Wednesday, April 16, 2008

Mengelola Turbulensi Politik Partai

Ditulis oleh : Abdul Gafur Sangadji, Anggota staf pengajar sistem perwakilan politik di Departemen Ilmu Politik FISIP UI Jakarta

Beberapa hari lalu (4/4/2008), bertempat di DPP Partai Golkar, dilangsungkan sebuah expert discussion (diskusi para ahli) tentang turbulensi politik partai. Tak tanggung-tanggung pembicara yang dihadirkan adalah para pakar politik seperti Franz Magnis Suseno, Daniel Sparingga, Saiful Mujani, Muhammad Qodari, Fachri Ali, Indra Jaya Piliang, dan Bachtiar Effendi. Golkar sedang dalam ancaman dan itu menjadi persoalan serius di kalangan warga Golkar. Sebagai partai pemenang pemilu, Golkar menghadapi tantangan politik yang makin rumit dengan konstelasi yang makin tidak menentu.

Prospek Golkar diprediksi bakal disalip PDIP. Apalagi dinamika politik jelang Pemilu 2009 sulit ditebak arahnya: apakah makin menguatkan posisi Golkar ataukah membuat partai tersebut tersungkur dan dikalahkan partai-partai lain dalam perolehan suara nasional. Pada Pemilu 2004 Golkar menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 21,6%, mengalahkan PDIP yang pada Pemilu 1999 menjadi nomor urut pertama. Namun, kini Golkar sedang berhadapan dengan arus deras politik yang bukan tidak mungkin membuatnya terjungkal dari posisi nomor satu.

Sebenarnya bukan hanya Golkar yang makin tidak berprospek, tapi tren yang ada adalah partai politik oleh masyarakat sudah kurang dipercaya untuk melakukan percepatan demokratisasi. Ada gejala antipartai di kalangan tertentu. Karena partai dituding telah membajak kekuasaan untuk kepentingan golongan. Partai lebih sibuk dengan konflik internal ketimbang memikirkan rakyat.

Perpecahan di tubuh PKB yang baru saja terjadi adalah fakta riil yang memberi konfirmasi bahwa friksi internal kerap kali terjadi hanya karena kepentingan sesaat. Biasanya konflik mengemuka karena adanya faksionalisasi di tubuh internal akibat gagalnya manajemen kekuasaan. Perbedaan kepentingan yang muncul di antara kekuatan-kekuatan internal tidak dikelola secara demokratis dengan mengedepankan kompromi, jalan tengah, malah justru dibiarkan sehingga dinamika menjadi tidak sehat. Persaingan kepentingan tidak menguatkan kelembagaan partai, tapi justru menghancurkan soliditas partai. Itu amat berbahaya bagi langkah partai politik menuju Pemilu 2009.

Sejak era reformasi, banyak partai yang hancur bukan karena sekadar kalah kompetisi, tetapi lebih karena konflik internal yang tidak sehat. Akibatnya sering kali pecah kongsi partai. Kekuatan partai menjadi berserakan. Konflik internal di beberapa partai, seperti PBR, PKB, PDIP, makin menguatkan dugaan kalau liberalisasi politik belum memproduksi etika dan tanggung jawab politik para elite partai. Walaupun politik memang urusan kekuasaan, seperti kata Harold Laswel (politics is who gets what, when, and how), namun bagaimanapun juga dalam alam demokrasi kekuasaan harus dikelola agar tidak menimbulkan perpecahan internal yang merugikan kepentingan konstituen.

Maka bukan hanya Golkar, semua partai harus memperkuat kelembagaan partai jika ingin terhindar dari turbulensi politik yang mengarah pada perpecahan. Partai harus memiliki aturan yang jelas terkait mekanisme pencalonan kepala daerah, anggota legislatif, dan presiden-wakil presiden. Apakah, misalnya, untuk mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden, partai cukup mengadakan musyawarah nasional ataukah menggunakan mekanisme konvensi seperti di Amerika. Kemudian soal penentuan pasangan capres dan cawapres, apakah diumumkan sebelum ataukah setelah pemilu legislatif.

Aturan-aturan partai seperti ini harus well-established sehingga tidak setiap kali jelang pemilu, mekanismenya berubah mengikuti selera penguasa. Publik pun dibuat tenang karena selalu ada kepastian politik. Tidak mengambang seperti sekarang. Di Amerika, misalnya, pencalonan presiden dan wakil presiden dari kedua partai (Demokrat dan Republik) dilakukan jauh hari lewat pemilu pendahuluan (primaries). Dengan demikian, proses itu begitu terbuka di hadapan publik.

