Saturday, April 19, 2008

Pemimpin yang Pantas

THOMDEAN / Kompas Images
Sabtu, 19 April 2008 | 00:35 WIB

MT Zen

Pemilihan Presiden 2009 sudah di ambang pintu. Semua yang berkepentingan sudah geared ke arah 2009. Dan pekerjaan lain, termasuk mengurus rakyat, harus menunggu. Selain itu, di mana-mana sedang berlangsung pilkada. Pada masa lalu, rakyat sering salah pilih. Ini amat merisaukan.

Kelihatannya lembaga-lembaga tinggi negara tidak lagi peka terhadap penderitaan rakyat. Jumlah pengangguran semakin membengkak, harga barang-barang pokok untuk kehidupan sehari-hari sudah melambung dan mencekik, ditambah lagi biaya pendidikan bagi anak-anak mereka, biaya pemeliharaan kesehatan dan harga obat-obatan.

DPR bukan lagi wakil rakyat. Mereka adalah wakil partai, sedangkan kehidupan kepartaian di Indonesia secara total sudah membusuk.

Bahwa para pejabat bekerja, itu tidak diragukan. Setiap hari rapat, bahkan banyak yang merasa mereka hanya diharuskan rapat saja dan tidak ada lagi waktu untuk melakukan tugas yang diperintahkan.

Meski demikian, sense of urgency dan sense of emergency tidak kunjung tampak. Pulang dari luar negeri justru ngurusin album dan nonton film Ayat-Ayat Cinta, sementara banyak bagian di Tanah Air terendam banjir. Di Jawa Timur, banjir melanda sebagian besar provinsi itu selama beberapa bulan.

Belum lagi masalah korban Lapindo tak kunjung usai. Demonstrasi demi demonstrasi digelar. Namun, baik para pejabat tinggi maupun tertinggi seakan-akan tidak ambil pusing. Penderitaan rakyat dianggap biasa.

Sesudah Perang Dunia II, di China juga amat jelek. Negeri itu dilanda korupsi besar-besaran. Para pejabat kehilangan kepekaan. Mereka menikmati eforia seusai perang, dengan China sebagai salah satu pemenang perang, sejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Perancis.

Banjir demi banjir melanda negeri China, diikuti bencana kelaparan. Di China juga sudah terjadi pembusukan menyeluruh. Kaum Komunis bangkit dan tumbuh subur di bawah pimpinan Mao Tze Dong. Wilayah demi wilayah, kota demi kota, mereka rebut. Akhirnya, pemerintah nasionalis Tiongkok terpaksa lari tunggang langgang menyeberang Selat Formosa dan menetap di Pulau Taiwan atau Formosa hingga kini. Seluruh daratan China dikuasai kaum komunis.

Di Kuba, pemerintahan Batista juga mengalami pembusukan secara menyeluruh dari dalam. Rakyat kehilangan kepercayaan. Tampillah Fidel Castro. Wilayah demi wilayah direbut, akhirnya seluruh Kuba jatuh ke tangan pemerintahan komunis di bawah Fidel Castro sejak akhir tahun 1950-an hingga kini. Banyak lagi cerita yang hampir sama, seperti Kaisar Bao Dai di Vietnam yang akhirnya dijatuhkan.

Munculnya pemimpin

Apa yang terlihat? Di negara-negara yang menderita seperti itu muncul para pemimpin karismatik yang benar-benar pemimpin. Di Filipina juga terjadi pembusukan di bawah pemerintahan Ferdinand Macos. Tidak ada pemimpin seperti Mao Tze Dong dan Castro, tetapi muncul People Power yang melahirkan Corazon Aquino.

Di Indonesia, proses pembusukan berjalan dari dalam dan sudah terjadi sejak lama, dimulai dengan korupsi besar-besaran dari pusat hingga daerah.

Para gubernur dan bupati menjadi raja. Merekalah yang menguasai sumber daya alam. Dalam UUD Indonesia memang tertera, sumber daya alam digunakan untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat (Pasal 33 Ayat 3). Jadi, sumber daya alam itu dikuasai negara. Artinya, oleh daerah, oleh gubernur, dan bupati.

Mengingat produksi industri kini amat rendah, penghasilan negara juga menciut. Satu-satunya cara untuk mendapatkan pemasukan dana yang penting hanyalah pajak. Pajak digenjot habis habisan.

Sebaliknya, di tengah kemiskinan rakyat, apa yang terlihat amat mencolok? Jalan raya penuh sesak dengan mobil mewah. Pada saat-saat tertentu Jakarta dan Bandung macet total oleh mobil pribadi dan motor. Mengapa? Karena transportasi publik tidak ada dan memang tidak disediakan. Di kota-kota besar di negeri orang, termasuk di Amerika Serikat, transportasi publik tersedia. Di Indonesia tidak.

Di Indonesia, pemimpin rakyat seperti Mao Tze Dong, Fidel Castro, dan Ahmadinejad dari Iran memang belum muncul ke permukaan, tetapi ada. Karena itu, kaum intelektual dan masyarakat kampus, para profesional, serta kaum praktisi jangan berhenti menyuarakan nurani rakyat dan menerangi rakyat atas segala kebohongan yang ditebar. Itulah kewajiban kaum intelektual, menyuarakan nurani rakyat dan membangunkan the silent majority, yakni massa rakyat yang masih membisu, masih belum berani berbicara, atau masih enggan berbicara. Sebarkan profil-profil seperti Ahmadinejad yang berani tidur di lantai agar rakyat dapat membuat perbandingan.

Berikan juga penerangan tentang cara memilih pemimpin jika tiba waktunya. Intinya, jangan memilih nama-nama yang sudah usang, mereka yang jelas terbukti gagal pada masa lalu. Arahkan ke nama-nama baru atau ke pribadi- pribadi yang jelas dan terbukti bersih, yang mempunyai prestasi nyata, dengan nama yang belum ternoda. Pilihlah pemimpin yang berani bertindak dan berani bertanggung jawab atas tindakannya. Jauhi orang yang mengaku pemimpin, tetapi saat gagal atau berbuat salah berkata, ”Saya siap mundur jika presiden memerintahkan.” Ini namanya pemimpin tak berprinsip.

Menyuarakan nurani

Harap diketahui, suatu bangsa akan mendapatkan pemimpin yang ”pantas” mereka peroleh. Kaum pencopet akan memilih pencopet yang lebih ”besar” untuk memimpin mereka. Manusia kerdil akan memilih pemimpin yang kerdil. A nation will get a leader it deserves. Ini kata-kata singkat dengan makna luas. Di dunia ini, kata-kata itu terbukti kebenarannya. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, maknanya masih perlu dijelaskan.

Karena itu, tugas kaum intelektual dan anggota masyarakat kampus menerangkan hal-hal tersebut. Biasanya masyarakat masih tersilau oleh hal-hal yang mewah dan meriah, apalagi jika ada musik dangdut. Berbagai penerangan mengenai demokrasi dan pemilihan umum atau pilkada masih amat diperlukan.

Di balik semua kegiatan masyarakat itu, harus ada etika yang jelas dan kuat, yang melandasi semua tindakan. Dan, rakyat harus dibuat berani menuntut yang menjadi haknya. Di sinilah tugas dan fungsi kaum intelektual, menyuarakan nurani rakyat.

MT Zen Guru Besar ITB

No comments:

A r s i p