Saturday, August 11, 2007

”Grey Area” Calon Independen


Cetak E-mail

Oleh: Stevanus Subagijo

Munculnya wacana calon independen sebagai akibat pu-tusan judicial review Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 59 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah No 32/2004 sebagai pemenuhan hak dasar warga negara yang nondiskriminatif dalam partisipasi politik semacam Pilkada, secara substansial patut dihargai.

Secara legal, keikutsertaan calon independen seyogianya dibuka lebar, meski secara institusional (parpol) keberadaan calon independen sangat liberal, karena di saat antarparpol terus mengembangkan tata kekuasaan dalam pemilihan umum, calon independen malah sebaliknya,nirtata kekuasaan.

Ini karena tidak adanya basis kelembagaan dan kaderisasi pada calon independen yang teruji oleh waktu. Dia hanya difasilitasi kepentingan politik sesaat menjelang pemilihan.Di samping itu, lemahnya upaya penggodokan kekuasaan konstituennya yang masih mentah menjadi sebuah ideologi dengan massanya sebagaimana biasa dibudayakan parpol.

Benarkah Independen?

Meski Keputusan Mahkamah Konstitusi berdampak pada deparpolisasi, munculnya calon independen tidak begitu saja bebas intervensi kepentingan politik tertentu.Sebaliknya,di balik namanya sebagai calon independen justru tersimpan sangat banyak dependensi, banyak ketergantungan. Istilah ”independen” memang menyimpan rasa bahasa yang seolah merdeka,tidak beraliran, tidak ada hidden agenda, tidak dipengaruhi kiri atau kanan, tidak membawa bendera parpol.

Independen dirasakan sebagai putih, bersih, dan tidak mempunyai kepentingan apa-apa.Padahal, rasa bahasa ”independen” tetap menyimpan sangat banyak ketergantungan. Istilah ”independen” dalam konteks calon independen hanya mempunyai konotasi bebas dari payung parpol saja, lain tidak. Jika calon yang dependen, dalam hal ini berada dalam payung parpol saja mempunyai ketergantungan politik yang sangat banyak pada elite parpol, ideologi kelompok, konstituen, pemerintah, dan lain-lain yang sedang menjabat.

Mustahil bahwa calon independen tidak mempunyai ketergantungan apa-apa baik dengan massa pengusungnya, ideologi pribadi yang divisikan, pemerintah, dan lain-lain, bahkan tidak menutup kemungkinan calon independen juga mempunyai ”hubungan gelap” dengan parpol tertentu. Politik adalah soal kepentingan. Hal mana menjadi sulit dilacak. Wacana calon independen harus didalami bukan hanya pada upaya mengajukan calon yang tidak diusung parpol pada menjelang pemilihan, tetapi harus dipertanyakan apakah calon tersebut tetap independen setelah memenangkan pemilihan.

Tidak ada gunanya seorang calon sangat independen tetapi setelah terpilih dia menjadi sangat dependen pada banyak faktor. Seorang calon yang diusung Partai Golkar misalnya secara minimal kita tahu bahwa langkahnya tidak jauh dari visi Partai Golkar, beda dengan calon independen prediksi apa yang bisa kita pegang ketika mereka menjabat kelak.

Problem lain dari calon independen yang muncul dalam pilkada ialah bahwa dukungan calon independen ada di kekuasaan rakyat, di bilik suara dan kelak menjadi parlemen jalanan karena tidak terwakilinya dalam parpol.Apa jadinya jika dia memenangkan pilkada, dia mempunyai basis massa di luar kursi parlemen yang sah. Beda dengan calon yang diusung parpol, keterwakilan dalam parlemen otomatis ada dan parpol biasanya mengajukan calon pemimpin yang sudah memiliki track record bagus, baik dalam komunitas parpol sebagai komunitas kekuasaan pun dalam birokrasi bukan tiba-tiba muncul.

