Thursday, April 17, 2008

PERUBAHAN SIGNIFIKANSI POLITIK ALIRAN

Penulis:
Saiful Mujani
Peneliti Senior

Perbedaan orientasi politik atau aliran dipercaya menjadi sebab dari munculnya perbedaan partai politik dan konflik di antara mereka. Aliran yang berbeda bersaing terutama dalam mendefinisikan apa itu Indonesia. Atas dasar apa Republik Indonesia harus dibangun sehingga menjadi negara yang kuat dan punya pemerintahan baik?

Kalau disederhanakan, ada dua aliran politik yang mempengaruhi apa jawaban elite politik atas pertanyaan tersebut: santri dan abangan. Santri adalah kelompok Muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka mendirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar RI berasaskan Islam. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi kuat.

Sebaliknya, abangan adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam. Islam tidak penting dalam kehidupan sosial-politik kelompok abangan. Tidak heran kemudian ia lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. PKI lahir dari elite dan massa yang berorientasi abangan seperti ini.

Sementara itu, abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dan PKI secara kultural terletak pada sopistikasi kepercayaan mereka dan pada perbedaan kelas konstituen mereka. Meski demikian, ketika dihadapkan dengan Islam dan partai Islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen.

Pada tahun 1950-an kekuatan dua aliran ini cukup berimbang. Namun, ditambah dengan kekuatan partai non-Islam lain, mereka dapat membentuk kekuatan mayoritas. Meski demikian, gabungan ini tidak cukup membentuk kekuatan menetapkan asas negara di Konstituante dan karena itu berakhir deadlock. Akhirnya Soekarno membubarkan parlemen dan sejumlah partai penting. Otoritarianisme Soekarno dipercaya lebih mencerminkan kemenangan politik abangan. Dengan dibubarkannya Masyumi yang merupakan sayap utama politik santri, itu berarti menghapus secara signifikan polarisasi partai berbasis aliran.

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan. Seperti halnya Soekarno, Soeharto sama-sama abangan dan ini berpengaruh bagaimana ia melihat hubungan Islam dan politik. Pada masa Soeharto, pluralisme politik ditekan sehingga akhirnya hanya ada satu partai yang berkuasa, yakni Golongan Karya.

Dalam politik otoritarian seperti itu, tidak ada jalan lain bagi putra-putri bangsa yang ingin berkarier secara optimal di dunia politik, kecuali bergabung dengan Golkar atau birokrasi. Tak terkecuali mereka yang berlatar belakang santri dan partai-partai Islam. Dalam konteks politik seperti ini tumbuh pemikiran politik Islam yang mempertanyakan keniscayaan kesatuan antara Islam dan politik. Muncul, misalnya, bahwa sekularisasi politik adalah suatu hal yang Islami, bahwa "Islam yes, partai Islam no", bahwa Islam hanya komplemen terhadap negara-bangsa.

Pemikiran politik Islam ini sebagian paralel dengan agenda politik Orba menolak politik berasas Islam. Namun, perbedaannya juga penting. Pemikir politik Islam tumbuh dari tradisi intelektual yang bersemangatkan sintesis antara tafsiran Islam tertentu dan nilai politik demokrasi. Semangat ini yang tidak ada dalam otoritarianisme sekuler Orba.

Soeharto sukses menyingkirkan kekuatan politik aliran santri di satu pihak, tetapi di pihak lain anak-anak santri ini mulai terekspos terhadap ide politik Islam baru yang mengapresiasi pluralisme politik. Anak-anak santri yang ada di Golkar dan birokrasi mendapatkan pembenaran keagamaan. Bersamaan dengan itu, Orba sendiri membuat kebijakan yang kondusif bagi tumbuhnya Islam sosial. Pendidikan agama dan sarana agama ditingkatkan.

Santrinisasi lewat pendidikan kemudian tumbuh. Merekalah yang kemudian banyak mengisi birokrasi dan elite Golkar. Partai Islam kemudian menjadi kehilangan daya tariknya. Kalau di Golkar bisa juga Islami, kenapa harus di partai Islam yang secara politik terbatas ruang geraknya. Politik aliran menjadi memudar. Anak-anak PNI, PSI, Masyumi, NU berbaur dalam satu partai, Golkar.

Apakah sekularisasi politik oleh negara dan kekuatan sosial-intelektual tersebut menghasilkan komitmen politik yang genuine di kalangan anak-anak santri? Pemilu 1999 merupakan kesempatan pertama untuk menjawab masalah tersebut karena pemilu tersebut dinilai cukup demokratis. Apa hasilnya?

Anak-anak santri yang sudah bergabung dengan Golkar tetap berada di sana. Yang tak bergabung dengan Golkar berkiprah di PPP yang berasas Islam, bergabung dengan PDI-P yang berasas Pancasila, membentuk partai Islam baru seperti PBB dan PK, dan partai baru yang tidak berasaskan Islam seperti PKB dan PAN. Kita tahu hasilnya, bahwa tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya memperoleh suara sekitar 14 persen dari total pemilih. Ini sekitar 30 persen lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemilu partai Islam tahun 1955.

Penolakan terhadap partai berasas Islam kelihatannya genuine. Mereka tidak kembali ke partai Islam ketika iklim politik jauh lebih bebas. Mereka tidak ditekan secara politik untuk membangun partai berasas Pancasila.

Signifikansi politik aliran sudah merosot. Anak-anak santri bersama dengan anak nonsantri sebagian besar pendukung partai berasas Pancasila. Kekuatan partai berasas Islam merosot. Pemilu bulan depan besar kemungkinannya mengulang hasil Pemilu 1999: gabungan partai berasas Islam akan mendapat suara belasan persen saja.

No comments:

A r s i p