Friday, August 10, 2007

Hindari Konflik akibat Calon Perseorangan

Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 Selesai Desember

Jakarta, Kompas - Untuk mencegah terjadinya konflik masyarakat dan instabilitas dalam pemilihan kepala daerah, pemerintah didesak untuk segera bertindak konkret menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi menyangkut calon perseorangan.

Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan sosialisasi bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu masih perlu ditindaklanjuti dalam bentuk sebuah undang-undang yang memerlukan proses.

Demikian komentar para pengamat politik, Kamis (9/8), menanggapi mulai terjadinya konflik di lapangan, menyusul keputusan MK soal calon perseorangan.

Dalam kaitan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan rapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta; Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS; Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa; serta Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Bersama Presiden, dibahas langkah pemerintah pascakeputusan MK tentang calon perseorangan dan jawaban pemerintah atas ajakan rapat konsultasi dari DPR soal yang sama.

Menurut Andi, pemerintah dan DPR mengharapkan petunjuk pelaksanaan keikutsertaan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dalam bentuk revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 selesai Desember 2007. Dengan demikian, proses pilkada yang dimulai Januari 2008 bisa diikuti calon perseorangan.

"Pilkada yang sudah berjalan silakan berlanjut karena terkait dengan masa jabatan yang tidak boleh diperpanjang," ujar Andi.

Sementara Widodo menegaskan, pemerintah memiliki kepentingan untuk menjamin pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia yang sudah dijadwalkan.

Di tempat terpisah, anggota Komisi II DPR, Ryaas Rasyid, menekankan, revisi UU No 32/2004 harus selesai sebelum 2007. "Sebelum revisi selesai, seluruh pilkada berjalan dengan peraturan lama," kata mantan Menteri Negara Otonomi Daerah itu. Berdasarkan pengamatannya, DPR tidak memiliki maksud menunda-nunda revisi terbatas UU No 32/2004. "Yang ada itu mempersulit syarat calon perseorangan," ucapnya.

Namun, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida meminta Presiden untuk tidak ragu mengeluarkan perpu meskipun DPR menghendaki revisi terbatas. "Apabila terjadi instabilitas dalam pilkada, yang nantinya harus bertanggung jawab itu Presiden, bukan DPR," katanya.

Sambil menunggu terbitnya perpu, menurut Laode, harus ada penjadwalan ulang pilkada, khususnya yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat dan prosesnya belum berjalan. Sementara itu, yang sudah memasuki tahap pencalonan, tetap berjalan dengan menggunakan aturan lama.

Dorongan penundaan pilkada juga disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. Menurut dia, penundaan pilkada di sejumlah daerah yang mulai memasuki tahapan pilkada merupakan solusi paling rasional. Sembari menunggu pelaksanaan pilkada, pemerintah menunjuk penjabat sementara guna mengelola pemerintahan yang kosong.

"Penundaan pilkada bisa meredam amarah masyarakat di daerah, terlepas nantinya apakah mereka bisa memenuhi persyaratan yang ada dalam revisi UU atau tidak," kata Qodari.

Sementara menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pemerintah tidak perlu bersikeras untuk merevisi terbatas UU No 32/2004. Menurut dia, untuk mengisi kekosongan hukum, menyusul putusan MK, yang paling tepat adalah menerbitkan perpu.(inu/sut/mzw/sie)

No comments:

A r s i p