Thursday, April 3, 2008

Negeri yang Lapar


Kamis, 3 April 2008 | 00:50 WIB

Oleh Benny Susetyo

Kelaparan lebih dari sekadar aib. Bagi korban, kelaparan adalah fakta hidup, tetapi bagi penguasa, kelaparan hanya sebuah aib.

Sejauh ini, penguasa tidak melihat kelaparan sebagai fakta. Karena itu, bila tidak sampai ada yang meninggal, orang lapar tidak terlampau diperhatikan.

Bila dalam suatu daerah terdapat warga yang meninggal karena kelaparan, penguasa setempat merasa malu karena itu merupakan aib dan pemimpin nasional juga malu di dunia internasional. Para penguasa merasa malu karena di negara yang disebut sebagai gemah ripah loh jinawi ini ada warganya yang mati karena kurang makan.

Kini semua terperanjat. Di berbagai daerah dilaporkan banyak orang mati karena kelaparan. Berhari-hari mereka tidak makan, juga tertimpa gizi buruk.

Ribuan keluarga miskin

Kembali ke pertanyaan dasar, ada apa dengan bangsa ini? Adakah di meja makan para penguasa memikirkan rakyatnya yang berhari-hari belum makan?

Bagi penguasa, selama ini kelaparan hanya dianggap aib. Maka, upaya untuk menanggulangi sering hanya ”menutup aib”. Kita tidak pernah mau berempati bahwa di dalam situasi ”normal” ini masih ada banyak hal ”tidak normal”. Di negeri superkaya ini, ada ribuan keluarga supermiskin.

Kesenjangan antara yang berada dan tiada terpupuk kian lebar karena tabiat penguasa dan elite yang hanya mementingkan diri. Kasus Daeng Basse di Makassar adalah contoh nyata untuk membuka mata kita. Masih ada banyak warga dengan nasib sama.

Mereka, langsung atau tidak, adalah korban ketidakadilan struktural yang menjadi jiwa dan semangat pembangunan bangsa hingga kini. Mereka tersingkir di antara gempita sedikit orang yang merasa beruntung bisa mengakses hasil-hasil pembangunan.

Pembangunan tidak dijalankan di atas perikemanusiaan yang adil dan beradab. Pembangunan berjiwa kapitalistik, menyingkirkan mereka yang kerap dianggap ”sampah” pembangunan. Pembangunan hanya dijalankan untuk keperluan laporan pertumbuhan ekonomi, yang tidak jelas guna dan dampaknya buat rakyat.

Daeng Basse dan anaknya yang meninggal karena perut lapar adalah tumbal dari proses pembangunan yang tidak peduli kepada wong cilik . Kasus gizi buruk di beberapa daerah akhir-akhir ini hanya contoh bagaimana pembangunan tidak menyentuh mereka. Mereka hanya tersentuh dampak negatifnya dan tidak jarang merelakan usaha-usaha mandiri yang dirintis, dibabat atas nama kebijakan pembangunan. Penggusuran PKL adalah contoh jelas tentang kebijakan pembangunan yang tidak pernah adil kepada wong cilik.

Aura pembangunan yang kian kapitalistik dan menjauhi sisi kemanusiaan mendidik masyarakat bersikap individualis. Ikatan sosial tercerai-berai. Modal sosial makin lama makin tidak berarti karena solidaritas terbangun atas faktor-faktor materialistik.

Kemiskinan sebagai isu

Kasus kelaparan dan gizi buruk ini terjadi di negara yang konstitusinya berbunyi ”melindungi fakir miskin”. Para penguasa hanya geleng kepala menyaksikan fakta rakyatnya yang kurus kering menderita berbagai penyakit dan tak berdaya untuk sekadar berkata-kata. Sebagian besar di antara para penguasa hanya menyaksikannya dari televisi.

Kesenjangan sosial kian luar biasa besar. Di negeri superkaya, mereka yang hidup berkekurangan sampai meninggal karena kelaparan dari dulu hingga kini tidak berhasil membuat penguasa melakukan sesuatu yang berarti. Benar ini harus dikatakan sebab kasus gizi buruk dan kelaparan bukan sekali dua terjadi. Kita hidup di negeri yang lapar.

Sebagai aib, kasus-kasus sejenis sering ditutup-tutupi. Seperti saat Orde Baru memanipulasi angka kemiskinan, begitu pula yang terjadi kini. Kemiskinan adalah penyakit yang diderita bangsa ini sejak lama, tetapi ditutup-tutupi karena berbagai alasan politik dan kekuasaan.

Kita dalam ancaman serius akan kehilangan generasi mendatang tanpa upaya serius mengatasi masalah ini. Bila politisi masih bertengkar soal jabatan dan memanfaatkan isu orang miskin untuk kekuasaan, bersiaplah hidup di negeri yang kehilangan generasinya.

Sudah sejak dulu kemiskinan hanya dijadikan isu, tidak serius dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Kemiskinan hanya dilihat sebagai isu untuk mencari dukungan politik. Sungguh ironis. Iklan politik rakyat miskin bermunculan tanpa si elite menyadarinya, ia telah menjual derita rakyat miskin.

BENNY SUSETYO Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut

No comments:

A r s i p