Friday, August 24, 2007

Mahkamah Agung


Wibawa Lembaga yang Kian Pudar...

AJ Ibnu Wibowo dan Toto Suryaningtyas

Publik tampaknya semakin apatis terhadap kondisi Mahkamah Agung atau MA. Lembaga saka guru dalam penegakan hukum dan keadilan itu makin sering terlihat gagap dalam menjalankan misi keadilan. Tidak hanya terkait putusan hakim, kini publik juga sangsi karena nuansa kepentingan politis dari pernyataan MA.

Usia yang sudah melewati 62 tahun ternyata tidak menjamin sebuah lembaga menjadi semakin matang dan stabil. MA menjadi sebuah gambaran betapa kontroversi menjadikan lembaga pencari keadilan tertinggi ini justru terlihat rapuh di mata publik. Sejak dipimpin oleh Bagir Manan, MA menjadi lembaga yang tidak henti-hentinya menimbulkan polemik.

Polemik paling baru adalah bukti rekaman pembicaraan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot PT Garuda Indonesia yang pernah didakwa membunuh aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Dalam rekaman pembicaraan Pollycarpus dengan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan itu, Ketua MA disebut-sebut sebagai "orang kita" oleh Pollycarpus. Meskipun Bagir mengatakan rekaman itu berisi kebohongan luar biasa, publik bisa mengaitkannya dengan putusan MA yang sebelumnya membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir.

Dengan bukti rekaman itu, bisa jadi citra MA akan makin terpuruk di mata publik. Padahal, sebelumnya Ketua MA Bagir Manan baru saja menimbulkan polemik dengan pernyataannya supaya usia pensiun hakim agung diperpanjang dari 65 tahun menjadi 70 tahun.

Walaupun disebutkan usulan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang kini telah berumur 65 tahun pada saat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang MA disahkan, hal ini semakin memperkuat posisi MA yang dinilai tidak reformis dan tidak memiliki komitmen kuat untuk berubah.

Penilaian itu diperkuat hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 22-23 Agustus 2007, yang menemukan hanya 23,3 persen responden yang menyatakan setuju jika usia pensiun hakim agung diperpanjang. Sebaliknya, sebagian besar lainnya (72,8 persen) menyatakan ketidaksetujuannya.

Kecurigaan bahwa usulan Bagir Manan itu tidak semata terkait dengan kebutuhan hukum tecermin pula dari sedikitnya pernyataan setuju responden. Hanya 20,4 persen responden yang menganggap usulan perpanjangan ini diajukan demi kepentingan penegakan hukum, berbeda dengan pendapat sebagian besar responden (73,8 persen) yang menganggap ada kepentingan lain di balik usulan tersebut.

Sulit dimungkiri, penyikapan responden itu sangat terkait dengan pembawaan sosok MA sebagai lembaga hukum formal tertinggi yang kerap mengecewakan. Belum terlalu lama MA menarik perhatian masyarakat dengan sikap lembaga ini yang cenderung defensif terhadap berbagai pendekatan dari lembaga penegak hukum lainnya.

Perselisihan antara MA dan Komisi Yudisial (KY) beberapa waktu lalu, terkait langkah pemeriksaan hakim oleh anggota KY, secara umum memberkaskan kesan negatif, lembaga ini tak ingin dikoreksi pihak luar. Padahal, publik telanjur memandang MA merupakan salah satu tingkat peradilan yang paling mendesak untuk diperbaiki.

Kinerja

Ekspektasi yang tinggi terhadap MA agaknya turut menentukan persepsi publik terhadap lembaga itu. Kinerja lembaga negara yang dinilai tidak memuaskan dalam mengeluarkan putusan kasasi, peninjauan kembali (PK), maupun keputusan lainnya akhirnya memperkuat kesan kentalnya pengaruh mafia peradilan dalam tubuh kelembagaan MA.

Rangkaian hasil jajak pendapat menunjukkan, proporsi responden yang merasa tidak puas terhadap kinerja hakim agung dalam memutuskan berbagai perkara tidak menampakkan perbaikan. Dalam menangani kasus kriminalitas, narkoba, pelanggaran HAM, korupsi, mafia peradilan, dan kasus yang melibatkan pejabat negara, pendapat publik cenderung stagnan di posisi tidak puas. Dalam jajak pendapat kali ini pun sebagian besar responden menyatakan tidak puas (lihat grafik).

Peran MA dalam penyelesaikan berbagai kasus memang penting. Namun, di mata publik hal ini tidaklah cukup dan bukan sebuah prestasi. Publik menginginkan perubahan dan perbaikan yang signifikan dari MA. Di antaranya membasmi mafia peradilan hingga ke akar-akarnya, memenjarakan semua hakim yang korup, dan mencopot semua hakim yang menerima suap dan terlibat jual-beli perkara.

Mengundurkan diri

Situasi peradilan di Indonesia memang berbeda dibandingkan dengan negara maju yang sudah mapan struktur dan keanggotaan lembaga peradilannya. Meski memakai sistem hukum berbeda, di negara seperti negara Eropa dan Amerika Serikat, kedudukan seorang hakim, apalagi hakim agung, sedemikian tinggi. Jangankan terbukti dalam satu perkara, baru dalam tahap disebut-sebut pun, bisa membuat mereka mengundurkan diri. Sementara di Indonesia, tidak cukup dengan disebut-sebut, bahkan sampai ruang kantor Ketua Mahkamah Agung digeledah dalam dugaan kasus suap Probosutedjo, posisi ketua lembaga nan agung itu tetap bergeming.

Tak berlebihan jika hasil survei Transparency International menunjukkan masih tingginya praktik korupsi di pengadilan (Kompas, 4/6). Bahkan, laporan Endin Wahyudin tentang penyuapan terhadap hakim agung pun justru berujung pada didakwanya pelapor sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik dan akhirnya divonis penjara. Endin dipenjara.

Tak heran, citra lembaga peradilan di negara ini, khususnya MA, senantiasa buruk. Padahal, pada awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, citra MA sempat terangkat meskipun belum sepenuhnya membalik pandangan publik dari buruk ke arah baik. Sayangnya, momentum perbaikan citra ini tak dapat dijaga sehingga wajah MA pun kembali terpuruk. Saat ini, sebagian besar responden (70,4 persen) menilai citra MA buruk dan hanya 24,6 persen saja yang menilai baik. Publik pun merasa hakim agung MA belum bebas dari intervensi politik pihak di luar kekuasaan kehakiman dan dari pengaruh imbalan materi.

Meskipun pemerintahan pada era reformasi sudah berjalan hampir 10 tahun, tidak ada gebrakan berarti yang dihasilkan MA. Keberadaan mafia peradilan juga tidak diyakini dapat dipupus MA. Karena itu, wajar jika saat ini publik kian pesimistis terhadap kinerja lembaga tersebut.

(Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p