Thursday, April 17, 2008

KAUM AKTIVIS KEBABLASAN

Rizal Mallarangeng
Direktur Eksekutif

MPR telah menipu rakyat. Itulah yang diserukan oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah di tengah-tengah Sidang Tahunan MPR di Senayan, Jumat 8 Agustus silam. Dalam semangat anti-politik yang pekat, kaum aktivis non-partai yang tergabung dalam koalisi ini dengan dramatis merobek rancangan pembentukan Komisi Konstitusi yang dibuat oleh para politisi di MPR. Mereka berpikir, hanya ide mereka yang murni, dan segala yang lainnya adalah sebentuk penipuan kepada rakyat.

Kaum aktivis di luar lembaga perwakilan memang harus mengambil jarak dan senantiasa bersikap skeptis terhadap kaum politisi. Tetapi, saya kira, sebagian dari wakil mereka yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) sudah kebablasan: skeptisisme mereka sudah berubah menjadi sinisme yang penuh amarah. Bahkan saya agak khawatir, pandangan-pandangan yang mereka lontarkan selama Sidang Tahunan MPR yang berakhir pekan lalu bisa melemahkan dasar-dasar legitimasi sistem demokrasi itu sendiri.

Tentu saja, saya bisa memahami sebagian kekecewaan mereka. Keempat amandemen yang telah dilahirkan oleh MPR sejak empat tahun silam masih menyisakan beberapa persoalan. Dalam soal bikameralisme, misalnya, tidak terdapat penjelasan yang memadai tentang fungsi dan peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga penting yang seharusnya diberi kewenangan sebagaimana yang dinikmati oleh lembaga Senat di Amerika Serikat.

Selain itu, dalam soal hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara, dalam hal ini antara presiden dan DPR, prinsip check and balances belum sepenuhnya tampak dengan terang-benderang. Dalam mengesahkan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, presiden hanya diberi waktu selama 30 hari untuk mempertimbangkannya. Dan jika presiden tidak setuju, undang-undang itu tetap akan berlaku (Pasal 20 Ayat 5).

Artinya, sementara DPR dapat mengontrol presiden, hal sebaliknya tidak terjadi. Sebab, presiden tidak diberi hak veto yang eksplisit. Hak veto yang ada hanya berlaku implisit: presiden diberi wewenang merumuskan undang-undang bersama DPR (Pasal 20 Ayat 2).

Dalam hal ini, kita bisa bertanya: mengapa hubungan antara DPR dan presiden dibuat dengan penuh ambiguitas sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan konflik kelembagaan di masa depan? Mengapa presiden, sebuah lembaga dengan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, tidak diberi hak yang eksplisit untuk mengontrol DPR agar terjadi perimbangan kekuasaan dalam menentukan aturan-aturan yang langsung berpengaruh pada perikehidupan umum?

Daftar kelemahan dan kekurangan yang ada masih bisa diperpanjang lagi. Namun, semua itu bukanlah kelemahan yang bersifat fundamental yang akan menyebabkan demokrasi kita macet dan rontok. Kekecewaan yang begitu dalam di kalangan para aktivis tidak sebanding dengan derajat kelemahan yang ada dalam konsititusi "baru" kita.

Buat saya, berbagai kelemahan yang ada terlalu kecil untuk menutupi sukses besar yang telah dihasilkan oleh MPR dalam empat amandemen. Dengan segala keterbatasan dan dengan distribusi kursi partai yang menyulitkan pengambilan berbagai keputusan besar, MPR telah menghasilkan konstitusi baru yang lebih sesuai dengan semangat zaman.

Kini, setiap warga negara secara eksplisit dijamin kebebasannya dalam berserikat, berkumpul, dan berpendapat (dalam konstitusi "lama", hak-hak itu kabur karena masih diatur dalam undang-undang). Selain itu, setiap warga negara sekarang dapat memilih pemimpinnya secara langsung, tidak ada lagi golongan perwakilan yang tak terpilih dalam parlemen. TNI-Polri sudah menyatakan sayonara tanpa letupan-letupan yang berbahaya, serta substansi Pasal 33 tentang perekonomian lebih mengikuti semangat perkembangan dunia. Singkatnya, sekarang kita telah memiliki konstitusi yang dapat digunakan untuk mendorong proses transisi demokrasi yang lebih baik di masa depan.

Sekali lagi, sukses yang telah dicapai ini bukan berarti di kemudian hari perbaikan di sana-sini tidak lagi dibutuhkan. Dan dalam sistem demokrasi, upaya-upaya perbaikan dan perubahan demikian adalah proses politik. Dengan atau tanpa Komisi Konstitusi sebagaimana yang diusulkan oleh kaum aktivis di Koalisi Ornop atau oleh petinggi-petinggi TNI-Polri, yang perlu terus diingat adalah bahwa proses demikian akan melibatkan pertentangan dan perbedaan konsepsi tentang berbagai hal yang ideal.

Dalam proses itu, tidak satu pihak pun yang berhak mengatakan bahwa hanya dirinya yang membawa kebenaran dan kemurnian. Justru demokrasi perlu, seperti kata Isaiah Berlin, karena dalam dania nyata ada banyak kebenaran yang masing-masing mungkin saling bertentangan--dan karena itu kita harus mencari cara damai dan terlembaga untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang mengatasnamakan semua.

Itulah yang perlu disadari oleh setiap komponen prodemokrasi, terlebih oleh kaum aktivis yang sejauh ini hidup dan karirnya memang diabdikan untuk mendukung gagasan demikian. Kalau pihak terakhir ini sudah mulai tak sabar dan terjebak dalam sinisme berlebihan terhadap proses politik dan terhadap kaum politisi, transisi demokrasi kita akan kehilangan salah satu motornya yang dapat diandalkan.

Dua pekan lalu, kaum aktivis sudah kebablasan. Mereka harus membuktikan bahwa, dalam momen-momen historis lainnya di saat-saat mendatang, hal itu tak akan terjadi lagi.

*) Penulis adalah Direktur Freedom Institute, Jakarta.

No comments:

A r s i p