Wednesday, April 16, 2008

Golkar di Mata Publik

Ditulis oleh : Yorrys Raweyai, Ketua Umum AMPG

Rangkaian diskusi yang digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar beberapa pekan ini terfokus pada satu tema besar yakni Golkar di mata publik. Dari mereka yang hadir mewakili persepsi publik, ada isyarat yang sama yakni kian menurunnya dukungan publik terhadap partai warisan Orde Baru tersebut.

Reformasi internal

Sejak tuntutan reformasi bergulir seiring dengan tumbangnya rezim politik Orde Baru, partai yang berlambang pohon beringin itu pun memunculkan wajah baru dengan mengusung paradigma universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun, romantisme politik masa lalu yang cenderung negatif dalam memandang eksistensi Golkar masih sulit ditepis. Kenyataan itu tidaklah arif dan bijak jika dimaknai secara acuh dan apatis.

Merujuk pada niat tulus Partai Golkar untuk bermetamorfosa dengan wajah baru yang lebih demokratis, seharusnya itu tertanam dalam lubuk sanubari para pengurus partai. Niat tersebutlah yang akan menghadirkan suasana baru yang lebih responsif pada kehendak publik ketimbang pada kehendak pragmatis pengurus elite.

Musyawarah Nasional 2004 sesungguhnya mengamanatkan perubahan yang fundamental di tubuh Golkar. Slogan 'Tri-Sukses' yakni sukses konsolidasi, sukses reformasi, dan sukses pilkada/pemilu menjadi bekal sekaligus bahan renungan bagi partai. Namun, menjelang Pemilu 2009 yang tinggal menghitung bulan, tri-sukses tersebut belum juga menuai hasil signifikan.

Kenyataan di lapangan masih tampak menyesakkan pikiran saat partai ini belum siap secara struktural maupun manajerial untuk mengakomodasi berbagai tuntutan publik di berbagai wilayah. Struktur organisasi dan kepemimpinan di beberapa wilayah cenderung dipilih dan ditata berdasarkan kehendak segelintir elite ketimbang berdasarkan kualitas, kemampuan manajerial, penguasaan lapangan, atau penerimaan publik. Akibatnya, konflik internal pun tak terhindarkan. Alih-alih melanjutkan misi utama untuk memerhatikan nasib rakyat, energi politik lebih banyak terkuras untuk mengurus persoalan internal.

Hilangnya trust

Sebuah fenomena yang lazim dalam tubuh kepartaian dewasa ini adalah hilangnya urgensi partai di mata publik, tak terkecuali Partai Golkar. Ironisnya, fenomena itu tidak memperoleh respons yang besar di kalangan partai politik itu sendiri. Secara khusus, Golkar mengidap penyakit yang sama dan boleh jadi figur partai besar yang disandangnya menjadi preseden utama bagi kemerosotan partai-partai secara politik pada umumnya.

Berbagai survei menunjukkan merosotnya kepercayaan pada Partai Golkar telah berada pada titik terendah. Di banyak pilkada, partai itu memiliki kecenderungan penurunan pemilih. Bahkan kemenangan yang diperoleh dalam politik lokal sering kali berbuah persoalan. Hal itu juga menunjukkan selisih pendukung dengan partai-partai lainnya seperti PDIP dan PKS tidak jauh berbeda.

Fenomena lain adalah survei terbaru LSI periode Oktober-Desember 2007 hingga awal 2008 menunjukkan kader-kader partai Golkar di tingkat elite cenderung dipilih sebagai wakil pemimpin ketimbang pemimpin itu sendiri. Spesialisasi sebagai 'wakil' tentu bukan karakter Golkar dengan melihat kualitas dan kuantitas yang disandang selama ini. Sekilas, dalam waktu singkat, hal itu tidak mengundang masalah yang berarti. Namun dalam jangka panjang, sebagai perpanjangan politik kekuasaan, kita seharusnya menanamkan kekhawatiran yang dalam atas nasib partai ini di masa depan, khususnya menjelang Pemilu 2009.

Suatu hal yang sulit untuk dilupakan adalah kenyataan bahwa Partai Golkar adalah pendukung pemerintah. Dengan menempatkan kader pada posisi wakil presiden, bisa dipastikan tak ada riak-riak penentangan yang berarti dari partai itu hingga masa kepemimpinan nasional berakhir di awal 2009. Kenyataan itu semakin membuka mata publik bahwa dengan dukungan partai besar, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla belum memberi perbaikan besar bagi kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat.

