Wednesday, April 2, 2008

Dipecat Gus Dur Itu Rahmat

02 April 2008
Oleh Jabir Alfaruqi

MENCERMATI keputusan-keputusan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait dengan pemecatan demi pemecatan pengurus DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memang bisa membuat otak kita pusing tujuh keliling, bingung, dan tidak mengerti.

Apa sih maunya Gus Dur sebenarnya? Apakah Gus Dur mau membersihkan DPP PKB dari semua anasir yang kurang baik? Atau, sebaliknya, Gus Dur terlalu banyak dikelilingi anasir tidak baik sehingga tidak bisa membedakan mana yang baik, setengah baik, dan jelek?

Campur aduk pikiran dan perasaan seperti itu selalu sulit menemukan jawaban yang pas. Gus Dur memereteli satu demi satu tokoh potensial partai ini. Mulai dari Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, AS Hikam, Lukman Edy, dan kini yang lagi ramai adalah pemecatan terhadap Muhaimin Iskandar.

Apabila putusan pemecatan itu sudah final, berarti Muhaimin menjadi ketua umum PKB ketiga yang dipecat Gus Dur (sebelumnya Matori dan Alwi). Ini sebuah “prestasi“ yang belum ada tandingannya. Dalam waktu 10 tahun, sebuah partai telah tiga kali memecat ketua umumnya.

Anehnya, orang-orang yang dipreteli Gus Dur adalah mereka yang pernah dekat, bahkan sangat dekat dan sangat dipercayanya. Yang selalu menjadi pertanyaan, mengapa orang-orang yang dibesarkan, dipercaya, dan digadang-gadang Gus Dur sebagai calon pemimpin masa depan itu selalu berakhir dengan tragis: dipecat !

Apakah memang sudah suratan takdir bahwa berani dekat dan dipercaya Gus Dur berarti tinggal menunggu saatnya untuk dibuang kembali? Di PKB, Gus Dur menjadi “AD/ART“ di atas AD/ART partai yang sesungguhnya. Dia adalah pemilik hak veto di atas hak veto. Keputusannya adalah sabda pandhita ratu.
Karena posisinya itu, dia bisa menjadikan siapa pun tak bisa berbuat banyak ketika sudah menerima vonisnya. Jangan lagi berbicara prosedur, aturan main, apalagi coba berusaha melawan. Semua itu akan sia-sia. Gus Dur terlalu mahal harganya untuk PKB.

Muhaimin boleh saja melakukan pembelaan dan menganggap pemecatannya ilegal. Tapi perlu diingat, proses pemecatan ilegal —hanya melalui rapat pleno dan bukan muktamar— bukanlah yang pertama. Matori dan Alwi juga dilengser melalui rapat pleno. Dan tradisi itu menjadi yurisprudensi bagi PKB.

Lalu siapa yang bisa menegur dan mengalahkan Gus Dur? Yang bisa melakukan ya cuma dirinya sendiri, bukan orang lain. Nafsunya sendiri yang akan mengalahkannya. Karena itu, apakah semua keputusan Gus Dur untuk memecat orang-orang dekatnya itu didasarkan pada hati nurani dan pikiran jernih, atau hanya didasarkan fitnah, isu dan gosip semata, itu semua hanya Gus Dur yang bisa menjawabnya.

Kalau benar-benar berdasarkan hati nurani dan pikiran jernih, tentu keputusan-keputusan Gus Dur akan cemerlang, secemerlang pemikiran-pemikiran besarnya. Tetapi jika hanya didasarkan pada fitnah, isu dan gosip, tentu di sinilah kekalahan dirinya.

Gus Dur justru telah dikalahkan oleh egonya sendiri. Jika hal ini benar terjadi, tentu perlu disayangkan. Masak orang sekelas Gus Dur masih kalah dengan egonya sendiri.

Pemahaman Irrasional

Memahami Gus Dur jangan hanya menggunakan rasio semata, tapi juga harus dibarengi dengan irrasional pula. Dengan demikian, orang-orang yang dipecatnya bisa mengambil hikmah dari proses pemecatan tersebut.
Melihat sepintas, tentu saja orang-orang yang dipecat Gus Dur merasa sakit hati. Sedapat mungkin akan melakukan perlawanan. Itu akan terjadi kalau mereka hanya berpikir sesaat dan rasional.

Tetapi, jika dipikir lebih lanjut, sesungguhnya orang-orang yang dipecat Gus Dur itu harus bersyukur. Dipecat Gus Dur itu justru merupakan rahmat. Mengapa? Pikiran ini tentu saja ganjil.
Perlu diketahui, mereka yang dipecat Gus Dur adalah orang-orang yang masuk kategori sudah sukses dan memiliki pengaruh besar di partai itu. Mereka telah sampai pada posisi kunci, bukan sekadar dekat.

Banyak orang dekat Gus Dur yang hingga kini masih dipakai, lantaran prestasinya belum meningkat. Pengaruhnya belum besar dan kurang diperhitungkan. Karena itu, jika Anda sudah dipecat Gus Dur, berarti Anda telah diperhitungkan, menjadi tokoh kunci dan sudah lulus seleksi, sehingga tak perlu lama-lama lagi di partai itu.

Jadi, pemecatan seseorang oleh Gus Dur merupakan tolok ukur kesuksesannya di PKB. Dengan kata lain, kaderisasi harus berjalan di partai ini. Seseorang, karena telah lulus dari pendidikan kader, ya harus diganti.

Pemecatan demi pemecatan itu hanya soal waktu. Jadi tak perlu dirisaukan. Kalau semua berpikir dengan penuh rasa syukur, maka setelah dipecat Gus Dur biasanya makin laris. Banyak partai yang berminat.

Lihat saja Saifullah Yusuf yang bisa diterima di PPP. Kalau mau, partai-partai lainnya pun akan menerimanya. Bahkan Gus Ipul kini juga menjadi salah satu komisaris Bank BRI. Hal ini juga dialami Khofifah Indar Parawangsa. Setelah dipecat PKB, dia justru dicalonkan PPP dalam Pemilihan Gubernur Jatim.

Alwi Shihab sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah, setelah sebelumnya menjadi menko kesra. Melihat fakta ini, jelaslah bahwa dipecat Gus Dur itu bukan berarti kiamat. Justru itu adalah ijazah kelulusan bagi mereka untuk menjadi lebih besar lagi. Begitu saja kok repot. (32)

– Jabir Alfaruqi, wakil ketua Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Tengah

No comments:

A r s i p