Thursday, April 3, 2008

Manusia Setengah Dewa

Rabu, 2 April 2008 - 09:59 wib

Akhirnya berita itu saya terima juga. Saya dapat mewawancarai Gus Dur untuk penelitian disertasi saya! Sungguh senang rasa hati saya seperti tidak percaya, karena berbulan-bulan telah berusaha ke sana dan ke mari, menghubungi berbagai pihak hanya untuk dapat mewawancarai mantan Presiden ke-4 RI, mantan pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di negeri ini dan dunia, dengan sederetan penghargaan akademik dan kemasyarakatan.

Walaupun Gus Dur kini bukan lagi presiden dan Ketua PB NU; kondisi kesehatannya pun tidak seperti orang normal pada umumnya, tetap saja mendapat kesempatan bertemu dengan Gus Dur adalah ibarat peristiwa besar buat saya setelah gagal meminta tolong pada seorang pengurus PKB, bahkan mendekati orang dekatnya, Mas Sastro, yang sering mendorong kursi roda Gus Dur dalam berbagai kesempatan penting.

Berita saya dapat mewawancarainya itu sendiri baru saya terima pada Kamis, 12 Oktober, menjelang siang dari Anita Rachman, putri kedua beliau, yang memberi tahu bahwa saya dapat mewawancarai beliau pada Sabtu,14 Oktober 2006 pukul 13.30, di kantor PB NU Kramat Raya, Jakarta. Namun, kegembiraan ini rupanya masih harus terganggu. Ketika saya tengah joging pada Sabtu pagi itu, saya mendapat berita bahwa saya harus menunggu kemungkinan perubahan tempat wawancara, sekalipun bukan penundaan atau pembatalan, karena kondisi kesehatan Gus Dur sedikit terganggu dan tengah diperiksa dokter.

Saya disarankan tunggu berita selanjutnya mengenai penentuan tempat wawancara yang baru hingga setengah jam menjelang wawancara. Dalam kebimbangan saya masih harus menunggu, apakah benar akan jadi atau tidak, sebab dalam kurang dari setengah jam saya baru tahu di mana wawancara akan dilangsungkan. Tidak sabar, saya coba menelepon Anita, namun dia mengatakan tunggu saja dan akan memberitahukan tepat setengah jam sebelum jadwal. Dia hanya memberi informasi bahwa pertemuan akan dilakukan di sekitar Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Saat yang dinanti datang, saya menanti dengan pertanyaan, ada apa gerangan, mengapa belum diberi tahu tempat yang akan saya tuju menjelang wawancara. Saya khawatir karena rumah saya jauh di pinggiran Jakarta, dan jangan-jangan Gus Dur sakit payah. Kekhawatiran semakin menjadi-jadi setelah dalam taksi menuju kawasan Gatot Subroto saya ditelepon, diberi tahu agar menuju Rumah Sakit Medistra, ke Ruang ICU di lantai 2.

Saya berpikir sejenak, apakah Gus Dur tengah dalam kondisi genting sehingga saya harus ke sana dan baru diberitahukan putri beliau itu sesaat menjelang wawancara. Lagi-lagi putri beliau mengatakan tidak ada apa-apa dan saya tetap dapat mewawancarai beliau seperti yang saya harapkan. Tidak sabar menunggu dalam taksi yang terjebak kemacetan, setiba di RS Medistra saya segera bergegas ke lantai 2.

Tidak tampak kesibukan atau keramaian yang istimewa di sana, yang ada hanya para keluarga penunggu pasien ICU. Saya bertanya pada penjaga RS apakah Gus Dur dirawat di ICU. Tanpa mempertanyakan sebelumnya siapa saya, penjaga itu menyuruh saya ke pengawal beliau.

Dari pengawal Gus Dur yang cuma seorang di luar ruang ICU, tadinya saya bayangkan sulit masuk karena dijaga ketat, saya menemui Mbak Anita, yang di sana juga sudah ada Yenni Zanuba dan adiknya yang paling bungsu. Setelah menunggu sebentar, diantar Anita, saya menjumpai Gus Dur di ruang pembaringannya, ruang khusus di ICU, melewati beberapa pasien yang dalam kondisi genting.

