Monday, August 20, 2007

"Bargain" Politik Petani Jepang

Steven Mere

Masuk sudut makanan kebutuhan pokok di supermarket Jepang memberi kesan berada di tengah lahan penghasil jenis bahan makanan apa saja. Bahan makanan dari luar Jepang berlimpah.

Pisang dari Filipina dan Amerika Latin. Mangga dan kelapa dari Thailand dan Filipina. Udang dari Indonesia dan Vietnam. Daging sapi dari AS dan Australia. Madu dari China. Harganya pun murah jika dibandingkan dengan barang-barang produksi dalam negeri (kokusan).

Liberalisasi ekonomi

Data Food Supply and Demand Table of 2002 Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menyebutkan, 60 persen makanan yang dikonsumsi masyarakat Jepang diimpor dari luar. Karena pertanian dalam negeri hanya menyediakan 40 persen bahan makanan.

Terjadi deklinasi produksi pertanian dalam negeri Jepang bersamaan dengan deklinasi jumlah tenaga kerja. Banyak kaum muda migrasi ke kota. Padahal, jumlah petani tua cukup banyak dan perlu regenerasi. Skala pengolahan lahan pertanian pun disesuaikan jumlah dan tenaga kerja yang ada. Sulit mengolah lahan dalam skala besar. Belum lagi, biaya produksi pertanian amat mahal.

Dalam kondisi ini, pendekatan baru politik pertanian dan kebijakan penyediaan makanan dalam negeri menjadi urgen. Di bawah PM Junichiro Koizumi, Jepang yang selama ini ada di garda depan penerapan perlindungan pertanian (agricultural protectionism) dengan resistan terhadap impor hasil pertanian (makanan), mulai membuka pintu liberalisasi ekonomi. Salah satu langkah penting adalah menjaga stabilitas makanan impor.

Bagi masyarakat perkotaan, yang mencakup 80 persen penduduk Jepang, tersedianya kebutuhan pokok makanan impor murah tentu menggembirakan. Apalagi di tengah realitas mahalnya biaya hidup perkotaan.

Bagi negara dan petani pengekspor, terbukanya pintu impor memperluas pasar dan keuntungan bagi petani serta peningkatan devisa negara. Berbagai perusahaan transnasional yang terlibat hunting for food berpeluang meraup untung bisnis makanan.

Namun, tidak demikian bagi petani Jepang (4,6 persen dari populasi). Berlimpahnya makanan impor, selain melumpuhkan produksi pertanian dalam negeri, juga menyulitkan pengembangan usaha pertanian.

Besarnya biaya produksi yang tak diimbangi hasil pasar membuat banyak petani tidak bisa menggantungkan hidup hanya pada pertanian. Diperkirakan 80 persen petani harus mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sambilan di kota-kota terdekat (Yasuyo Yamazaki, 2004).

Kebijakan baru

Tanggal 4 April 2006 Pemerintah Jepang mengadopsi kebijakan baru, New Agricultural Policies 2006 for the 21st Century. Kebijakan yang oleh Yoshitaka Mashima (Gerakan Keluarga Petani) disebut sebagai destructive agriculture policies itu memuat visi yang justru memperburam prospek pertanian di Jepang.

Pertama, menghapus sistem tunjangan income bagi semua petani karena sistem lama dianggap terlalu melindungi petani.

Kedua, membongkar sistem pertanian keluarga yang menjadi basis pertanian Jepang.

Ketiga, sekitar 75 persen petani diekstradisi dari proses produksi. Sisanya, menerima subsidi pembayaran langsung, untuk menutupi gap harga barang dalam negeri dan barang impor.

Dalam keterpurukan itu, tawaran kebijakan pertanian partai oposisi Minshuto (Partai Demokrat), tentang kompensasi income untuk tiap petani bila biaya produksi melampaui harga penjualan hasil produksi atau dikenal dengan kobetsushotokushoshou (Manifest Politik No 3), menjanjikan harapan baru bagi petani.

Terlihat sikap dan komitmen soal balance keberpihakan Minshuto kepada petani. Tidak hanya probisnis dan elite pemodal, hanya demi mengejar kemajuan ekonomi makro yang dituntut globalisasi ekonomi semua petani di daerah dirangkum dan disantuni dana insentif secara proporsional. Keberpihakan Minshuto kepada petani ini mengkristalkan kekuatan petani menggugat PM Abe dan Jiminto, sekaligus mengalihkan kepercayaan kepada Minshuto dalam Pemilu Majelis Tinggi Jepang 29 Juli 2007. Jiminto tumbang sebagai partai berkuasa. Posisi PM Abe pun bagai telur di ujung tanduk.

Kemenangan Minshuto, yang kini menguasai Majelis Tinggi arlemen Jepang, bisa disebut kemenangan petani. Kini posisi tawar petani atas pemerintahan PM Abe tidak bisa diremehkan.

Steven Mere Diperbantukan di Department of Asian Studies, Nanzan University, Nagoya, Jepang

No comments:

A r s i p