Thursday, April 17, 2008

Retorika Negara Kesejahteraan


Kamis, 17 April 2008 | 00:29 WIB

Amich Alhumami

A welfare state is frightened of every poor person who tries to get in and every rich person who tries to get out (Harry Browne, 1933-2006, Politisi dan Pengarang Libertarian Amerika).

Menyimak retorika publik di kalangan pejabat pemerintah dan politisi di parlemen, tertangkap tataran gagasan mereka sepaham mengenai cita-cita membangun sebuah pemerintahan negara yang bertujuan menciptakan kesejahteraan rakyat.

Tema ini lalu menjadi grand narrative dalam wacana publik dan perdebatan politik. Pertanyaannya, apakah penyelenggara pemerintahan—eksekutif dan legislatif—sepakat membangun negara kesejahteraan merujuk konsep orisinal, yang semula berkembang di Eropa Barat (Inggris, Jerman) dan negara-negara Skandinavia (Finlandia, Swedia, Norwegia)?

Jika memiliki kesamaan cita-cita membangun negara kesejahteraan, mengapa dalam banyak hal yang amat fundamental pihak legislatif sering berseberangan dengan eksekutif, terutama berkenaan dengan policy prescriptions, dalam membangun perekonomian negara?

Sejauh ini partai politik di lembaga legislatif belum mempunyai dokumen atau blue-print (cetak-biru) yang secara solid dan komprehensif memuat rumusan ide negara kesejahteraan, yang menjadi dasar penyusunan kebijakan publik. Pihak eksekutif juga tak memiliki cetak-biru yang memuat agenda untuk mewujudkan cita-cita membangun negara kesejahteraan.

Kesejahteraan rakyat

Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik hanya retorika politik, yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini, kita perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik.

Para pemikir merumuskan konsep negara kesejahteraan sebagai berikut, ”a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people.” Rumusan ini bersumber dari karya-karya klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare State in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare State (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare State (1958). Buku Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan.

Pemikiran mereka dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok.

Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial.

Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.

Ada yang salah

Merujuk tiga gagasan itu, kita dapat menilai betapa Indonesia jauh dari cita- cita negara kesejahteraan. Tentu patut disyukuri, sistem pemerintahan demokratis perlahan mulai terlembaga. Institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi ciri negara demokrasi modern sedang-dan-terus berproses menuju konsolidasi.

Namun, dapat dipastikan, ada sesuatu yang salah dalam tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan selama 10 tahun era reformasi. Saksikan, Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah. Namun, berbilang selama tahun pembangunan nasional justru bergantung pada utang. Sebuah negara agraris dengan tradisi pertanian amat panjang, tetapi para petaninya miskin dan negara menjadi pengimpor beras. Sebagai negara maritim yang hampir 70 persen (5,8 juta kilometer persegi) luas wilayahnya merupakan lautan yang mengandung potensi tak terbilang, tetapi laut tak terkelola dengan baik dan nelayannya terjerat kemiskinan.

Sebagai negara, jutaan anak usia sekolah tak bisa mendapat pendidikan memadai, bahkan anak SD-SMP bunuh diri hanya karena malu menunggak iuran sekolah. Sebuah negara di mana anak-anak balita menderita gizi buruk dan orang sakit tak bisa membeli obat atau mendapat layanan kesehatan secara manusiawi. Sebuah negara di mana seorang ibu meracuni anak sampai meninggal lalu ia bunuh diri karena tak kuat menanggung beban kemiskinan. Sebuah negara di mana seorang ibu yang sedang hamil meninggal karena kelaparan. Sebuah negara yang kombinasi angka kemiskinan dan pengangguran demikian tinggi, yang bila tak terkendali dapat memicu krisis sosial.

Tanggung jawab profetik

Rentetan ”fakta keras” itu belum menyadarkan kita bahwa sebagai bangsa, Indonesia sedang menyongsong krisis sosial seperti diingatkan para perumus/penggagas negara kesejahteraan. Maka, kita boleh menggugat di manakah tanggung jawab profetik negara atas berbagai peristiwa memilukan itu. Sungguh, amat jauh bentangan antara retorika politik dan fakta empiris. Tanpa lelah, presiden/wapres terus berpidato tentang kesejahteraan rakyat, tetapi menteri yang diangkat untuk mengurus hal ini adalah figur yang terkait/pemilik/pemegang saham korporasi besar yang membuat rakyat kehilangan properti, terusir dari tempat tinggal, lalu hidup merana di tenda-tenda pengungsian.

Penderitaan rakyat amat pedih dan tak berkesudahan. Mereka terus bertanya, di manakah negara? Bak panggung teater, anggota parlemen—sebagai demagog—dengan berbusa-busa menyuarakan kepentingan masyarakat dan mengklaim sebagai pejuang aspirasi rakyat. Namun, mereka terus melakukan korupsi dan menikmati gratifikasi, suap, dan sejenisnya yang menjadi sumber penggerusan dana publik sehingga menghalangi upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kepada kaum bijak-bestari, rakyat bertanya sampai kapan bubble statements—gelembung pernyataan kosong—ini terus menghiasi wacana publik dan menjadi perdebatan politik?

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

No comments:

A r s i p