatannya Pilkada DKI Jakarta telah mengukuhkan pasangan Fauzi-Prijanto sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Kini tinggal kita menatap ke depan, mendukung semua program yang baik, sambil tetap bersikap kritis demi terjadinya perbaikan kehidupan rakyat.

Imam B Prasodjo Sosiolog dari Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p