Saturday, August 11, 2007

Demokrasi Substansial, Berkaca dari Jerman

(Oleh: YW Nugroho, wartawan Suara Pembaruan)

Pengantar

Pada pertengahan hingga akhir April 2007, wartawan SP YW Nugroho memperoleh kesempatan belajar tentang politik dan partai politik di Jerman, atas undangan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) Jakarta. Di Jerman, dilakukan studi banding ke tiga kota, yakni Greifswald (di negara bagian Meckleburg-Vorpommern), Bremenhaven (negara bagian Bremen) dan Berlin (Negara Bagian Berlin). Berikut laporan tentang pelaksanaan demokrasi di Jerman yang juga diikuti 13 pengurus pusat dan wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Setelah terpuruk akibat kalah dalam Perang Dunia Kedua, sekitar 61 tahun lalu, Jerman boleh dikatakan bangkit, bahkan menjadi kampiun dalam demokrasi. Demokrasi bukan lagi cita-cita, tetapi merupakan alat yang sudah running well. Demokrasi bukan sekadar basa-basi yang dijalankan hanya untuk memperoleh atau meraih kekuasaan melainkan mekanisme atau prosedur tetap atau juga bisa disebut sebagai aturan main dalam menjalankan kehidupan bernegara. Masyarakat di sana bisa disebut sudah sampai pada tahap tidak bisa lagi untuk tidak berdemokrasi untuk meraih kekuasaan politik.

Dalam perjalanan sejarahnya, semua itu tidak diraih dengan tiba-tiba, tentunya. Setelah kalah di Perang Dunia Kedua, Jerman dibagi oleh para "pembebas" dan "pemenang". Dua blok besar waktu itu, Amerika, Inggris dan Prancis di satu sisi menjadikan sebagian Jerman (kemudian dikenal sebagai Jerman Barat) sebagai ajang uji coba berdemokrasi. Sedangkan satu sisi lagi, Uni Soviet (sebelum bubar dan menjadi Rusia) menjadikan sebagian Jerman lagi sebagai ajang menguji coba ideologi komunis dan lahirlah, Jerman Timur.

Sejarah menunjukkan, sekitar 45 tahun setelah itu bangsa Jerman melakukan langkah besar yang disebut reunifikasi dan meruntuhkan tembok Berlin. Jadilah Jerman sebagai negara demokratis terbesar di Eropa. Berpenduduk sekitar 80 juta jiwa, Jerman bersatu, kalau boleh disebut demikian, dengan kekuatan penuh menjalankan demokrasi.

Bukan berarti setelah itu demokrasi langsung mapan atau berjalan dengan sendirinya, ibarat mesin yang sudah diminyaki. Semuanya tetap harus dijaga dan itu menjadi kewajiban semua pihak. "Mesin" demokrasi tetap memerlukan minyak dan yang lebih penting adalah orang yang bersedia meminyakinya.

Politik Uang

Setelah 61 tahun menjalankan demokrasi, yang paling dirasakan di Jerman saat ini adalah dijalankannya demokrasi substansial, bukan lagi demokrasi prosedural, seperti yang berlangsung di Indonesia. Benar, di negeri kita, demokrasi sudah berjalan dan semua pihak mengakui adanya kebebasan dalam berpolitik.

Kalau boleh bercermin ke Jerman, ternyata tidak selamanya demokrasi itu kotor dan identik dengan uang. Di Belanda ada istilah "politik dagang sapi", yang sering didengar dan berlangsung di Indonesia. Pilkada bupati/wali kota atau gubernur sampai pemilihan presiden, sepertinya tidak bisa lepas dari uang. Bukan persoalan uang identik dengan kejahatan, namun lebih karena uang disalahgunakan, yakni untuk membeli kekuasaan.

Di Jerman, uang tidak lagi menjadi alat berpolitik. Partai tetap memerlukan uang untuk menjalankan organisasi. Namun uang dalam menjalankan politik atau meraih kekuasaan tidak disalahgunakan.

Hal itu terlihat dan dapat langsung dirasakan ketika berada di Greifswald, negara bagian Meckleburg-Vorpommern (selanjutnya disingkat MV). SP memperoleh kesempatan langka, yakni mengikuti Kongres Freie Demokraticshe Partei (FDP) tingkat negara bagian itu. Negara Bagian MV dulunya adalah bagian dari Jerman Timur sebelum reunifikasi.

Di negara bagian ini, terdapat banyak partai politik (parpol), karena setelah unifikasi, sistem multipartai pun berlangsung dan berlaku sama dengan di Jerman Barat. Di negara bagian ini terdapat lima parpol yang berhak atas kursi parlemen seusai pemilu negara bagian pada 2006, karena adanya aturan parliamentary threshold.

Di Jerman, untuk bisa duduk di parlemen federal (juga parlemen negara bagian) ada ketentuan parliamentary threshold sebesar lima persen. Hanya parpol yang memperoleh kursi minimal lima persen yang boleh dan berhak duduk di parlemen.

Di parlemen negara bagian MV, terdapat lima parpol, yakni urutan teratas Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD) dengan 23 kursi, disusul Christlich Demokratische Union Deutschlands (CDU) dengan 22 kursi, Linkspartei, PDS atau Partai Kiri yang dulu menjadi satu-satunya partai di masa Jerman Timur dengan 13 kursi. Di urutan keempat dan kelima adalah FDP dan Nationaldemokratische Partei Deutschlands (NPD) dengan tujuh dan enam kursi. NPD adalah parpol nasionalis ultrakanan yang mengagumi dan menokohkan Adolf Hitler dan ajarannya.

