Tuesday, April 15, 2008

ANALISIS POLITIK


Musim Semi Kebijakan Populis

Selasa, 15 April 2008 | 01:03 WIB

EEP SAEFULLOH FATAH

Di tengah hiruk-pikuk isu-isu permukaan saat ini, ada baiknya kita justru menengok ke bawah permukaan. Kedatangan tahun 2008 yang akan menjemput 2009 ditandai oleh mengalirnya arus politik besar di bawah permukaan. Marilah kita sebut arus ini sebagai ”musim semi kebijakan populis”.

Musim semi kebijakan populis adalah kecenderungan pasang naiknya kebijakan-kebijakan yang memihak orang banyak. Celakanya, sebagaimana tecermin dari namanya, ia hanya menjadi sebuah musim yang pendek.

Pemihakan terhadap orang banyak, yang semestinya menjadi karakter semua kebijakan, hanya menjadi tanda-tanda sesaat untuk tujuan tertentu (ad hoc) serta menjadi gejala yang bersifat sementara (interim). Musim semi itu berkembang ketika sebuah pemerintahan hendak berakhir dan pemilu berikutnya sudah di depan mata.

Sebagaimana galibnya, pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum di mana saja memang selalu ingin berlaku seperti film Hollywood: happy ending. Pemerintah ingin membukukan sukses pada ujung kerjanya. Tak ada pemerintah yang membiarkan kegagalan menjadi penutup akhir kerjanya. Maka, berkembanglah musim semi kebijakan populis di setiap ujung masa pemerintahan.

Musim semi itu dibentuk oleh dua kemungkinan alasan atau kepentingan. Pertama, kepentingan jangka pendek, yakni terpilih kembalinya sang pemimpin dalam pemilu berikutnya. Kedua, kepentingan yang lebih berjangka panjang, yakni tercatatkannya pemerintahan itu dalam sejarah dengan tinta emas.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla bukanlah pengecualian. Sepanjang tahun 2008 hingga penyelenggaraan Pemilu 2009, pemerintahan Yudhoyono-Kalla akan cenderung mengembangbiakkan karakter populis dalam kebijakannya. Pemerintah akan berlaku manis untuk menyenangkan sebanyak mungkin orang atau kalangan.

Dalam konteks itulah kita bisa meletakkan sejumlah kebijakan Yudhoyono-Kalla. Janji untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak untuk publik dengan memberlakukan sistem subsidi silang antara konsumen kelas menengah atas dan industri dengan kalangan menengah bawah dan rumah tangga. Mobilisasi semua sumber daya—termasuk dana yang konon akan mencapai Rp 80 triliun hingga akhir masa jabatan—untuk menghapuskan kemiskinan. Sertifikasi tanah cuma-cuma. Memodifikasi program Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin) yang gagal melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat. Membuat sejumlah langkah perbaikan perhatian terhadap pegawai negeri sipil, buruh, dan petani.

Lebih jauh, untuk makin menegaskan kesan populis, para pejabat publik juga memperkerap kunjungan mereka ke tengah masyarakat di berbagai pelosok daerah. Upacara-upacara yang bersifat simbolik-seremonial dibuat untuk menegaskan pemihakan pemerintah pada rakyat.

Itulah kurang lebih suasana yang akan terbangun sepanjang 2008-2009. Sebagian di antaranya sudah mulai terasa hari-hari ini. Suasana ini mau tak mau mengingatkan kita pada kecenderungan serupa di akhir masa kekuasaan Megawati-Hamzah Haz pada 2003-2004.

Dampak ekonomi global

Persoalannya, bagi pemerintahan Yudhoyono-Kalla, tidaklah mudah membangun musim semi kebijakan populis. Di satu sisi, kebijakan populis di mana saja membutuhkan mobilisasi sumber daya, termasuk sumber daya finansial, yang tidak sedikit. Di sisi lain, perkembangan ekonomi global sungguh tak bersahabat.