Bagaimana calon independen bisa bekerja tanpa dukungan wakil rakyat yang dikuasai orang parpol dalam operasional kepemimpinannya kelak. Begitu pula bagaimana reaksi bawahannya, jika pemimpin daerah tidak didukung birokrasi bawahannya, bisa jadi malah sebaliknya terjadi sabotase internal. Calon independen membawa romantisme politik.

Di satu sisi mempunyai ideal hak asasi setiap rakyat untuk mengajukan dirinya sebagai calon dalam pilkada, tetapi di sisi lain membuat keblinger kekuasaan. Justru dengan kekuasaan tidak terinstitusionalisasi, kekuasaan pada calon independen menjadi sangat mentah, personal, bukan komunal.Parpol sebagai komunitas kekuasaan merupakan wilayah tarik menarik, toleransi kekuatan di antara elite-elitenya, daripada calon independen yang lebih egosentrisme.

Belum Teruji

Bagaimanapun, meski seorang calon dikatakan dependen yakni diusung parpol tertentu, ketika calonnya terpilih, dia tidak berarti dependen. Dia hanya memerintah untuk kepentingan parpol dan massa yang memilihnya. Calon pemimpin dari manapun asal parpolnya ketika terpilih menjadi pemimpin harus selalu independen. Dalam arti, dia memimpin untuk semua kalangan parpol dan massa baik yang memilih ataupun yang tidak.

Jiwa kenegarawanan seorang pemimpin tidak lagi terkekang oleh primordial ideologi parpol atau massa yang mengusungnya, meski dia juga tidak menafikan jasajasa mereka sehingga memenangkan pilkada. Calon dependen atau calon yang diusung parpol mestinya justru mempunyai tekanan atas ”amanah kolektivitas” yang lebih besar, dibanding calon independen yang sorangan wae.

Perlunya calon dalam pilkada diajukan parpol ialah untuk melembagakan kekuasaan yang mentah dari rakyat ke institusionalisasi dalam parpol. Dengan begitu, upaya deparpolisasi dengan adanya calon independen ini merugikan, karena dengan parpol saja upaya menggodok kekuasaan yang masih mentah belum menjadi masakan yang enak bagi rakyat.

Apa jadinya jika tanpa institusionalisasi, kekuasaan mentah rakyat mendadak secara instan diajukan sebagai menu kekuasaan dalam pilkada. Parpol bertujuan untuk menjinakkan kekuasaan mentah rakyat, deparpolisasi hanya menciptakan kekuasaan yang tidak terkontrol (tend to corrupt) pada sosok pemimpin meski dipilih rakyat. Jika dikatakan parpol menjadi calo uang bagi calon yang ingin maju, parpol penuh politik uang, parpol menjadi pusat kekuasaan dan seterusnya apakah calon independen tidak bisa terjerumus pada sisi gelapnya juga.

Bagaimana dengan calon independen yang merupakan triliuner, dus pengusaha, bukankah dia bisa membeli apa saja demi kepentingan politiknya.Tidakkah kekayaannya itu juga menjadi sarana untuk bermain politik uang. Jika memenangkan pemilihan, dia cenderung menjadi tirani one man show, lebih dari tirani minoritas/ parpol, karena kemenangannya bertumpu pada keunggulan dirinya tanpa jasa orang lain atau lembaga apapun.

Wacana calon independen sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi meski ideal dan membuka akses demokrasi bagi siapa saja, dikhawatirkan akan terjatuh pada pragmatisme pilkada, pragmatisme kekuasaan. Kasus calon independen di Amerika Serikat saja hanya pernah diraih cukup besar saat Roos Perot mencalonkan diri menjadi presiden dengan perolehan 17%. Meski memang tidak bisa ditolak hak-hak individu untuk terlibat dalam demokrasi pilkada, calon independen hanya romantika pemilihan yang seolah ideal tetapi tidak membumi. Dia bak bunga indah, tetapi tanpa akar. (*)

Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta

No comments:

A r s i p