Tuesday, April 15, 2008

HAM dan Kedewasaan Bangsa

Selasa, 15 April 2008 | 00:36 WIB

TJIPTA LESMANA

Setiap masa (epoch), setiap peristiwa sejarah, menurut F Guizot—sejarawan Perancis abad ke-19—dapat dilihat dari tiga sudut pandang.

Adalah tugas sejarah mengungkap tiga sudut pandang itu.

Pertama, apa yang disebut historical anatomy, fakta seputar peristiwa sejarah, atau elemen material masa lampau. Tugas sejarawan adalah menggali dan mengungkap semua fakta tanpa pretensi, apalagi motif pribadi.

Kedua, menurut Guizot, pelaku sejarah pasti bertindak under the empire of certain laws. Itulah yang disebut historical physiology. Setelah fakta ditemukan, hukum internal dan eksternal di balik fakta diungkap, tugas sejarawan belum selesai sebab peristiwa historis itu sudah mati. Lalu, apa signifikansi peristiwa sejarah untuk masa kini?

Ketiga, oleh Guizot, pengungkapan masa lampau dan masa kini dinamakan historical physiognomy, bagian sejarah paling berat yang harus dikerjakan sejarawan. Jika tidak, peneropongan terhadap sejarah tidak lengkap, hanya parsial.

Dalam perjalanan jurnalistik di Polandia tahun 1990, William Hazlitt menerjemahkan buku Guizot menjadi The History of Civilization (1851). Tiga jilid buku itu berisi kuliahnya di Universitas Sorbonne pada 1828 hingga 1830. Sebelumnya, ia menulis buku History of the English Revoluton.

Nafsu membongkar

Di antara kita sering hanya berhenti pada tahap pertama jika meneropong peristiwa sejarah. Itulah kegiatan yang dilakukan secara apriori. Kebenaran seolah menjadi monopoli satu pihak.

Padahal, semua orang yang pernah belajar demokrasi menyadari, kebenaran hanya bisa dicapai melalui public discourse terus-menerus, terbuka, dan melibatkan semua pihak. Tidak boleh ada anarkisme kelompok mayoritas atau minoritas.

Dalam kasus Talangsari yang dimunculkan lagi, misalnya, terlihat adanya pihak-pihak yang ingin memonopoli kebenaran. The material elements of the past tidak bisa ditegakkan dengan pengerahan massa, tetapi harus duduk bersama dengan kepala dingin. Saya bertemu dua pelaku peristiwa Lampung 20 tahun lalu. Mereka mengaku beberapa kali ingin berbicara untuk membeberkan fakta sejarah sebagaimana ia ketahui. Namun, kesempatan itu tidak pernah diberikan karena mereka sudah diberikan stigma ”antek” penguasa, dan sang (mantan) penguasa pun sudah dicap ”pelanggar HAM berat”.

Bagaimana dengan historical physiology? Guizot menegaskan, adalah tidak adil jika kita menilai dan memberi makna terhadap peristiwa sejarah dengan kacamata sekarang. Tiap peristiwa sejarah pasti dilahirkan oleh hukum internal dan eksternal yang berlaku pada rezim bersangkutan. Hanya dengan memahami hukum-hukum itu kita sanggup memaknai peristiwa sejarah.

Tidak sedikit aktivis HAM bernafsu membongkar kuburan masa lalu karena sangkaan pelanggaran HAM berat. Beberapa waktu lalu bahkan ada menteri menegaskan, ”Semuanya kita teliti, jika perlu sejak kita merdeka.”

Bagaimana kita bisa memahami kebijakan pemerintahan Soekarno yang membabat habis pemberontakan DI/TII, Kahar Muzakar, dan lainnya tanpa bertanya kepada Soekarno?

Konteks Orde Baru

Sejumlah dugaan pelanggaran HAM masa lalu yang kini digugat terjadi dalam konteks Orde Baru, rezim yang tidak menolerir tiap gerakan yang dianggap hendak mengganti ideologi negara. Fakta sejarah membuktikan saat muncul aneka gerakan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Salahkah jika rezim itu memerintahkan aparat untuk menghancurkan gerakan itu?

Namun, muncul pula tudingan, semua itu tidak benar. Semua itu hanya akal-akalan Soeharto. Rezim Soeharto sendiri sebenarnya tidak konstitusional karena merebut kekuasaan dari tangan Soekarno melalui Supersemar.

Sejarah, kata Guizot, bukan soal benar atau salah, melainkan pada perspektif. Jika ada yang menuding rezim Soeharto tidak sah, rezim-rezim berikut—dari Habibie hingga SBY—otomatis juga tidak sah. Konsekuensinya, semua institusi negara yang ada kini, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Konstitusi, tidak sah. Semua produk hukum yang dihasilkan pun tidak sah.

Kekacauan nalar ini berpangkal pada pemahaman sejarah secara sempit. Kata Guizot, sejarah harus dilihat secara utuh, aspek anatomi, fisiologi, dan fisiognominya. Jika tidak, pemahaman kita pun tak bisa utuh.

Tjipta Lesmana Mantan Anggota Komisi Konstitusi; Kandidat Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

No comments:

A r s i p