Monday, August 20, 2007

Menakar Mahkamah Konstitusi

TOTO SURYANINGTYAS

Empat tahun setelah kelahiran Mahkamah Konstitusi, peranan lembaga negara tersebut kerap kali menimbulkan kontroversi. Keputusan-keputusan yang lahir dari lembaga bentukan amandemen UUD 1945 ini pada satu waktu melambungkan harapan publik akan keadilan, tetapi pada waktu lain membuat keruwetan sistem politik bertambah.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi angin segar bagi masyarakat. Sebagian besar responden, 68,4 persen, menyetujui keputusan MK tersebut dan hanya 24,5 persen yang tidak setuju.

Keputusan MK kali ini juga mengangkat citra MK. Dalam jajak pendapat sebelumnya dinilai negatif. Separuh (50,1 persen) responden jajak pendapat kali ini menilai citra MK positif, sementara 40 persen menilai buruk. Proporsi apresiasi responden terhadap MK lebih baik daripada apresiasi terhadap rata-rata lembaga penegak hukum lain yang tidak mencapai separuh proporsi.

Sebelumnya, penilaian negatif responden banyak terkait dengan keputusan-keputusan kontroversial MK. Pada Juli 2004 MK membatalkan UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002. Pada Februari 2005 MK juga mengejutkan masyarakat dengan keputusan membatasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih perkara korupsi sebelum UU tentang KPK diundangkan.

Keputusan kontroversial lainnya adalah ketika MK membatalkan ketentuan UU Komisi Yudisial tentang pengawasan hakim pada Agustus 2006. Pembatalan kewenangan KY mengakibatkan respons publik jajak pendapat terhadap MK sangat negatif. Sebagian besar responden tidak menyetujui keputusan MK itu. Hampir seluruh responden (92,4 persen) menyatakan justru perlunya pengawasan dilakukan terhadap hakim MK.

Juga mengejutkan, pada 19 Desember 2006 MK mengeluarkan putusan yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945. Meski MK menangguhkan putusannya selama tiga tahun hingga terbentuknya undang-undang yang memperbaiki keberadaan Pengadilan Tipikor, publik sudah telanjur kian pesimistis penyelesaian kasus-kasus korupsi dapat dituntaskan.

Pengawasan hakim

Kebutuhan akan sebuah lembaga yang menjamin agar koridor konstitusi dipatuhi membuat MK sangat kuat.

Namun, semangat dinamis kelembagaan negara di negeri ini pada kenyataannya tetap berhadapan dengan potensi masalah. Apalagi, tanggung jawab atas undang-undang dan konstitusi sebagai urat nadi sistem hukum seluruh bangsa terletak di atas pundak (hanya) sembilan hakim konstitusi. Bandingkan dengan tanggung jawab sistem hukum nasional "reguler" yang menjadi tanggung jawab puluhan hakim agung MA, ribuan hakim plus yurisprudensi yang sudah lama terlembaga.

Lubang-lubang jebakan tetap akan menghadang lembaga ini. Besarnya wewenang MK juga berpotensi menggoda para hakim konstitusi.

Betapa tidak, setiap keputusan yang diluncurkan MK akan selalu terkait dengan wilayah strategis karena nilai kasusnya senantiasa terkait kepentingan publik yang besar. Jika tepat, keputusan bisa menjadi dasar penyelesaian sebuah gugatan, tetapi bisa menjadi pemicu ketidakstabilan politik sebagaimana kekhawatiran sebagian besar (63,8 persen) responden.

Pada titik inilah publik tampaknya menganut sikap bahwa lembaga negara apa pun harus bisa diawasi dan dikontrol, lebih-lebih lembaga hukum tertinggi yang memutuskan peraturan bangsa yang paling mendasar. Kekhawatiran bahwa kewenangan yang dimiliki MK akan mudah dijadikan alat untuk kepentingan di luar kepentingan hukum konstitusi tampaknya masih kental. Maka sebagian besar responden (87,3 persen) menilai hakim-hakim MK harus bisa diawasi.

Responden juga menilai koridor kewenangan hakim konstitusi sebaiknya juga dibatasi dan keputusan hakim MK sebaiknya bisa dievaluasi dan tidak bersifat final.

(Sugihandari/David Raja Marpaung/Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p