Tuesday, August 14, 2007

Sebuah Tes Kesetiaan KPU

Susie Berindra dan Sidik Pramono

Awal Agustus 2007, banyak orang terenyak dengan hasil seleksi tertulis calon anggota Komisi Pemilihan Umum. Sebanyak 45 orang yang lolos seleksi adalah wajah baru di kancah nasional untuk bidang pemilu.

Muka-muka lama, termasuk Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan Anggota KPU Valina Singka Subekti tersingkir.

Komposisi peserta yang lulus anggota KPUD atau Panwas Pemilu 26 orang, akademisi (12), ahli teknologi informasi (1), praktisi hukum (2), guru (1), pensiunan (2), dan wartawan (1). Di antara mereka terdapat mantan Ketua KPU Kalimantan Selatan Abdul Hafiz Anshary yang pernah mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur dari Partai Golkar. Ada pula Toemin Masoem yang pernah mengundurkan diri dari jabatan Staf Ahli Teknologi Informasi KPU pada Pemilu 2004.

Pendaftar lain yang relatif dikenal publik dalam kaitan pemilu, seperti mantan Sekjen Depdagri Progo Nurdjaman, mantan anggota Panwas Pemilu 2004 Didik Supriyanto, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang, dan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay juga tidak lulus. Muncullah pertanyaan, seperti apa tertulis dari Tim Seleksi Anggota KPU, sampai mereka pun tidak lulus?

Ketika hasil seleksi tes tertulis keluar, banyak kalangan, termasuk para peserta yang menyatakan itu bukan tes tertulis tetapi tes psikologi tertulis. Namun, Tim Seleksi Anggota KPU tetap bersikeras bahwa yang dilakukannya adalah tes tertulis yang dirancang untuk menjaring orang yang bisa bekerja di KPU. "Semuanya kami anggap punya argo yang sama, berangkat dari nol, baik tua maupun muda," kata anggota tim seleksi, Sarlito Wirawan Sarwono.

Pertengahan bulan Juli, sebanyak 260 peserta yang sudah lolos seleksi administrasi mengikuti tes tertulis dari pagi sampai sore. Tes terbagi empat bagian, yaitu tes intelegensia (IQ), tes kepribadian, tes kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tes kesehatan mental. Dari ratusan soal itu, hanya ada sekitar dua pertanyaan menyangkut pemilu. Malahan, peserta diberi tes kesetiaan yang baru pertama kalinya diujikan.

Tes kesetiaan memuat 25 soal. Salah satu soal berisi tiga pernyataan. Contohnya, "Saya lahir di Indonesia sebagai orang beragama Katolik/Kristen Protestan/Islam/Buddha/Hindu", "Saya lahir di Indonesia sebagai bangsa Indonesia", dan "Saya lahir di Indonesia sebagai suku ...". Peserta harus menandai pernyataan yang paling sesuai untuk dirinya dengan tanda (X) dan yang paling tidak sesuai dengan tanda (O). Contoh soal lainnya, "Jika saya anggota KPU maka saya tidak akan korupsi, karena ... a) takut pada Tuhan; b) dilarang UU; c) bertentangan dengan sumpah jabatan."

Dalam tes tertulis yang seperti tes psikologi itu, Tim Seleksi Anggota KPU menggunakan jasa Sarlito & Rekan yang juga milik salah satu anggota tim seleksi, Prof Sarlito Wirawan Sarwono. Sarlito menyatakan, tes itu mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, seperti yang disyaratkan dalam UU 22/2007. Ia juga menambahkan dari 260 peserta ada 70 persen peserta yang lulus tes itu.

"Hanya saja, kami harus memilih 45 orang dengan nilai tertinggi setelah dimasukkan juga rekam jejak peserta. Ada tes IQ karena kami tidak mau yang punya kecerdasan rata-rata bisa masuk dalam KPU," katanya.

Hasil tes tertulis itu pun menuai berbagai macam tanggapan. Salah satu peserta yang ikut tes tertulis, Maruto, mengungkapkan keheranannya. Sebelumnya, dari media massa, dia mengetahui bahwa tim seleksi mengatakan materi tes tertulis mengenai penguasaan terhadap UU 22/2007. "Kenyataannya, sungguh aneh, semua melenceng jauh dari UU 22/2007. Bahkan, soal-soal yang diujikan seperti soal untuk lulusan SMU masuk ke perguruan tinggi," katanya.

Maruto juga menyatakan, dengan cara seleksi seperti itu, mereka telah menghamburkan uang negara. Dia mencontohkan, salah satu bagian tes adalah tes kesehatan mental yang soalnya sama seperti ketika tes psikologi di RSPAD Gatot Subroto, seharga Rp 150.000. Bila harga itu dikalikan 260 peserta, maka akan menelan biaya Rp 39 juta. Itu baru satu bagian dari empat bagian tes yang diujikan.

Beberapa LSM yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Seleksi Calon Penyelenggara Pemilu juga angkat bicara. Mereka mempertanyakan sistem seleksi yang dipakai oleh tim seleksi, misalnya soal parameter yang digunakan untuk mencari orang yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945.

Kurang pengawalan

Terlepas dari semua kritik yang datang, ada salah satu kelemahan dalam proses seleksi KPU ini, yaitu kurang dikawalnya proses ini sejak awal. Di sisi lain, juga kurang terbukanya pihak pemerintah, sejak diusulkan nama-nama calon tim seleksi, sampai kemudian muncul lima nama profesor dalam Keppres Pembentukan Tim Seleksi KPU.

Proses seleksi calon anggota KPU itu sekaligus bisa menjadi potret terulangnya kebiasaan meributkan segala sesuatu di akhir proses. Bagian awal proses seleksi luput dari pengawalan —atau setidak-tidaknya perhatian yang diberikan tidaklah sebesar ketika proses memasuki tahapan akhir. Ketika hasil seleksi menggugurkan sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai "unggulan", barulah respons mencuat ke permukaan.

Merujuk proses pembahasan RUU Penyelenggara Pemilu, proses seleksi KPU memang merupakan salah satu tahapan yang dikhawatirkan tidak bebas dari tekanan. Untuk seleksi KPU daerah, keterlibatan pemerintah daerah dan DPRD menjadi fokus perhatian sehingga potensi intervensi itu ditekan seminimal mungkin. Sementara di tingkat pusat, celah intervensi oleh Presiden dicoba ditutup dengan mendorong klausul bahwa hasil Tim Seleksi tidak bisa diutak-atik lagi. Presiden hanya menyampaikan hasil akhir Tim Seleksi kepada DPR untuk kemudian DPR-lah yang memilih tujuh anggota KPU yang baru.

Sampai tahap itu, tidak ada yang menduga bahwa justru proses di Tim Seleksi-lah yang akhirnya mengejutkan. Sebagian kalangan kemudian mengusulkan agar Presiden mengevaluasi hasil kerja Tim Seleksi dan bahkan mencuat wacana bahwa DPR bisa menolak kandidat anggota KPU yang diajukan Presiden.

Namun, sebagian lain bersikukuh bahwa hasil Tim Seleksi yang memiliki kewenangan penuh itu harus diterima dengan kapang dada.

Saat ini, yang bisa ditunggu adalah hasil seleksi selanjutnya, berupa 21 nama yang akan diserahkan ke DPR. Apa pun yang dihasilkan oleh Tim Seleksi KPU harus dilihat sebagai sebuah pembelajaran dalam demokrasi.

No comments:

A r s i p