Wednesday, April 23, 2008

Puisi Tidak utk DPR

Mana yang lebih penting bagi DPR: melaksanakan rencana mengganti karpet lantai di Gedung DPR dengan biaya miliaran rupiah atau berupaya menolong rakyat kecil yang hari-hari ini kesulitan mendapatkan gas dan minyak tanah?

Mana yang lebih penting bagi wakil rakyat yang duduk di DPR karena mendapatkan kepercayaan rakyat itu: melakukan studi banding ke Brasil dan ke negara-negara lain, atau menyambangi rakyat kecil di daerah-daerah yang dilanda krisis pangan maupun bencana alam? Tentu masih banyak pertanyaan sejenis yang dapat diajukan sebagai ungkapan kekecewaan kita terhadap para anggota DPR/DPRD yang kian lama kian jauh dari gambaran ideal sebagai wakil rakyat yang terhormat.

Itu sebabnya kita sontak marah mendengar berita bahwa DPR berencana akan menggugat grup musik Slank lantaran lagunya yang berjudul Gosip Jalanan itu dianggap menghina DPR. "Seluruh bangsa di negara ini kehormatannya ada di gedung ini (DPR). Ini rumah rakyat," ujar Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun (Senin,7/4). Benarkah kehormatan bangsa ini ada di DPR? Jika ada anggota DPR yang tertangkap tangan menerima suap, apakah kehormatan bangsa Indonesia ikut ternoda karenanya?

Jika ada anggota DPR yang gambargambar adegan syurnya dengan seorang perempuan bukan istrinya tersebar luas, haruskah bangsa Indonesia tertunduk malu karenanya? Mungkin Lumbuun salah ucap. Dengan "bangsa",mungkin maksudnya adalah "rakyat".Tapi, kalaupun itu yang dimaksud, apakah kehormatan rakyat Indonesia identik dengan kehormatan DPR? Bahwa suara DPR identik dengan suara rakyat, di atas kertas,itu benar.Itu juga logis,karena DPR adalah lembaga perwakilan rakyat.

Tapi, apa benar kehormatan DPR juga kehormatan rakyat Indonesia? Di mana logikanya dan bagaimana menjelaskan hubungannya? Kalau itu memang benar, tidakkah ini pun mestinya benar: bahwa kekayaan DPR adalah juga kekayaan rakyat? Maka konsekuensinya, setiap anggota DPR mestinya rela memberikan sebagian dari kekayaan mereka kepada rakyat.

Untuk itu,tak perlu repot menginventarisasi berapa harta benda mereka. Cukuplah menyepakati sekian persen dari gaji mereka setiap bulan diberikan untuk rakyat. Kembali pada Slank, syukurlah akhirnya DPR tak jadi menggugat grup musik itu. Sebab kalau jadi, tak terbayang para slankers (sebutan penggemar Slank) akan membanjiri Gedung DPR di Senayan setiap harinya demi mengekspresikan kemarahan mereka.

Lagipula, bukankah sebenarnya hanya sepenggal saja dari lirik lagu Gosip Jalanan tersebut yang berkenaan dengan DPR? Itu pun tidak tegas menyebut DPR, melainkan hanya "mafia Senayan".Jadi,mengapa DPR begitu sensitifnya? Kalaupun mereka merasa dikritik, yang mengkritik rakyat sendiri bukan?

Entahlah DPR sadar bahwa mereka harus berjiwa besar sebagai wakil rakyat, sehingga batal menggugat Slank,atau mungkin karena pada saat bersamaan tersiar berita heboh tentang tertangkapnya anggota DPR Al Amin Nasution oleh KPK, dini hari (Rabu, 9/4), di sebuah hotel mewah di Jakarta seusai menerima suap dari seorang pejabat daerah Kabupaten Bintan. Yang jelas, DPR bagaikan terkena pukulan telak yang membuatnya terkapar di ring politik.

Apalagi, akhir tahun silam Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan hasil surveinya dalam Indeks Baromoter Korupsi Global 2007 menyebutkan DPR dan partai politik sebagai dua lembaga terkorup di negara ini.Makanya, alih-alih terlalu sensitif, lebih bijaklah jika DPR mengevaluasi kinerjanya selaku wakil rakyat selama ini. Menjadi anggota DPR sesungguhnya memang tak mudah.

Tak heran jika negara memberi mereka gaji dan tunjangan plus fasilitas ini dan itu yang sangat menggiurkan. Tapi sayangnya, sebagian wakil rakyat justru memperlihatkan secara kasatmata bahwa mereka berada di gedung parlemen untuk mencari nafkah. Alhasil, bukan keterpanggilan mengabdi bagi rakyat yang memotivasi mereka menjadi politisi, melainkan spekulasi oportunistis.

Tak heran jika sebagian dari elite politik itu seiring waktu terbukti memiliki kualitas yang rendah untuk berlaga dalam sidang-sidang di DPR. M Mahfud Md, mantan anggota DPR yang kini menjadi anggota Mahkamah Konstitusi, pernah menulis tentang hal itu dalam artikelnya berjudul Bye Bye DPR di Harian Jawa Pos/Indo Pos edisi 31 Maret 2008.

Kutipannya: "Tetapi, begitu dilantik dan mulai ikut dalam sidang-sidang DPR, saya agak shocked karena apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa DPR seperti ?taman kanakkanak' mulai terasa," demikian tulis Mahfud MD."Pada hari-hari pertama sidang DPR, saya punya kesan bahwa yang diperlukan adalah keahlian celometan, rebutan ngomong tanpa arah melalui interupsi yang salah kaprah. Bayangkan, sidang baru dibuka dan pimpinan baru memberikan pengantar sudah ada teriakan-teriakan interupsi. Interupsi yang dalam teknik persidangan hanya dipergunakan untuk meluruskan pembicaraan yang melenceng agar kembali ke pokok masalah yang sedang dibahas ternyata dibelokkan menjadi alat celometan.

Belum ada pokok masalah yang dibahas sudah diinterupsi dengan berbagai hal yang remeh-temeh." Lebih lanjut, dia menulis begini. "Bahkan,menyebutkan interupsi pun banyak yang salah. Ada yang meneriakkan ?instruksi', ada yang meneriakkan ?instrupsi', yang lain lagi meneriakkan ?intruksi'. Bahkan, ada yang meneriakkan ?interaksi' tanpa kikuk. Kacaunya lagi, belum diberi izin bicara banyak penginterupsi yang nyerocosberbicara." Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?

Di satu sisi, bersabarlah menunggu periode DPR yang sekarang ini berakhir. Di sisi lain, catatlah nama-nama wakil rakyat yang tak layak mewakili rakyat untuk tak lagi kita pilih nanti. Katakan "tidak" kepada mereka, seperti puisi yang pernah dibacakan WS Rendra di Gedung DPR menjelang lengsernya Presiden Soeharto (Mei 1998),

Sajak Orang Kepanasan: Karena kami makan akar/dan terigu menumpuk di gudangmu/Karena kami hidup berimpitan/ dan ruanganmu berlebihan/ Maka kita bukan sekutu//Karena kami telantar di jalan/dan kamu memiliki semua keteduhan/Karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar/Maka kami tidak menyukaimu// Karena kami dibungkam/ dan kamu nyerocos bicara/Karena kami diancam/dan kamu memaksakan kekuasaan/Karena kami cuma bersandal/dan kamu bebas memakai senapan/Karena kami harus sopan, dan kamu punya penjara/Maka kami bilang "Tidak!"kepadamu. (*)

Victor Silaen
Dosen Fisipol UKI, Pengamat Sospol

No comments:

A r s i p