Menarik pula bahwa di samping parpol-parpol "konvensional", di Jerman saat ini Partai Kiri dan NPD juga memperoleh dukungan dari masyarakat. Walaupun menurut Direktur FNS Jakarta, Dr. Rainer Adam yang juga mendampingi selama studi banding dilakukan, dukungan yang diperoleh Partai Kiri dan NPD lebih karena ketidakpuasan terhadap parpol lainnya.

Untuk Partai Kiri misalnya, banyak didukung masyarakat di negara-negara bagian yang dulunya Jerman Timur. Sedangkan NPD atau partai ultrakanan memperoleh dukungan karena masyarakat tidak puas atas program-program yang ditawarkan partai "konvensional". Menurut Rainer Adam, masyarakat bisa beralih memilih partai lain karena ingin menghukum partai yang programnya buruk, ketimbang persoalan ideologi, dan suatu saat akan kembali ke "kandang".

Terlepas dari persoalan itu, di MV ketika itu tengah berlangsung Kongres FDP tingkat negara bagian atau kalau di Indonesia setara dengan musyawarah wilayah (muswil) di tingkat provinsi. Walaupun menurut Simone Okaj-Braun, pendamping studi banding dari Divisi Dialog Politik Internasional (IPD) FNS, negara bagian berbeda dengan provinsi.

Dalam Kongres FDP negara bagian itu banyak hal menarik yang bisa dicermati, di antaranya efisiensi dan efektivitas waktu benar-benar berlangsung. Kongres untuk memilih ketua, wakil ketua I, wakil ketua II, sekjen, bendahara, dan anggota pengurus, hanya berlangsung dua hari. Seluruh rangkaian kongres, sejak pembukaan, pertanggungjawaban ketua, sekjen, bendahara dan laporan auditor sampai ke pemilihan delegasi (wakil) untuk kongres FDP di tingkat nasional berlangsung satu hari. Satu hari berikutnya adalah menyelesaikan petisi yang nantinya harus dibawa anggota FDP yang duduk di parlemen negara bagian untuk diperjuangkan.

Perlu diketahui, semua posisi pengurus, yakni ketua, wakil ketua, bendahara, sekjen, anggota pengurus, auditor, sampai pada wakil atau delegasi untuk kongres di tingkat nasional, ditentukan lewat pemilihan. Ini tentu hal yang menarik karena dengan begitu semuanya memiliki tanggung jawab dan nantinya harus mempertanggungjawabkan tugas dan jabatannya.

Kejujuran Berdemokrasi

Saidah Sakwan, anggota DPR peserta studi banding yang diselenggarakan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) ketika mengikuti kongres FDP menilai betapa tingkat akuntabilitas sangat tinggi dan itu diwujudkan dengan memilih semua posisi di kepengurusan. "Bahkan wakil untuk ikut dalam kongres tingkat nasional juga ditentukan dan dipilih dalam kongres tingkat wilayah. Ini pembelajaran yang luar biasa menurut saya," kata anggota Komisi X DPR tersebut.

Hal lain yang membuat Ida, begitu Saidah Sakwan biasa dipanggil, adalah rekomendasi partai yang berbasis pada isu riil dan lokal dan memang menjadi kebutuhan konstituen. Jadi isu-isu yang dibahas tidak disusun DPW atau DPP, melainkan mengalir dari bawah ke atas (bottom up).

Ida menyebutkan tentang disiplin sekolah, persoalan kanal di Greifswald dan perlu-tidaknya diajarkan tata krama di sekolah sebagai contoh riil yang dibahas di kongres. Semua itu diperdebatkan, apakah menjadi agenda partai atau tidak. Jika ya, fraksi di DPRD harus memperjuangkannya. "Ini kan riil dan pembagian tugas jadi jelas," katanya.

Hal senada dikatakan Masduki Baidlowi, anggota DPR yang juga menjadi peserta studi banding. "Yang jelas kita harus bangga boleh mengikuti kongres seperti ini, dan buat saya, demokrasi bukan hanya prosedural tetapi sudah sangat substansial," kata Cak Duki, panggilan akrabnya.

Menurut Cak Duki, kejujuran sudah menjadi bagian dari demokrasi, terbukti di antaranya dari kepercayaan peserta kongres pada pemungutan suara yang dilaksanakan oleh komisi penghitungan suara. Tidak adanya kekhawatiran bahwa kertas suara dimanipulasi atau dicurangi.

Soal adanya ambisi, Cak Duki menilai sebenarnya sama saja dan tetap ada di mana pun di dunia ketika orang terlibat dan aktif berpolitik. Namun ambisi kekuasaan itu bukan hanya ditutup dan dibatasi oleh aturan main dan prinsip dasar berdemokrasi, tetapi juga ketika harus menyampaikan program dan konsep, orang yang hanya memiliki ambisi atau nafsu akan terhenti dengan sendirinya.

Rasionalitas dan kemampuan menyelesaikan persoalan riil yang ada di masyarakat menjadi tantangan utama para kandidat. Kandidat tidak sekadar mengerahkan massa atau kekuatan uang -yang di Jerman untuk tingkat negara bagian sama sekali tidak laku dan tidak digunakan seperti halnya di Indonesia- melainkan adu konsep.

Dari situ, kata Cak Duki, terlihat betapa pentingnya sistem dan aturan yang disepakati bersama dan selalu taat asas. Selain itu, semua anggota dan fungsionaris partai menjaga aturan main tersebut sekaligus berdasarkan etika politik. *

Sumber:

http://www.suarapembaruan.com/

No comments:

A r s i p