Thursday, August 16, 2007

Terlunta di Negeri Merdeka

Baskara T Wardaya

Ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang mereka maksud adalah kemerdekaan bagi seluruh rakyat di bekas wilayah Hindia Belanda.

Bagi mereka, kemerdekaan itu bukan hanya untuk kelompok ekonomi tertentu, kelompok etnis tertentu, atau kelompok agama tertentu. Kemerdekaan adalah kemerdekaan untuk semua.

Itu sebabnya penjajah bermaksud menguasai kembali negeri ini dan dilawan kedua proklamator serta para pejuang. Hal ini dimaksudkan, sekali lagi, kemerdekaan untuk semua. Dengan prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, yang berarti ’tidak rela tanahnya dikuasai kembali oleh penjajah meski hanya sejengkal’, para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah tumpah darah. Banyak pejuang mati di tangan musuh asing. Namun, bagi mereka, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tertindas di bawah penjajah. "Merdeka atau mati!", itu tekad mereka.

Berjuang sendirian

Betapa ironisnya 62 tahun kemudian, saat kita menengok ke belakang dan merenungkan kembali perjalanan negeri ini, sejak kemerdekaan diproklamasikan. Tampak begitu banyak warga "negeri merdeka" yang ternyata tetap tertindas dan terlunta-lunta di tanah tumpah darahnya sendiri. Banyak dari mereka tak mampu memiliki cukup tanah untuk tinggal atau menghidupi diri. Berbagai upaya untuk bisa mendapatkan tanah yang layak selalu mengalami hambatan karena harus berhadapan dengan kepentingan mereka yang lebih kuat dan lebih berkuasa.

Kita masih ingat, pada tahun 1960-an ada upaya untuk membagi tanah secara adil berdasarkan undang-undang resmi pemerintah (Undang-Undang Pokok Agraria). Upaya itu justru menimbulkan ketegangan sosial dan menjadi salah satu pemicu bagi pembantaian massal terhadap rakyat kecil. Sistem kepemilikan tanah yang lebih adil pun gagal dilaksanakan. Tak cukup dengan tragedi pembunuhan sesama warga, kasus-kasus tanah terus merebak sejak naiknya rezim otoritarian yang merebut panggung kepemimpinan setelah berlangsungnya tragedi itu.

Terjadilah, misalnya, kasus penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang pantas demi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta (1971), misalnya. Juga sengketa tanah di Gunung Balak, Lampung (1972), kasus tanah Siria-ria, Sumatera Utara (1977), dan penggusuran demi pembangunan Taman Borobudur, Jawa Tengah (1982). Begitu pula kasus tanah Kedung Ombo (Jawa Tengah), penggusuran untuk pembuatan lapangan golf di Cimacan (Jawa Barat), kasus tanah Kemayoran, serta kasus tanah Talangsari (Lampung)—yang semuanya berlangsung tahun 1989. Pada tahun 1996 terjadi kasus tanah Balongan (Jawa Barat) dan Nipah (Madura). Belum lagi kasus lumpur Lapindo (2006) di Jawa Timur yang melahap tanah tempat tinggal dan gantungan hidup banyak warga masyarakat. Ini belum terhitung ratusan kasus penggusuran di kota-kota besar, dengan warga diusir dari tempat tinggalnya tanpa alternatif memadai.

Terakhir, Mei 2007. Kita dibuat sedih oleh kasus Alas Tlogo, Jawa Timur, saat sejumlah warga harus mati saat hendak mempertahankan tanah tempat mereka hidup. Di Alas Tlogo itu rakyat gugur bukan karena mempertahankan tanah dari serangan musuh asing, tetapi oleh oknum aparat. Sungguh menyedihkan.

Semua kasus itu dan berbagai kasus lain yang ada boleh saja berbeda tempat dan waktu terjadinya. Namun, biasanya berujung pada klimaks yang sama: atas nama kepentingan tertentu rakyat harus minggir dan meninggalkan tanah tempat mereka hidup. Mereka digusur secara tidak adil dari tempat tinggal di Tanah Air mereka sendiri, yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh pahlawan pendahulu mereka.

Sementara itu, ribuan warga masyarakat yang terpinggirkan akhirnya harus hidup terlunta-lunta secara ekonomis dan terpaksa mencari nafkah di negeri-negeri lain sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Keterlunta-luntaan tersebut sering membuat mereka harus berjuang sendiri melawan kekejaman para majikan.

Kasus tewasnya Siti Tarwiyah dari Ngawi dan Susmiyati dari Pati serta teraniayanya dua rekan lain di tangan anak majikan mereka di Arab Saudi, Agustus 2007 ini, hanyalah contoh terakhir tragedi anak bangsa dari negeri yang resminya sudah merdeka ini.

Penjajahan baru

Menjadi tampak, pada satu sisi kemerdekaan yang diproklamasikan tahun 1945 telah membuat kita bebas dari penjajahan asing. Namun, di sisi lain belum seluruh rakyat Indonesia berkesempatan menikmati kemerdekaan itu. Banyak orang di negeri ini masih hidup di bawah tekanan dan ketertindasan. Apa yang diperjuangkan para pahlawan kemerdekaan belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Itu sebabnya acara mengheningkan cipta pada setiap upacara bendera, termasuk upacara peringatan Proklamasi, bukan hanya merupakan saat penting untuk mengenang jasa pahlawan, tetapi juga menjadi kesempatan istimewa guna menundukkan kepala bagi mereka yang meski telah diperjuangkan oleh para pahlawan, tetapi masih terlunta-lunta di negeri merdeka milik sendiri. Mereka ini berhak mendapat perhatian dan pembelaan dari siapa saja. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk semua.

Jelaslah, bagi rakyat Indonesia merdeka dari penjajah asing itu penting. Namun, tak kalah penting adalah merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan baru, entah itu datang dari bangsa asing, entah itu datang dari bangsa sendiri. Merdeka!

Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

No comments:

A r s i p