Wednesday, August 15, 2007

Tahun yang Mengerikan

Daoed Joesoef

Republik Indonesia mencapai usia 62 tahun. Menjelang usia itu, perjalanannya bukan tidak terasa oleh warganya.

Sungguh amat dirasakan, meski dengan intensitas berbeda karena nyaris tiada hari tanpa gangguan fisik dan psikis. Sepak terjang alam datang silih berganti.

Tahun yang mengerikan

Bersamaan dengan itu, berbagai kejadian nonalami yang kian mendebarkan, menjengkelkan, dan menakutkan bercampur hingga merupakan tahun yang mengerikan. Lebih-lebih bila mengetahui keadaan itu diduga akan berlanjut. Berhadapan dengan situasi ini para warga berasa seperti anak ayam kehilangan induk.

Dalam keadaan kelabu begini biasanya orang mencari ketenteraman batin dan kepastian pegangan pada petunjuk dari orang yang dianggap kompeten dalam urusan religius. Namun, apa lacur, persona yang konon doktor ilmu Al Quran ketahuan melakukan korupsi.

Kecelaan juga menulari persona yang pantas ditiru dan digugu, yaitu guru, bahkan guru besar! Menyalahgunakan wewenang, mengambil dengan tangan kiri uang nelayan, kelompok termiskin, dan tangan kanan membagi uang kepada "siapa saja", termasuk guru yang juga "besar". Lalu apa gunanya persona dari komunitas ilmiah melibatkan diri langsung dalam jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif jika akhirnya hanya untuk menyesuaikan diri pada aneka kebiasaan komunitas politik, mematuhi kehendak money politicking?

Di ruang lingkup kekaryaan guru juga terjadi hal-hal yang horrible. Prasarana dan sarana pendidikan warisan Orde Baru rusak karena tidak dirawat. Karena beroperasi tanpa konsep kerja menyeluruh, tiap lembaga dan jenjang pendidikan berjalan sendiri-sendiri, mengabstrakkan begitu saja keterkaitan fungsional satu sama lain. Begitu rupa hingga ide demokrasi pendidikan, yaitu mutu yang kian tinggi bagi jumlah anak didik yang makin banyak, telah diabaikan. Di sana-sini diberitakan ada murid-murid bunuh diri karena keputusasaan/kebingungan.

Rakyat biasa, yang dalam kampanye pemilu selalu diagung-agungkan sebagai tuan/pemilik negeri, juga tak kalah stres menghadapi ketidakpastian dalam beberapa hal: persediaan pangan, kesempatan kerja, keamanan perjalanan dan alat pengangkutan, pergantian kerusakan/kehilangan harta benda akibat salah urus investor-politikus-pengusaha, ketidakpedulian aparat birokrasi yang mata duitan dan elite politik yang rakus.

Pemanfaatan kekayaan alam oleh generasi penguasa juga merisaukan. Mereka menganggap diri sebagai pewaris dan bertindak semaunya. Mereka lupa, generasi sekarang hanya meminjam kekayaan itu dari generasi mendatang, yang wajib mengembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan tetap terpelihara.

Ketidakadilan

Yang cukup mendebarkan adalah gerakan separatis yang mengancam integritas NKRI. Separatisme ini katanya akibat ketidakpuasan terhadap pembangunan ekonomi dan politik selama ini. Ketidakpuasan sudah ada sejak Orde Baru. Para reformatur menjadikan hal ini sebagai alasan pembenaran gerakan pembaruan. Namun, yang terwujud amat berbeda dari berbagai gambaran muluk yang dijanjikan. Sementara pola kebijakan pembangunan tetap sama, otonomi daerah yang diintroduksi reformasi hanya menghasilkan pemerataan dalam korupsi di kalangan elite politik dan pemerintah.

Tanpa membenarkan separatisme, harus diakui alasan awalnya reasonable, yaitu ketidakadilan. Sementara itu, perluasan target aksi dan kekerasan yang menyertai sungguh mencemaskan karena membawa agama.

Itulah yang paling mengerikan dari semua kengerian. Pengatasnamaan agama ini banyak diilhami oleh apa yang terjadi di Timur Tengah dan Asia. Di wilayah itu pemunculan Islamis radikal-fanatik merupakan gejala besar politik. Dan di kalangan Muslim cenderung mengidentikkan Arab dengan Islam.

Sebagian besar negeri Arab-Islam kini sedang mengalami krisis politik dan kultural yang serius. Setelah kegagalan pengukuhan nasionalisme Arab dan lenyapnya ilusi pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat, kian banyak penduduk yang mencari pegangan pada apa yang disucikan.

Bagi masyarakat tradisional, menerima modernitas berarti mengikhlaskan aneka kehilangan yang disebabkan oleh setiap perubahan yang mendalam dan radikal. Kehilangan ini bisa diterima bila ia merupakan harga yang harus dibayar demi pembangunan, tetapi dengan syarat, hasilnya dapat dinikmati.

Pada saat hasil itu tak kunjung tiba, golongan konservatif memanfaatkannya untuk menabur ide integrisnya. Dengan jalan begitu, golongan ini menggerakkan revolusi Iran, coup d’etat islamis di Sudan, pembunuhan kaum intelektual dan orang asing di Mesir dan Aljazair, gerakan radikal islamis di Afganistan dan Pakistan, dan belakangan kelahiran kembali Islamisme di Turki.

Untuk mengesankan, gerakan integritas mereka juga "modern", ilmu pengetahuan tidak dikutik. Bukankah ajaran Islam sebenarnya mendorong penggunaan nalar (akal) dan penguasaan ilmu pengetahuan? Para pemimpin integris di Aljazair dalam kampanye Pemilu 1991, misalnya, tidak ragu-ragu menggunakan laser untuk menyorotkan tulisan "Allahu Akbar" di langit, agar rakyat terkesan mereka sedang berdialog langsung dengan Tuhan. Maka, di negeri-negeri yang dikuasai ide integrisme pelajar/mahasiswa didorong membanjiri lembaga pendidikan teknik, bukan lembaga pendidikan keilmuan.

Pseudoilmiah

Jadi, meski tetap berupa pendidikan "ilmiah", dengan sadar integrisme hanya berusaha mereduksi ilmu pengetahuan pada aspek teknisnya, tidak mengakui dasar-dasar metafisis ilmu pengetahuan modern. Inilah yang mengerikan, jadi perlu diwaspadai.

Betapa ngerinya jika rakyat kita yang Muslim terjebak pemikiran pseudoilmiah Arab-Islam integris yang sedang menanjak di sana. Sebab, ilmu pengetahuan adalah bagian konstitutif budaya nasional. Sedangkan negeri-negeri Dunia Ketiga—di mana sebagian besar negerinya berpenduduk Islam, termasuk Indonesia—tidak mungkin mengharap dapat mencapai tingkat pembangunan tertentu tanpa menguasai ilmu pengetahuan.

Suasana mengerikan yang sering mencekam hidup keseharian, menantang kita untuk memikirkan sintetis antara nalar, keyakinan, dan kehidupan karena ia berupa kesimpulan yang pantas disebut religio vera.

Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III,

No comments:

A r s i p