Monday, August 27, 2007

HAM dan Pembatasannya

Yohanes Usfunan

Presiden Yudhoyono mengatakan, empat konsensus dasar dalam kehidupan bernegara yang diikrarkan pendiri bangsa harus abadi dan berlangsung sepanjang masa.

Empat konsensus dasar itu adalah dasar negara Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kemajemukan dalam Bhinneka Tunggal Ika (Kompas, 14/8). Penegasan yang sama disampaikan dalam pidato kenegaraan (16/8). Salah satu cara mengaktualkan keempat konsensus itu ialah meningkatkan penggunaan HAM, khususnya kebebasan berpendapat.

Istilah HAM

Secara hukum, penggunaan istilah HAM di Indonesia diatur UUD 1945 dan UU No 39/1999 tentang HAM (dalam kepustakaan hukum digunakan hak dasar. Istilah ini sinonim dengan HAM). HAM berbeda dengan hak-hak manusia (HM). HAM dan HM sering dianggap sama, padahal hakikat dan jangkauannya berbeda.

Pengertian HM luas, menunjuk hak-hak yang mendapat pengakuan internasional yang dibela dan dipertahankan internasional. HM juga menjadi isu besar teori dan praktik hubungan internasional (Meuwissen, 1984). Hirsch Ballin dan Couwenberg mengatakan, konotasi HM terkait asas-asas ideal dan politis sehingga bersifat dinamis. Sebaliknya HAM merupakan bagian integral UUD, bersifat yuridis, statis, dan hanya terkait suatu negara.

Perkawinan sejenis di negara lain tak bisa dipaksakan di Indonesia sebab tidak diatur UUD 1945. Isu HAM lain di luar negeri tidak mungkin dipaksakan pemberlakuannya di Indonesia sepanjang tidak diatur UUD 1945. Dalam konteks domestik, HM dianalogikan dengan hak-hak biasa sehingga lebih luas dan selalu terkait aktivitas setiap orang.

Definisi HAM menurut Pasal 1 Angka 1 UU No 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia.

Maka tidak semua hak dapat dikategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD, UU organik, dan perjanjian internasional. Konsekuensi kurangnya pemahaman akan hakikat dan pembatasan HAM merupakan salah satu penyebab tindakan anarkis. Kebebasan berpendapat melalui demonstrasi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, dan media sering menjadi ajang caci maki, fitnah, dan tindak anarkis.

Ekspresi penggunaan HAM berbentuk tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS di Ambon atau pernyataan merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura merupakan contoh pelanggaran HAM. Dalam penggunaan HAM, dibatasi alasan tidak boleh mengganggu ketertiban umum, keutuhan, dan kesatuan bangsa, seperti diatur Pasal 6 Huruf d dan e UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 73 UU HAM dan UU No 40/1999 tentang Pers, Pasal 28 J Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.

Ketegasan Presiden dalam pidato kenegaraan untuk menindak gerakan separatis yang mengancam kesatuan bangsa perlu didukung. Sebab, pertama, tindakan hukum atas kelompok separatis dan anarkis merupakan upaya menegakkan kedaulatan RI dan wibawa pemerintah.

Kedua, meningkatkan penegakan hukum, kesadaran, dan kepatuhan hukum.

Ketiga, meningkatkan sosialisasi dan kesadaran penggunaan HAM dan pembatasannya. Sebab, kenyataan menunjukkan, banyak pendemo—terutama di daerah—kurang memahami pembatasan HAM secara normatif.

Karakter

Penggunaan HAM dibatasi karakter HAM, baik yang absolut maupun relatif, seperti diatur UUD 1945 dan UU HAM. HAM absolut, yaitu HAM yang dalam situasi apa pun tidak boleh dikurangi dan dilanggar siapa pun sesuai prinsip nonderogable human rights. HAM absolut meliputi hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan nurani, kebebasan beragama, tidak diperbudak, persamaan di muka umum dan hak tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

HAM relatif penggunaannya dibatasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kebebasan media dibatasi kode etik jurnalistik, kode etik penyiaran, dan kebebasan berpendapat yang dibatasi aneka kewajiban seperti diatur dalam UU No 9/1998.

Maka, polisi dan TNI perlu menindak mereka yang terlibat gerakan separatis dan melancarkan tindakan anarkis dengan dalih demokrasi dan demokratisasi. Dephuk dan HAM pun perlu meningkatkan sosialisasi HAM.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Denpasar

No comments:

A r s i p