Berdasarkan kenyataan itu, Golkar di mata publik tampaknya lebih mengandalkan politik pencitraan daripada bergelut dan berjuang pada aras politik riil dan praktis. Padahal, partai politik yang hanya bisa mengumbar ideologi tanpa didukung kerja konkret dan implikasi perubahan dan perkembangan hidup masyarakat tidak akan laris untuk dikonsumsi publik.

Pragmatisme politik

Pragmatisme politik merupakan gerbang bagi merosotnya kepercayaan dan dukungan publik partai itu. Pragmatisme politik yang jelas terjadi adalah rendahnya dukungan internal elite partai pada tipikal kerja yang bersifat jangka panjang. Program-program politik yang bersifat sistematik dan cenderung melelahkan dengan hasil yang kurang bisa dinikmati dalam waktu singkat cenderung terabaikan.

Elite politik Golkar tidak terlalu sabar dalam mendorong konstituen pada tingkat bawah untuk maju, mandiri, dan memiliki fungsi dan peran yang penuh arti di masyarakat. Hal itu sangat jelas terlihat dalam pola perekrutan dalam sebagian besar kepengurusan partai di tingkat lokal yang cenderung tertutup. Pola itu lebih mencitrakan tujuan mencapai kekuasaan ketimbang mengedepankan pilihan masyarakat. Kaderisasi lemah dan mekanisme pencalonan yang ada juga cenderung menjadi sarana bagi segelintir politisi, terutama pimpinan partai untuk bertahan dalam posisi mereka.

Secara teoritis, fenomena tersebut sejalan dengan kesimpulan Richard Robison (2004) tentang 'kebiasaan lama yang tidak pernah pupus' dalam sistem politik kepartaian di Indonesia. Pelaku politik pasca-Pemilu 1999 melakukan hal yang tak jauh beda dengan pola oligarki di masa Orde Baru. Koalisi dengan kelompok-kelompok proreformis hanya sekadar polesan tatkala pelaku politik lama tetap bertahan menguasai sistem politik dan menjadikannya sasaran kekuasaan.

Di tubuh Golkar, publik memandang di balik upayanya untuk mengubah citra sebagai partai otoriter di masa lalu menjadi partai reformis dengan slogan 'Golkar Baru', orang-orang lama eksponen Orde Baru tetap saja bercokol, baik fisik maupun watak.

Pragmatisme politik itulah yang cenderung menggurita dan memiliki efek besar yang memengaruhi dan melemahkan berbagai dimensi partai yang justru bisa menjadi kekuatan partai itu sendiri. Salah satu dimensi tersebut adalah kekuatan kaum muda dalam Partai Golkar. Di balik wacana kepemimpinan kaum muda yang menggelora seiring dengan kejenuhan publik atas kepemimpinan kaum tua, elite Partai Golkar cenderung merespons dengan penuh khawatir, berbanding terbalik dengan anak muda partai.

Kiranya Golkar Baru yang pernah dicanangkan sejak bergulirnya reformasi masih berada dalam persimpangan. Di balik kehendak kuat untuk berubah, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, khususnya dalam struktur kepengurusan dan watak politik yang belum sepenuhnya terbuka. Dinding-dinding kuat nafsu kekuasaan yang masih bercokol di watak segelintir elite partai seharusnya diminimalisasi dengan keinginan sebagian besar kaum reformis di tubuh partai yang menghendaki perubahan yang radikal dan sistematis. Oleh karena itu, sudah saatnya pragmatisme politik dikikis demi kepentingan jangka panjang.

Tidak disangsikan lagi, Golkar memiliki segudang kualitas yang mumpuni demi mengangkat citra partainya. Kondisi itu bisa terwujud dengan kerelaan dan kedewasaan politik elite untuk menyerahkan kepemimpinan kepada mereka yang lebih mumpuni. Wajar jika karakter politik cenderung memiliki tendensi yang besar pada kekuasaan. Namun seharusnya kondisi tersebut diimbangi dengan etika politik yang memayungi setiap individu dalam internal partai. Jadi, politik tidak sekadar menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, tapi juga sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan rakyat.

No comments:

A r s i p