Tuesday, April 22, 2008

Survei Parpol ( Punggawa Politik )

Punggawa Politik Pun Sulit Tentukan Pilihan
Sabtu, 19 April 2008 | 02:13 WIB

SULTANI

Selain punya kemampuan memimpin bangsa dan mampu mengartikulasikan kebutuhan masyarakat, figur pemimpin nasional yang mengutamakan kepentingan negara menjadi hal yang langka saat ini. Bahkan, 45 persen responden yang terdiri dari ketua atau sekjen partai bimbang, apakah dirinya layak untuk menjadi presiden. Hanya 35 persen yang merasa yakin akan kemampuannya sehingga merasa layak menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan ini.

Pemimpin nasional, yang dalam hal ini secara spesifik mengarah pada pengertian kepala pemerintahan atau presiden, menjadi konsep yang tidak mudah dirumuskan, kecuali dengan merujuk pada sejumlah kriteria yang harus dimiliki. Tiga hal pokok disebutkan oleh para petinggi partai politik sebagai syarat utama yang harus dimiliki, yakni kemampuan memimpin, kemampuan mengartikulasikan kepentingan masyarakat, dan sikap lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap sosok tertentu juga menjadi pertimbangan selain soal integritas moral yang juga mengemuka sebagai salah satu syarat.

Kurangnya keberanian untuk menjadi pemimpin politik tampaknya menjadi salah satu kendala sulitnya kader pemimpin di tingkat nasional muncul. Meskipun telah terjun ke dalam partai politik, bukan jaminan mereka telah sesuai dengan ”takaran” untuk menjadi pemimpin nasional.

Terlebih, di tengah memanasnya suhu politik menjelang Pemilu 2009, tarik-menarik kepentingan terlihat sangat kentara. Proses politik yang terjadi dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif misalnya, secara jelas mencerminkan hal ini. Elite partai, kader kepemimpinan yang kini duduk mewakili rakyat pun, tampak lebih menonjolkan kepentingan partainya masing-masing.

Tak berlebihan jika jajaran elite partai, seperti sekretaris jenderal atau ketua umum partai, saat ini sulit menentukan pilihan siapa yang paling kuat di antara sesama elite partai. Survei terhadap pucuk pimpinan partai ini menunjukkan, mereka lebih memilih untuk memberikan respons jawaban ”tidak ada” dan ”tidak jawab” (55 persen) terhadap pertanyaan mengenai siapakah di antara pimpinan atau elite partai politik yang mereka pandang paling pantas untuk menjadi presiden mendatang.

Namun, dari mereka yang memberikan pilihannya terhadap figur pemimpin partai, nama Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla paling banyak dirujuk sebagai calon presiden yang layak di antara jajaran pemimpin partai lainnya. Sementara, ”pemilik” Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di urutan kedua.

Pilihan yang jatuh kepada Jusuf Kalla lebih didasari pada penilaian atas sifat Wakil Presiden RI ini yang dipandang memiliki karakter cepat mengambil keputusan. Sementara itu, pilihan kepada Yudhoyono lebih didasarkan pada pertimbangan akan sempitnya pilihan bahwa hingga kini belum ada tokoh yang dipandang lebih memiliki kemampuan mengurus negara daripada dia. Selain itu, tokoh berlatar belakang militer ini juga relatif terbuka dalam menerima pendapat orang lain.

Pilihan internal di tubuh sesama partai politik pun bukan perkara mudah. Meskipun ada keinginan partai-partai politik lebih memilih Jusuf Kalla sebagai presiden, namun akan terkendala pada masalah popularitas calon di mata masyarakat. Beberapa survei yang dilakukan sejumlah lembaga penelitian, termasuk jajak pendapat Litbang Kompas, menunjukkan bahwa dalam soal ketenaran dan preferensi publik Wakil Presiden RI ini masih terpaut jauh dari Presiden Yudhoyono. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada Oktober 2007, misalnya, Yudhoyono dipandang layak untuk jadi presiden oleh 75,2 persen responden, sementara Kalla dipandang layak oleh 42,4 persen responden.

Sama halnya terhadap tokoh dari dalam lingkaran partai, dalam cakupan yang lebih luas pun masih sulit bagi elite partai untuk menentukan siapa yang paling pantas untuk menjadi presiden pada pemilu mendatang. Separuh dari pimpinan/sekjen partai belum bisa memastikan siapa tokoh nasional yang paling pantas untuk diusulkan menjadi calon presiden.

Namun, ada fenomena cukup menarik. Nama mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ternyata disebut lebih banyak (10 persen) dibanding beberapa tokoh lain, termasuk Yudhoyono yang hanya sekali disebutkan. Tampaknya harapan beberapa partai kepada tokoh alternatif ini cukup menonjol. Di balik kontroversi sejumlah kebijakannya, ketegasan mantan Pangdam Jaya ini cukup memberi harapan. Di tengah kebutuhan akan pemimpin yang mampu bersikap tegas, dan kalau perlu siap untuk tidak populer karena pilihan kebijakannya, maka pilihan yang diambil oleh partai politik mungkin akan mengarah pada pribadi-pribadi yang punya potensi mengisi kekosongan itu.

Kaderisasi dan dana

Masalah kaderisasi menjadi problem yang sama beratnya dengan masalah keuangan partai. Dua hal inilah yang dirasakan paling mengganjal dalam menjalankan roda kehidupan partai politik. Implikasi dari sulitnya melakukan kaderisasi bisa sangat berdampak pada seretnya pemimpin-pemimpin baru muncul dari kalangan partai. Namun, untuk menyiapkan teknis pengaderan dan memperluas cakupan basis massa partai juga dibutuhkan biaya yang besar.

Kendala inilah yang pada akhirnya membuat partai politik sering kali tidak siap jika dihadapkan pada pertarungan memperebutkan pucuk pimpinan, baik di level pusat maupun daerah. Dengan demikian, sering kali terjadi partai mencari figur lain di luar kader partainya sendiri.

Tak heran jika kemudian mekanisme pencarian figur pemimpin lewat survei menjadi mode yang semakin diminati kalangan partai politik saat ini. Hal tersebut diakui oleh 35 persen jajaran pimpinan partai yang menjadi responden survei Kompas. Daripada melakukan penjaringan calon pemimpin lewat konvensi atau kongres/muktamar/munas, partai saat ini cenderung lebih memilih metode survei untuk menentukan siapa calon yang akan dimajukan ke dalam arena pemilihan. Dengan metode ini, kemungkinan pilihan menjadi relatif lebih terbuka. (SULTANI/ Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p