Friday, August 24, 2007

Kekuasaan dan Tragedi Pendidikan

Prudensius Maring

Kaitan kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki penguasa menentukan cara mereka mendefinisikan pendidikan dan memformulasi kebijakan sistem pendidikan.

Saat seseorang berkuasa, ilmu pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi. Keteguhan penguasa dan konstruksi pengetahuan tercermin dalam kebijakan pendidikan. Aksinya tidak mengakomodasi kritik dan saran.

Dari awal, sosok Mendiknas Bambang Sudibyo sebagai ekonom dikhawatirkan mempercepat komersialisasi pendidikan. Hal itu dibentengi Wapres Jusuf Kalla yang berlatar belakang ekonomi-pengusaha. Pertautan kekuasaan-pengetahuan menentukan kebijakan ujian nasional (UN) yang berwajah kuantitatif dan mengabaikan proses.

Kekuasaan dan ilmu

Kontroversi pemberlakuan UN mengingatkan konstruksi pemikiran Michel Foucault (1980), pertautan kekuasaan dan ilmu pengetahuan (power/knowledge) selalu membangun hubungan menguatkan. Kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis bisa diperankan individu atau institusi. Kekuasaan bekerja berdasarkan mekanisme kerja ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Berbekal pengetahuan tertentu, penguasa menentukan cara kerja yang khas untuk melakukan kategorisasi, mendefinisikan, dan menentukan tindak lanjut masalah yang dihadapi. Dalam praktik, pola pikir dan definisi kerja penguasa merujuk latar belakang ilmu, lembaga yang membesarkan, dan buah pikir di baliknya.

Ini sejalan dengan tesis, tiap bidang ilmu akan menurunkan cara kerja (metode). Siapa yang masuk ke ilmu itu harus memilih cara kerja ilmu itu meski cara kerja itu asing, merongrong prinsip kreativitas, dan mengabaikan keragaman. Cara kerja itu memperkuat posisi mereka yang ada di baliknya (penguasa).

Kekuasaan dan ilmu pengetahuan memberi kekuatan kepada seseorang untuk menjatuhkan penilaian dan menghakimi orang lain berdasarkan "kacamata" pengetahuannya. Bahkan ia bisa melahirkan konfigurasi sosial baru. Pemberlakuan ujian paket "susulan" bagi mereka yang tidak lulus UN bisa melahirkan penghakiman sosial atas dasar pembedaan kualitas anak didik.

Konstruksi pemikiran ini bisa menjelaskan kontroversi sistem pendidikan di Indonesia. Pengetahuan penguasa berbasis ekonomi-pasar, bersifat makro dan kuantitatif terlihat dalam pemberlakuan standar nasional pendidikan. Penguasa mengabaikan proses dan infrastruktur pendidikan yang karut-marut. Padahal, itu berawal dari gagalnya layanan pemerintah.

Kekuasaan dan pendidikan

Pemerintah berkuasa menetapkan definisi masalah dan kebijakan. Sosok Jusuf Kalla tegas mendefinisikan masalah pendidikan di tengah realitas sosial. Menurutnya, bangsa ini terpuruk karena terbiasa dengan budaya lembek, dengan itu mustahil kita mengejar ketertinggalan dan menyamakan diri dengan bangsa lain (Kompas, 4/2/2005).

Definisi awal itu menarik, tetapi terjadi kontradiksi pemaknaan. Lihat pandangan Mendiknas (Kompas, 15/11/2005), paradigma pendidikan harus dikembangkan secara dinamis guna memenuhi kebutuhan dunia kerja pasar global. Ini membutuhkan pendidikan yang relevan dengan situasi sekarang dan esok. Kebijakan konkretnya, pemberlakuan standar nasional melalui UN.

Dengan basis pengetahuan ekonomi, penguasa menerjemahkan tindak lanjut dalam bentuk evaluasi yang mengabaikan proses dan infrastruktur. Penguasa menjadikan UN sebagai terapi kejut agar budaya lembek diganti kerja keras. UN menjadi cara mengejar ketertinggalan.

Terlihat, kekuasaan berwajah ekonomi mewujudkan hasratnya. Namun, hasrat itu mengutamakan kebutuhan pasar, bersifat makro dan kuantitatif. Pola itu mengancam kesejatian pendidikan yang menjamin keseimbangan budi dan nalar. Ini muncul dalam bentuk kecurangan, diskriminasi pelajaran, mentalitas belajar sekadar ujian, dan frustrasi yang melanda anak didik.

Kritik dan saran berbagai kalangan adalah kategori dan definisi di luar kerangka pengetahuan penguasa. Ia sulit dipahami penguasa, apalagi mengubah kebijakan. "Silakan saja kontra terhadap ujian nasional, tetapi pemerintah tetap akan jalan. Kita tidak bisa menghentikan misi ke depan hanya karena orang tidak setuju," tegas Jusuf Kalla.

Gagasan ini semua untuk mengingatkan, kita perlu menghindari tragedi pendidikan pada masa datang. Penentuan "penguasa" pendidikan harus bebas dari gerilya politik "asal dapat jatah". Pihak berkompeten, seperti pendidik, pemerhati, ahli pendidikan, dan kalangan LSM, perlu didengar dalam penentuan posisi ini.

PRUDENSIUS MARING Mahasiswa S-3 Antropologi Universitas Indonesia; Menekuni Disertasi "Dinamika Kekuasaan dan Perlawanan Sosial"; Dosen Politani Kupang

No comments:

A r s i p