Wednesday, April 16, 2008

Memuseumkan Pemilu

Indra Jaya Piliang

Dalam rapat dengar pendapat umum yang dilakukan Pansus RUU Pilpres (7/4/2008), saya menyampaikan satu usulan ”lain-lain” tentang pentingnya pembentukan semacam museum pemilu.

Tidak banyak yang merespons usulan ini. Padahal, semakin dipikirkan, usulan ini semakin menarik untuk ditindaklanjuti.

Kini, terlalu banyak nilai berjumpalitan saat pemilu—termasuk pilkada—digelar. Sebagai bangsa yang dikenal toleran dan ramah-tamah, secuil kekuasaan telah memaksa sebagian kecil orang untuk mengamuk. Kisruh Pilkada Maluku Utara dan Sulawesi Selatan menunjukkan itu, belum lagi riak-riak kecil seusai pilkada di Jawa Barat.

Tak terdokumentasi

Banyak catatan menarik tentang pemilu dan pilkada, tetapi tidak terdokumentasi dengan baik. Dalam waktu tidak lama, sebagai bangsa pelupa, kita seolah melihat sesuatu yang sudah pernah terjadi sebagai hal baru. Misalnya, calon perseorangan dan partai politik lokal yang sudah berlaku sejak Pemilu 1955.

Beberapa perdebatan juga kembali diulang, misalnya seputar asas Islam dan Pancasila. Yang lebih menarik adalah berbagai persyaratan unik yang seolah menunjukkan kita mencapai kemajuan tinggi, misalnya syarat pendidikan atau kesehatan. Belum lagi berbagai pemikiran tentang electoral threshold dan parliamentary threshold.

Yang lebih unik, tentang cara kampanye, bendera, poster, spanduk, hingga iklan radio, media cetak dan televisi. Jika diperhatikan, terlalu banyak kertas dan tinta habis, kain, hingga jam-jam siaran yang secara konvensional disebut ”jualan kecap”.

Ketika metode pencoblosan diganti dengan cara mencentang, kita mungkin tidak menemukan lagi kayu-kayu raksasa digotong beramai-ramai ke panggung kampanye, lantas ditusukkan ke lambang partai tertentu. Masing- masing pemilu dan pilkada, dengan beragam variasinya, menunjukkan kreativitas tinggi atau duplikasi berulang.

Sungguh sayang, jika beragam alat peraga, foto, cuplikan berita televisi, pekik orasi di radio, hingga tingkah peserta dan penonton kampanye itu hilang. Tidak mudah lagi mendapatkan benda- benda dan berbagai peristiwa itu. Suatu hari, nanti, semua hal itu akan dianggap sebagai ketidakwarasan dalam berpolitik atau bisa jadi malah dianggap sebagai sesuatu yang genuine, khas Indonesia. Sebagai makhluk politik, manusia Indonesia mungkin kian berjarak dan menjauh, digantikan kehidupan yang profesional, profan, dan stabil.

Museum pemilu

Tak terbayangkan, ke mana kita akan mencari panorama unik itu suatu saat nanti saat politik tidak lagi menjadi bagian penting kehidupan. Mumpung masih banyak hal terjadi terkait pemilu, diperlukan antisipasi untuk menyimpan seluruh dokumentasi dan ingatan kita atas itu.

Museum pemilu adalah langkah untuk mendokumentasikan itu. Diyakini, banyak organisasi sosial kemasyarakatan, masyarakat sipil, media, individu, partai politik, hingga lembaga penyelenggara pemilu yang masih memiliki beragam benda artistik atau non-artistik yang bisa di-”verifikasi” untuk masuk museum pemilu. Sebanyak 48 lambang partai politik peserta Pemilu 1999, misalnya, amat berbeda dengan 24 partai politik peserta Pemilu 2004. Begitu juga berbagai bentuk kampanye ”moncong putih” sampai slogan ”bersama kita bisa”.

Pemilu harus dilihat sebagai satu keindahan dalam merayakan demokrasi. Program partai-partai politik mungkin sudah dilupakan, begitu pula pidato-pidato emosional dan menarik, atau kesalahan dalam mengucap nama dan bahasa oleh politikus dadakan. Ada banyak parade naik becak atau bajaj yang dipertontonkan ketika bajaj dan becak pelan-pelan ”digusur”, bahkan sempat dirumponkan di Teluk Jakarta.

Dari mana kita memulai upaya ini? Barangkali, Museum Nasional atau Arsip Nasional bisa diberi semacam Surat Keputusan Presiden RI untuk melakukan langkah awal. Semua pihak yang memiliki aneka benda yang mungkin belum diedarkan bisa dimintai untuk menyumbang. Kalender lama, terbitan musiman, sampai gedung-gedung yang sering menjadi sasaran demonstrasi bisa menjadi bagian dari museum itu.

Perubahan demi perubahan

Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan keberagaman. Pemilu dilakukan dengan perubahan demi perubahan. Dari dulu hingga kini tetap memakai nomor urut. Daerah pemilihan juga berubah-ubah. Begitu pun ada kandidat tertentu yang berpindah- pindah daerah pemilihan.

Jadi, daripada terus mengatakan bangsa ini tidak menyukai politik, lebih baik data dan fakta yang berbicara ketika begitu banyak dinamika kepemiluan ditampilkan. Sebelum pemilu itu dimuseumkan, lebih baik museum pemilu diwujudkan dulu.

Dengan cara itu pula kita mendalami demokrasi. Benih-benih demokrasi sudah tumbuh dengan baik, buah-buahnya pun dinikmati banyak pihak. Sebelum kita akhirnya sepakat suatu hari nanti betapa demokrasi itu berbahaya bagi kesejahteraan rakyat, lebih baik apa yang sudah ada dipelihara dan diingat.

Diyakini, jika gagasan ini terwujud, bangsa ini dengan mudah tertawa. Bukan menertawakan orang lain, kekalahan, atau kemenangan, pecundang atau pahlawan, melainkan menertawakan diri sendiri.

Politik bukan lagi sesuatu yang mengerikan, melainkan bagian dari kegiatan berkesenian, sambil memelihara ilmu pengetahuan, dengan tetap memelototi saling serang di antara pelbagai kekuatan politik. Sungguh, museum pemilu itu akan menjadi hadiah seratus tahun kebangkitan nasional, sambil mengundang wisatawan mancanegara menikmatinya.

Namun, jangan-jangan saya menjadi seorang pemimpi atas gagasan nyeleneh ini? Entahlah.

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p