Saturday, April 19, 2008

POLITIKA

Istana Mainan Hoya
Sabtu, 19 April 2008 | 00:59 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Jika mau terpilih lagi jadi presiden, gubernur, bupati, atau lurah, syaratnya mudah: jangan nganggur. Itu dibuktikan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi, Bupati Kebumen Rustriningsih, dan lurah saya.

”Pemimpin penganggur” tak berbakat jadi pemimpin karena terpilih untung-untungan. Setelah memerintah, ia menghabiskan dana, tenaga, perhatian, dan waktu untuk ngurusin musuh- musuhnya.

Dalam masa jabatan lima tahun, ”pemimpin pekerja” bekerja 2-3 tahun saja, selebihnya leha-leha. Pemilih di negeri ini baik hati dan tak suka berharap muluk.

Masa 2-3 tahun itu dikenang manis para pemilih yang baik hati. Saat kampanye pemilihan masa jabatan kedua mulai, pemimpin pekerja tak perlu ngutang atau melégo harta untuk dana jualan citra.

Beda dengan pemimpin penganggur yang antiteori. Mereka nekat mengumbar janji surga dan didukung uang yang ”tak ada sérinya” sampai menimbulkan histeria massa.

Setelah terpilih terbukti ia pemimpin penganggur yang lebih suka leha-leha. Menurut teori mantan Menkeu Bambang Subianto, ibarat sepak bola, pemimpin penganggur gemar pola permainan ”2-1-2”.

”Menurut pola 2-1-2, jumlah pemain cuma lima,” saya tanya Pak Bambang. ”Oh, yang enam kena kartu merah,” jawabnya.

Nah, menurut pola 2-1-2 di dua tahun pertama pemimpin penganggur sibuk konsolidasi tiada henti. Ia menempatkan sesama anték penganggur di mana-mana, gonta-ganti timnya, dan melampiaskan aneka hobinya.

Setelah itu, ia mau coba kerja serius satu tahun di tengah. Namun, berhubung terbiasa nganggur dan dihanyutkan aneka hobi, ia mirip anak balita yang sukar konsentrasi karena kurang perhatian.

Pada dua tahun terakhir masa jabatannya, ia kalap. Ia mengira ”bekerja sama dengan kampanye” agar bisa terpilih kembali.

Namun, seperti kata lagu Panbers, ”Terlambat sudah, terlambat sudah/Semuanya t’lah berlalu”. Pemimpin penganggur tidak hanya dikalahkan lawan-lawannya, tetapi juga dipermalukan pemilihnya.

Jadi, pelajaran paling berharga bagi yang menang di Pilgub Jabar dan Sumut: jangan jadi pemimpin penganggur. Partai-partai pemenang Pilgub Jabar dan Sumut membuktikan rekrutmen kaum muda berhasil.

Partai-partai yang kalah dapat pelajaran berharga juga, yakni jangan pernah lengah. Dan, yang menang dan yang kalah tetap dapat suara sebagai tanda rakyat masih percaya partai.

Meski MK membolehkan calon perseorangan/independen boleh ikut dalam pilkada, mereka kurang bertanggung jawab. Mereka tak punya ideologi, AD/ART, organisasi, dan seterusnya.

Betul istilah Rizal Ramli, mayoritas pemilih Jabar dan Sumut ogah memilih ”mobil bekas” (incumbent) dan ”tank mogok” (jenderal purnawirawan). Namun, calon perseorangan tak ubahnya ”mobil dan tank mainan”.

Jangan buru-buru memvonis wajah-wajah lama sama dengan mobil bekas. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, mobil bekas lebih murah ketimbang mobil baru.

Dan, pedagang mobil di mana pun sama. Mereka pasti bilang mobil Anda loyang dan mobil mereka emas.

Dan, kalau tak mau naik mobil, masih bisa jalan kaki alias jadi golput. Jumlah golput yang sepertiga dari total pemilih di Pilgub DKI, Jabar, dan Sumut pertanda demokrasi makin sehat.

Mudah membaca fenomena tank mogok yang diawali kegagalan dua jenderal purnawirawan, Tamlicha Ali dan Djali Yusuf, di Pilgub Aceh. Padahal, Tamlicha putra Aceh dan Djali bekas panglima kodam di sana.

Kegagalan mantan jenderal pertanda rakyat meragukan strong leadership. Di masa yang penuh cobaan ini dibutuhkan pemimpin pekerja yang bernurani—tak melulu yang ”serba kuat”.

Namun, kepemimpinan ala jenderal purnawirawan tetap relevan. Ada kemungkinan Sutiyoso, SBY, Wiranto, dan Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden tahun depan.

Posisi mereka tak mudah. Apalagi Megawati Soekarnoputri dan PDI-P plus Jusuf Kalla dan Golkar makin populer di tingkat nasional.

Debacles di Aceh, Jabar, dan Sumut wajib diantisipasi melalui microtargeting pemilih yang berubah. Pilpres 2009 tak lagi ajang jualan citra, tetapi jualan substansi.

Kampanye Wiranto yang fokus ke hal-ihwal kemiskinan sudah tepat. Prabowo lewat iklan di media menawarkan tema yang ingin memperbaiki nasib petani.

Di zaman digital banyak moda untuk menyampaikan pesan. Taktik microtargeting bertujuan menyampaikan pesan yang ”dijahit” berdasarkan riset terhadap kelompok-kelompok masyarakat.

Lagi-lagi Pilgub Jabar dan Sumut membuktikan pemilih makin rasional. Capres-capres tipe pemimpin pekerja—bukan pemimpin penganggur—berkesempatan memodernisasi ”ilmu kampanye”.

Otomatis persaingan makin modern. Oleh sebab itu, patut disayangkan ulah tabloid Sambung Hati 9949 yang memuat kartun di rubrik ”Apa yang Kau Cari Palupi?”

Kartun menggambarkan ”pria uzur berpenyakit dan wanita gemuk terbang menunggang sapu seperti nenek sihir”. Olok-olok ternyata bukan monopoli anak- anak, melainkan juga dilakukan ”orang dewasa yang kekanak-kanakan”.

Lebih disayangkan, olok-olok berasal dari ”orang istana”. SBY harus bertindak tegas daripada mengorbankan citranya.

Pasti ada maksudnya para pendiri republik ini memberi embel-embel ”negara” dan ”merdeka” untuk istana. Kalaupun mau iseng menggambar kartun tak lucu, pergilah ke Istana Mainan Hoya.

No comments:

A r s i p