Sambil memperkirakan bagaimana kondisi Gus Dur, Anita memberi tahu pengawal bahwa saya akan mewawancarai Gus Dur untuk studi saya sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Dengan perasaan masih takut setelah melewati beberapa pasien yang tengah meregang nyawa, dan melihat pengawal yang kelihatan angker, saya memasuki ruang Gus Dur dengan langkah sangat hati-hati karena takut mengusik Gus Dur yang tengah berbaring di tempat tidur.

Semula saya menduga sang mantan presiden itu tengah sekarat dan berbaring tidak berdaya. Sepintas di dalam ruangan yang terdengar hanyalah suara-suara dari alat-alat yang tengah dipasang memantau kondisi Gus Dur, mulai dari alat pemantau gerakan jantung, tekanan darah dan sebagainya.Khawatir saya belum hilang,apakah saya masih bisa mewawancarai beliau dalam kondisi beliau berbaring seperti itu. Setelah terpaku beberapa saat, saya mencoba menenangkan diri dan menyapu seluruh ruangan dengan pandangan mata yang tenang.

Ketenangan yang kemudian membuat saya dapat mendengar suara dengkuran Gus Dur yang membedakannya dari suara mesin-mesin canggih penyambung nyawa di rumah sakit. Ketenangan itu pula yang membuat saya bisa melihat bahwa mesin yang berada di sebelah kanan Gus Dur adalah mesin pencuci darah yang tengah bekerja mencuci darah Gus Dur.

Setelah menyadari bahwa Gus Dur tengah tidur lelap dan bukan sedang kesakitan, walau posisi badannya bolak-balik berganti-ganti, saya menjadi benar-benar tenang dan yakin bahwa Gus Dur tidak dalam kondisi sakit keras atau tidak berdaya. Beliau hanya sedang tidur siang sambil melakukan cuci darah dengan alat di sebelahnya itu. Lambat-laun saya kemudian mulai mendengar ada suara lain terdengar di dalam ruangan, di luar suara mesin-mesin canggih itu.

Semula saya mengira itu suara orang yang sedang menjelaskan proses berjalannya cuci darah dan proses bekerja mesin dalam bahasa Inggris. Ternyata kemudian saya keliru, karena setelah saya coba dengar baikbaik, itu adalah suara siaran dan ulasan berita dari sebuah siaran radio Amerika. Saya mencoba mencari dari mana suara itu datang. Setelah mencari ke sana-ke mari, mata saya tertuju pada instrumen kecil sebesar buku notes yang adalah radio dengan kapasitas canggih untuk menangkap berita luar negeri.

Tidak disangka, Gus Dur yang saya kira sedang lemah tidak berdaya itu tengah tidur sambil mendengarkan radio asing yang tengah mengulas berita tentang perkembangan politik mutakhir dan kepemimpinan Presiden Bush. Padahal, melihat kondisinya yang berbaring di ICU, orang akan menyangka kalau beliau sedang sakit keras.

Beberapa sahabat dekat dan keluarga sempat menjenguk walau sejenak, yang menandakan mereka juga punya perasaan was-was akan kondisi Gus Dur,walaupun diketahui kemudian dari pengakuan Gus Dur bahwa beliau secara rutin melakukan cuci darah sejak beberapa lama belakangan yang harus jalani 2 kali seminggu.

Tiba-tiba masuk seorang tokoh penting, Muhaimin Iskandar, keponakan beliau yang juga Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua DPR. Dia melihat sejenak ke arah Gus Dur yang tengah berbaring dan bercakap sebentar dengan pengawal dan menghampiri saya sambil memastikan apakah benar cuci darahnya akan memakan waktu 4-5 jam. Setelah 5 menit di ruangan, Cak Imin segera pulang. (*)

Poltak Partogi Nainggolan
Penulis sedang menyelesaikan disertasi doktoral di Universitaet Freiburg Jerman (//mbs)

No comments:

A r s i p