Harga minyak mentah dunia, misalnya, menunjukkan grafik naik yang mencemaskan negara pengimpor minyak seperti kita. Selain membebani anggaran belanja negara, kenaikan harga minyak makin mempersempit ruang manuver pemerintah untuk membuat inovasi kebijakan yang memihak publik.

Pada titik itu bisa muncul setidaknya dua kemungkinan. Pertama, kreativitas dan kecerdasan pemerintah terdorong dalam manajemen pemerintahan dan kebijakan. Tuntutan pragmatis untuk membuat kebijakan populis dan keterbatasan anggaran bisa memacu kemampuan para pengambil kebijakan untuk menyiasati keadaan.

Kedua, bisa memicu kehendak untuk merekayasa kebijakan publik yang manipulatif. Kebijakan-kebijakan tertentu dibuat hanya untuk menumbuhkan citra atau kesan bahwa pemerintah memihak publik serta berhasil mengatasi persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat.

Kebijakan manipulatif ini, sekadar contoh, bisa berbentuk program subsidi dana segar bagi keluarga miskin dalam tempo sementara. Di tengah berjalannya program subsidi sementara ini, lalu pemerintah membuat pendataan kemiskinan. Maka, sistem subsidi berjangka pendek itu tidak sama sekali mengatasi masalah kemiskinan, tetapi hanya menghasilkan ”statistik yang menyenangkan pemerintah”. Jumlah orang miskin seolah turun karena pendataannya dilakukan di tengah berjalannya program subsidi dana segar itu.

Jika praktik semacam itu yang berjalan, statistik sekadar digunakan sebagai senjata. Tapi, sebagaimana terbuktikan dalam sejarah demokrasi baru dalam beberapa dekade terakhir, semenyenangkan apa pun angka statistik dirumuskan, ia tetap tak bisa menikam perasaan publik hingga binasa.

Perasaan bahwa keadaan tetap buruk dan kualitas hidup terus menurun akan tetap dimiliki publik.

Maka, kebijakan populis yang manipulatif akan cenderung jadi bumerang. Selayaknya pemerintah menghindari penggunaan jurus tumpul ini.

Yang selayaknya dipikirkan pemerintah saat ini adalah melipatgandakan introspeksi diri, mengukur mengapa kebijakan-kebijakan populis yang sudah dijanjikan sejak kampanye Pemilu 2004 gagal diwujudkan.

Pemerintah saat ini berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar berkaitan dengan kegagalan itu.

Mengapa revitalisasi pertanian gagal diwujudkan? Mengapa target pemberantasan kemiskinan gagal dicapai? Mengapa sektor riil gagal direvitalisasi di tengah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi? Mengapa target penambahan lapangan kerja gagal dicapai? Mengapa perbaikan hajat hidup kalangan bawah yang dijanjikan saat kampanye tak terlihat realisasinya?

Waktu memang sudah sangat sempit bagi pemerintahan Yudhoyono-Kalla untuk membalikkan keadaan. Namun, belum terlambat untuk menyadari bahwa tak ada gunanya mengobarkan janji populisme jika pemerintah memang tak berkemauan dan tak berkemampuan memegang teguh kebijakan populis.

Akhirnya, pengujung masa pemerintahan pertama hasil pemilihan langsung presiden-wapres memberi pelajaran berharga. Mari kita berpolitik dengan lebih dewasa. Mari meninggalkan ”politik kosong” dan membangun ”politik bersubstansi”.

Mari tinggalkan cara-cara berkampanye dengan menebar janji kebaikan bagi semua orang tanpa kecuali, yang tak mungkin ditepati. Mari memulai cara kampanye baru dengan menegaskan orientasi kebijakan sejak awal (populis/nasionalistik atau propasar/neoliberal). Mari berebut kekuasaan secara lebih sehat dan terus terang. Mari tinggalkan kontes popularitas.

EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

No comments:

A r s i p