Thursday, April 17, 2008

Menghapus Jejak Berdarah

Kamis, 17 April 2008 | 00:29 WIB

Asvi Warman Adam

Dalam tulisan HAM dan Kedewasaan Bangsa (Kompas, 15/4/2008) Tjipta Lesmana mengutip pandangan Francois Guizot, politikus dan sejarawan Perancis abad ke-19.

Francois Guizot (1787-1874) selain pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Perdana Menteri Perancis, juga dianggap organisator pertama pengembang ilmu sejarah di Perancis. Dalam metodologi sejarah, ia berjasa mengingatkan, tugas utama sejarawan adalah mencari sumber-sumber asli (sources originales) dan menilainya sebelum menggunakannya. Inilah yang kurang diperhatikan sejarawan abad ke-18.

Substansi pemikiran Guizot dikenal sejarawan Indonesia. Kuliah tentang sumber serta kritik sumber telah diberikan bagi mahasiswa tahun pertama. Mereka yang masih mengutip Guizot tentang aspek ini berarti ketinggalan satu abad. Lebih ironis jika teori kuno itu digunakan untuk membenarkan manipulasi sejarah.

Manipulasi sejarah

Meski intervensi politik atas bidang sejarah sudah terjadi sebelumnya, pada era Orde Baru hal itu dilakukan secara sistematis dan meluas. Sejak 1970-an, pengajaran sejarah di sekolah memberi legitimasi kepada penguasa (Soeharto) dan mendiskreditkan presiden sebelumnya. Soekarno dikatakan bukan penggali Pancasila. Sejak 1970, Kopkamtib melarang peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 yang digambarkan melalui buku pelajaran, film, dan berbagai monumen, menyanjung Soeharto dan melupakan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai konseptor.

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) memberi legitimasi perjuangan Orde Baru, menetapkan kawan (militer yang mempertahankan Pancasila dan UUD 1945) dan lawan (ekstrem kiri dan ekstrem kanan). Surat Perintah 11 Maret 1996 (Supersemar) diperoleh dengan tekanan berulang-ulang dan disalahgunakan untuk meraih kekuasaan. Ketika muncul tudingan, rezim Orde Baru memperoleh kekuasaan secara tidak sah, kiranya itu didukung berbagai argumen kuat. Maka, amat naif bila dikatakan, ”kalau rezim Soeharto tidak sah, rezim-rezim berikut—dari Habibie hingga SBY—otomatis tidak sah”. Lebih kacau lagi, ”semua institusi negara, seperti Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi, tidak sah. Semua produk hukum yang dihasilkan pun tidak sah”.

Kedewasaan bangsa

Untuk mengoreksi manipulasi sejarah di masa lampau diperlukan pelurusan yang telah berlangsung sejak Soeharto jatuh tahun 1998 hingga kini. Ada berbagai hambatan akibat kebijakan Menteri Pendidikan Nasional (Peraturan Menteri No 22/23/24 Tahun 2006) dan Jaksa Agung (larangan buku pelajaran sejarah Maret 2007) yang menyebabkan pembakaran buku pelajaran sejarah. Kini, pelajaran sejarah dianggap tidak berharga untuk dimasukkan bahan ujian nasional.

Namun, dari waktu ke waktu muncul sejarah yang lebih membuka wawasan. Jika dulu sejarah dimonopoli penguasa, kini para korban dapat bersuara. Tesis magister sejarah di UI oleh Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia, Peristiwa Lampung 1989, diterbitkan di Yogyakarta. Prolog oleh pakar Islam dari Belanda, Martin van Bruinessen, epilog oleh Munir, dan diluncurkan Kontras di Jakarta tahun 2004.

Buku ini adalah contoh teks sejarah tentang kasus Talang Sari Lampung yang ditulis secara ilmiah dan utuh, seperti dimaksudkan Francois Guizot, dan bukan didanai tokoh tertentu.

Sementara itu, buku yang menggunakan sumber-sumber sahih dan dibandingkan dengan satu sama lain, seperti dianjurkan Francois Guizot, telah bermunculan. Misalnya, buku terbaru tentang peristiwa 65 yang ditulis John Roosa, Dalih Pembantaian Massal, telah membongkar misteri gelap sejarah bangsa selama 40 tahun.

Dapat dikatakan, semakin dewasa suatu bangsa, semakin mampu menerima sejarah sebagaimana adanya dan belajar dari sana. Sejarah jangan dimanipulasi (dengan menghilangkan jejak berdarah para pelanggar HAM masa lalu) untuk kepentingan sesaat, misalnya Pemilu 2009.

Asvi Warman Adam Alumnus Sejarah dari EHESS Paris Tahun 1990; Anggota Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Era Soeharto yang Dibentuk Komnas HAM Tahun 2003

No comments:

A r s i p