Friday, April 4, 2008

Demi Ayat-ayat (Cinta) Konstitusi


Jumat, 4 April 2008 | 00:20 WIB

Oleh M Fadjroel Rachman

Melanggar konstitusi dan hukum tanpa hukuman, itulah praktik terbaru lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan komisi negara. Termasuk melanggar hak konstitusional warga negara untuk ikut serta dalam pilkada setelah keputusan Mahkamah Konstitusi 23 Juli 2007.

Dari presiden, DPR, partai politik (parpol), hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara sengaja melanggar dan menghambatnya. Padahal, posisi Mahkamah Konstitusi (MK) sangat jelas dan tegas, ”Untuk menghindari kekosongan hukum (rechts-vacuum) sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, Mahkamah berpendapat bahwa KPU berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) huruf a dan huruf f UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan Pasal 68 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan.”

Antiperseorangan

Namun, apa yang dilakukan KPU, alih-alih menjalankan keputusan MK, Ramlan Surbakti malah mengeluarkan Surat Edaran No:649/15/VII/2007 (31 Juli 2007) yang sebenarnya tidak sah karena hanya diputuskan tiga anggota KPU tersisa: Ramlan Surbakti, Chusnul Mariyah, dan Valina Singka. Padahal, setiap pengambilan keputusan KPU sesuai Pasal 34 Ayat 2 UU No 22/2007 hanya sah ”apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota KPU yang dibuktikan dengan daftar hadir”. Surat edaran yang melanggar hukum ini tetap dipatuhi tanpa sanksi dalam menjalankan pilkada pascaputusan MK.

Kewenangan presiden mengeluarkan Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) tak dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono karena ”diancam” parpol yang hanya mau menerima revisi, alasannya agar banyak pihak terlibat. Nyatanya, DPR selama pembahasan tak pernah terdengar melibatkan masyarakat. Aktivitas sederhana sekadar menentukan persyaratan perseorangan menjelma aktivitas antiperseorangan, dengan segala cara memperlambat pembahasannya.

Akhirnya revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memang disahkan oleh DPR pada April 2008 dengan hasil sekadarnya. Yang lebih menonjol di DPR, upaya memperlambat proses pengesahan dengan memasukkan beragam usulan ”asal-asalan” seperti melampirkan meterai selain KTP. Lainnya adalah upaya DPR seolah-olah membicarakan persyaratan, padahal secara aklamasi menyetujui usulan pemerintah, yaitu 3-6,5 persen, usulan asal-asalan parpol adalah 3-15 persen yang tak pernah bisa dibela secara rasional. Artinya, bila perpu disetujui sebelumnya, sangat boleh jadi sama saja dengan usulan pemerintah, yaitu 3-6,5 persen.

Namun, upaya menghambat harus terus berjalan, setelah presiden dan DPR setuju revisi terbatas bukan perpu, penulis berdebat di ”Metro Hari Ini” (Metro TV) dengan Lukman Hakim Syaifudin, Ketua Fraksi PPP yang baru bersidang dengan presiden. Anggota PPP itu mengatakan, setelah revisi UU No 32/2004, berlaku hari itu juga tanpa perlu aturan lain. Buktinya, Ramlan Surbakti, yang membuat Surat Edaran KPU pelanggar keputusan MK, bersikeras (Kompas, 3/4) tugas berikutnya adalah merevisi PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Daerah, selain pengesahan oleh SBY. Ia berpendapat, hal ini harus berlanjut dengan KPU membuat aturan pelaksanaan dan sosialisasi. Berarti tak akan ada pilkada yang diikuti perseorangan pada 2008 karena janji DPR menyelesaikan revisi pada Desember 2007 tertunda ke bulan April 2008. SBY harus mengesahkannya segera, bila tak mau dianggap memperpanjang pelanggaran konstitusi 1945, pemakzulan akibatnya.

Otoriterisme parpol

Bila publik berpikir bahwa demokrasi partisipatif adalah praktik demokrasi pascarezim militeristik Soeharto-Orde Baru, sebaiknya menahan diri dulu karena dua jalur demokrasi partisipatif untuk mengisi lembaga eksekutif dan legislatif, yaitu (1) jalur parpol dan (2) jalur perseorangan, sekeras mungkin dihambat dan dilanggar walaupun sesuai konstitusi.

Perjuangan demokrasi partisipatif masih terjerembab di ruang demokrasi prosedural karena untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden harus mengamandemen Pasal 6 A Ayat 2 sehingga berbunyi: ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum dan perseorangan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Untuk perseorangan di tingkat legislatif (DPR/DPRD I dan II), dan kesetaraan fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah dan DPR juga harus mengamandemen Pasal 22 E dan Pasal 22 D UUD 1945. Semua proses amandemen harus berhadapan dengan tembok otoriterisme parpol.

Publik adalah subyek konstitusi, dan politik untuk kebahagiaan manusia, ujar Aristoteles dalam Nichomacean Ethics. Otoriterisme dan totaliterisme adalah praktik politik Machiavellian. Optimisme-skeptis terhadap masa depan Republik Indonesia hanya berada pada tataran nilai, lembaga, individu, dan praktik para demokrat yang memperjuangkan demokrasi konstitusional. Salah satu realisasinya adalah keterlibatan perseorangan dalam pilkada, pemilu legislatif, serta presiden dan wakil presiden. Karena hanya dengan cinta pada ayat-ayat konstitusilah kita membangun demokrasi partisipatif, bukan dengan ayat-ayat otoriterisme/totaliterisme.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) dan Ketua Gerakan Nasional Calon Independen

No comments:

A r s i p