Mungkin itu yang membuat studi para ilmuwan politik memperlihatkan hampir kebanyakan partai di Indonesia masih menganut pola-pola patronase yang menyuburkan tradisi hegemoni. Akibatnya proses kaderisasi berjalan macet. Karena kompetisi kekuasaan tidak didasarkan pada merit system yang mengedepankan unsur kompetensi/kapabilitas dalam penempatan kader di jejaring kekuasaan, tetapi karena pertimbangan gizi politik. Di Pemilu 2009 uang akan berhamburan di kantong para petinggi partai. Karena memang proses rekrutmen politik berlangsung secara tertutup dengan uang sebagai pelicinnya. Padahal calon presiden Amerika dari Partai Demokrat, Barack Obama, sudah memberi pelajaran penting bahwa kualitas kompetisi jabatan harus didasarkan pada kemampuan mumpuni personal seorang kandidat dan jejaring politik yang luas, bukan sekadar soal jumlah uang.

Akibat praktik oligarki, banyak partai yang belum sungguh-sungguh menerapkan sistem berpartai modern. Kebanyakan partai belum menginjeksi demokrasi politik seperti partisipasi yang luas (termasuk juga kuota perempuan), pelembagaan kepentingan, manajemen kekuasaan yang demokratis, konflik tanpa perpecahan, dan rekrutmen berdasarkan merit system. Sudah bukan saatnya lagi partai dioperasikan dengan cara-cara oligarkis. Bagaimanapun juga partai harus menjadi medium kaderisasi yang sehat. Dalam artian, kompetisi kekuasaan internal tidak boleh menabrak rel-rel demokrasi. Siapa yang layak dialah yang memimpin. Siapa yang berkriteria kuat untuk masuk bursa capres dan cawapres, dialah yang diberi jalan untuk bersaing. Bukan malah mengunci pintu pencalonan karena sang ketua umum yang hendak diamankan jalannya.

Pergeseran konfigurasi politik

Salah satu isu yang sangat meresahkan Golkar yang terungkap dalam diskusi para ahli itu adalah hasil berbagai lembaga survei yang memperlihatkan kuatnya gejala pergeseran konfigurasi politik di 2009. Pada survei LSI Februari 2007, misalnya, PDIP berpeluang meraih dukungan 22,6%, Partai Golkar 16,5%, dan Partai Demokrat hanya 16,3. Hasil yang sama diperlihatkan survei LSI pada Oktober 2007. PDIP masih menjadi unggulan dengan dukungan 20%, Golkar 17,5% dan Partai Demokrat 14%.

Lalu kenapa popularitas Golkar bisa disalip PDIP? PDIP unggul atas Golkar karena publik mulai kecewa dengan situasi ekonomi nasional saat ini. Ketidakpuasan itu mudah sekali diterjemahkan kepada partai pendukung pemerintah. Itu artinya bahwa publik sudah cukup cerdas menimbang kinerja partai politik, baik yang memilih mendukung pemerintah maupun yang beroposisi. Kasus Golkar menarik karena sebagai partai pemenang pemilu, tren pergeseran dukungan terjadi karena Golkar dinilai tidak responsif terhadap isu-isu publik, seperti kemiskinan, kelaparan, kelangkaan elpiji, banjir, bencana alam, Lapindo, penuntasan pelanggaran HAM, termasuk penyelesaian kasus BLBI.

Makin menurunnya popularitas Golkar juga tidak bisa dimungkiri adalah buah dari dinamika politik, baik di tingkat eksekutif dan legislatif, yang ikut menyeret partai Golkar dalam pencitraan yang negatif. Dalam beberapa kali kebijakan strategis negara, Golkar tidak konsisten menunjukkan posisinya sebagai partai pendukung pemerintah. Golkar seperti bermain di dua kaki, atau di area abu-abu, berdiri pada posisi dilematis. Sebagai partai pendukung pemerintah, semestinya Golkar menjadi partner pemerintah untuk mengamankan kebijakan strategis negara, terutama di parlemen. Tapi dalam beberapa kasus, Golkar berbuat sebaliknya: berseberangan dengan pemerintah. Ketidakjelasan seperti itulah yang membingungkan publik, sekaligus menguntungkan PDIP sebagai partai oposisi yang konsisten pada pilihannya.

Apa pelajarannya? Partai yang gagal menjadi mesin agregasi dan artikulasi kepentingan publik akan ditinggalkan pemilih. Pemilu 2009 akan menjadi ajang penghakiman politik bagi partai-partai yang lalai terhadap aspirasi rakyat. Partai yang tidak konsisten pada pilihan-pilihan politiknya akan diganjar dengan hukuman yang setimpal. Begitu juga dengan partai yang lebih sibuk dengan konflik internal ketimbang melakukan kaderisasi dan konsolidasi akan terancam perolehan suaranya. Mari kita buktikan itu di Pemilu 2009.

No comments:

A r s i p