Tuesday, April 22, 2008

Satu Perempuan, Satu Generasi

Senin, 21 April 2008 | 00:11 WIB

Oleh Naurah Najwa Hairrudin

If you educate one man, you educate one person. But, if you educate one woman, you educate one generation. (Meutia Hatta)

Berbicara tentang perempuan Indonesia, biasanya tidak akan dilepaskan dari sosok RA Kartini, yang diusung sebagai tokoh emansipasi wanita.

Hari Kartini, 21 April, kerap dijadikan momen perbaikan nasib perempuan. Meski banyak polemik terkait penokohan Kartini, sejarah membuktikan perempuan Indonesia ikut memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan. Bagaimana pembangunan perempuan Indonesia saat ini?

Kesenjangan jender

Dengan menggunakan Human Development Report Indonesia 2004, kesenjangan jender dalam pembangunan perempuan masih signifikan. Nilai Gender Development Index (GDI) 2002 hanya 0,592. Nilai itu di bawah Human Development Index (HDI) 0,658, sedangkan Gender Empowerment Measurement (GEM) pada posisi 0,546. Pada tingkat internasional, GDI Indonesia pada peringkat ke-33 dari 71 negara.

Pada 2006, mengacu hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), persentase penduduk perempuan buta aksara usia 10 tahun ke atas dua kali lebih tinggi daripada laki-laki meski sudah mulai ada penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Tingkat buta aksara perempuan sekitar 10,33 persen, sedangkan penduduk laki-laki 4,88 persen.

Pada periode sama, di bidang kesehatan, kondisi dan status kesehatan perempuan Indonesia masih rendah. Ini terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan dibanding negara lain di ASEAN.

Berdasar hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2006, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan 48,63 persen. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki 84,74 persen. Untuk angka pengangguran, perempuan lebih tinggi 13,72 persen dibanding laki-laki 8,58 persen.

Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, tindak kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2001-2005 meningkat 56-69 persen (20.391 kasus) setiap tahun. Dari jumlah itu, sekitar 82 persen merupakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); sekitar 45 persen adalah perempuan korban berstatus ibu rumah tangga.

Hasil Susenas 2006 menunjukkan, prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen atau sekitar 3-4 juta perempuan yang mengalami kekerasan setiap tahun.

Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hingga Desember 2005, kekerasan yang dialami tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri sebanyak 1.091 kasus.

Rincian atas kasus itu adalah: gaji tidak dibayar 372 kasus, pelecehan seksual 30 kasus, penganiayaan 81 kasus, kecelakaan kerja 27 kasus, pemutusan hubungan kerja 140 kasus, sakit 124 kasus, putus komunikasi 253 kasus, kriminal 11 kasus, dan penipuan yang berakibat gagal berangkat 43 kasus.

Rekonstruksi paradigma

Dari data itu diketahui, pembangunan perempuan Indonesia masih relatif rendah. Keadaan itu terjadi akibat kompleksnya persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia, mulai dari praktik diskriminasi, ketimpangan struktur sosial-budaya masyarakat, minimnya akses layanan kesehatan bagi perempuan, adanya kesenjangan layanan pendidikan serta kesempatan dalam kegiatan publik dan politik, rendahnya kualitas hidup perempuan, hingga tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan.

Pemerintah, terutama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, sudah menempuh banyak upaya. Namun, masalah pembangunan perempuan bukan hanya tanggung jawab Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, tetapi tanggung jawab bersama, terutama kaum perempuan Indonesia, guna menjawab tantangan pembangunan perempuan Indonesia.

Hal paling prinsip dalam pembangunan perempuan Indonesia adalah merekonstruksi paradigma kaum perempuan itu sendiri. Untuk itu, pendidikan merupakan keniscayaan guna membiakkan paradigma baru ini. Bagi perempuan, sekolah bukan untuk memenuhi tuntutan mencari pekerjaan, tetapi merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan guna mengubah paradigma berpikir dan melihat dunia dengan perspektif berbeda. Bagi perempuan, pendidikan adalah tuntutan untuk mencetak generasi yang lebih baik, bijak, berkualitas, dan bermoralitas. Di tangan perempuan, akan lahir generasi yang melanjutkan pembangunan negeri ini.

Maka, dalam rangka satu abad kebangkitan bangsa, 10 tahun reformasi, dan 104 tahun wafatnya Kartini, momen ini perlu dimanfaatkan guna membangun semangat dan kedigdayaan berpikir perempuan Indonesia. Ayunkan langkah perempuan menuju perubahan diri yang lebih baik. Bangun motivasi dan jangan putus asa dalam meraih perbaikan diri. Mari, kita bangun perempuan Indonesia!

Naurah Najwa Hairrudin Mantan Jurnalis, Mahasiswa Program Doktoral di Universitas Airlangga

No comments:

A r s i p