Tuesday, August 14, 2007

Calon Independen dan ”Kiamat” Parpol?


Catatan Kurniawan Muhammad / jawapos

SYAHDAN, Tuhan sangat marah dengan perkembangan isi dunia yang semakin tak karu-karuan. Lalu, Dia mengutus malaikat untuk memanggil tiga tokoh dunia yang dianggap paling berpengaruh.

Mereka adalah Presiden Amerika Serikat George Bush, Presiden Tiongkok Hu Jintao, dan Bill Gates. Kepada tiga orang itu, Tuhan menyatakan kemarahannya dan memberi waktu mereka untuk menyebarkan informasi kepada penduduk bumi bahwa kiamat akan terjadi seminggu lagi.

Begitu tiba di bumi, tiga tokoh itu langsung menceritakan pengalamannya bertemu dengan Tuhan kepada kolega dekatnya dulu. "Ada kabar baik dan ada kabar buruk," kata Bush kepada anggota kabinetnya. " Kabar baiknya, kita selama ini benar, karena Tuhan memang ada. Kabar buruknya, Tuhan marah dan seminggu lagi akan mengiamatkan isi dunia."

Di tempat lain, Hu Jintao juga langsung mengumpulkan anggota kabinet serta para petinggi partai. "Ada kabar buruk dan kabar sangat buruk," kata Hu Jintao membuka pembicaraan. "Kabar buruknya, selama ini kita salah karena Tuhan ternyata ada. Sedangkan kabar sangat buruk, seminggu lagi akan kiamat karena Tuhan sangat marah."

Lain halnya dengan Bill Gates. Ketika mengumpulkan anak buahnya, termasuk tim ahli dan riset, dia tampak semringah. "Ada kabar baik dan kabar sangat baik," katanya. "Kabar baiknya, Tuhan ternyata sangat percaya dengan saya, dan mempertimbangkan untuk mengangkat saya menjadi wakil manusia di bumi. Kabar sangat baiknya, kita tak perlu lagi berpikir untuk menciptakan program baru, karena seminggu lagi kiamat."

***

Kabar baik, sangat baik, buruk ataukah sangat buruk, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) 24 Juli lalu memutuskan bahwa calon independen boleh ikut pilkada? Jawabannya: bergantung.

Jika yang ditanya adalah rakyat melek politik, yang tahu persis bagaimana kotornya sepak terjang oknum petinggi parpol setiap kali pilkada, tentu saja menganggap keputusan MK itu sebagai kabar sangat baik.

Jika yang ditanya adalah orang yang punya syahwat politik untuk maju menjadi kepala daerah, mungkin akan menganggap keputusan MK itu sebagai kabar baik. Sebab, dia tak harus capek-capek mencari pintu bagi pencalonannya yang selama ini dimonopoli parpol. Dia juga tak harus sibuk melobi tokoh parpol yang dianggap punya karisma, hanya untuk mengejar restu. Upeti (atau mahar, atau infak, atau apa saja namanya), juga tak perlu repot-repot disiapkan untuk mempermulus jalan pencalonannya.

Jika yang ditanya adalah para oknum elite parpol yang selama ini selalu bisa "bermain-main" dan selalu "panen" di setiap pilkada, bisa jadi menganggap keputusan MK itu sebagai kabar sangat buruk, bahkan mungkin seperti "kiamat". Sebab, keputusan MK itu bisa mengikis hak monopoli parpol dalam pilkada. Dengan demikian, panggung tempat para oknum itu "bermain" menjadi lebih sempit, dan hasil "panen" mereka juga bisa berkurang drastis.

***

Dalam perkembangannya, keputusan MK yang membolehkan calon independen maju dalam pilkada tak bisa mulus atau secepatnya dilaksanakan. Mula-mula, polemik muncul, diawali pertanyaan: Dengan cara apa keputusan MK itu dilaksanakan? Apakah dengan cara merevisi UU yang ada (UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah), ataukah dengan cara mengeluarkan Perpu (peraturan pemerintah pengganti UU)?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih cenderung merevisi dulu UU tersebut. Tapi, bagi kalangan yang sudah kebelet atau merindukan munculnya calon independen, berpendapat tak perlu merevisi UU 32/2004. Sebab, mereka menyadari, kalau melalui UU, prosesnya bisa berliku-liku, lama, dan panjang, meski pemerintah menjanjikan bisa selesai Januari 2008. Mungkinkah tuntas Januari 2008? Mereka yang meragukan revisi UU 32/2004 bisa selesai Januari 2008, berasumsi, ketika hal itu dibahas di DPR, bakal terjadi tarik-menarik kepentingan. Ingat, anggota DPR adalah kepanjangan parpol. Dari pernyataan para elite parpol yang terekam di sejumlah media massa, mayoritas mereka terkesan belum sreg dengan calon independen.

Jika memang benar bahwa kalangan parpol masih belum sreg dengan wacana calon independen, apakah penyebabnya mereka takut bakal kehilangan hak monopoli di setiap pilkada? Mengapa harus takut dengan calon independen?

Sebenarnya, tak ada alasan untuk takut dengan calon independen. Pertama, pernah dicoba dan dibuktikan di pilkada Aceh yang berakhir nyaris tanpa konflik. Kalangan parpol (PDIP, Golkar, dan parpol lain yang sudah mapan) bisa menerima dengan legawa kemenangan pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang berangkat dari calon independen. Ini bisa menjadi model bagi pelaksanaan pilkada di daerah lain jika aturan calon independen benar-benar direalisasikan.

Kedua, sangat sulit dipercaya bahwa calon independen bakal menghabisi peran parpol di setiap pilkada. Sebab, bagi parpol yang sudah mapan dan mengakar, mesin politik mereka masih bisa dijalankan secara efektif di setiap perhelatan pilkada untuk mendukung calonnya. Karena itu, jangan khawatir, parpol-parpol tertentu masih sangat cantik untuk dilirik dan dilamar oleh calon yang akan maju dalam pilkada. Bagaimanapun, rakyat masih punya keterikatan secara ideologis dan emosional dengan parpol tertentu.

So... mengapa harus takut dengan calon independen? Coba dulu, ribut, lalu cari solusinya. Kita ini punya kebiasaan buruk: Belum dicoba, tapi sudah pada ribut...(kum@jawapos.co.id)
Kurniawan Muhammad, Wartawan Jawa Pos

No comments:

A r s i p