Monday, April 7, 2008

Transparansi Sepenuh Hati?

Senin, 7 April 2008 | 01:02 WIB

Agus Sudibyo

Indonesia telah mencatatkan diri sebagai negara kelima di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip keterbukaan informasi. Ini terjadi setelah 3 April 2008, DPR mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP.

Proses pembahasan UU KIP ini sendiri merupakan sebuah rekor dalam sejarah legislasi di Indonesia: telah menjadi agenda pembahasan DPR sejak tahun 2000, sempat melewati pergantian pemerintahan tahun 2004, dan baru berhasil diselesaikan delapan tahun kemudian.

Kini Indonesia sejajar dengan India, Jepang, Thailand, dan Nepal dalam hal pelembagaan kerangka hukum bagi pemenuhan hak-hak publik untuk mengakses proses-proses penyelenggaraan kekuasaan. Tentu ini sesuatu yang membanggakan dan dapat mengangkat citra Indonesia yang sedang terpuruk terkait dengan isu-isu korupsi dan transparansi pemerintahan.

Cek kosong

UU KIP secara komprehensif mengatur kewajiban badan/pejabat publik untuk memberikan akses informasi terbuka dan efisien kepada publik. Kewajiban untuk memberikan informasi, dokumen, dan data diintegrasikan sebagai bagian inheren dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi pelanggarannya.

UU KIP juga mengatur klasifikasi informasi sedemikian rupa sehingga memberikan kepastian hukum tentang informasi-informasi apa saja yang wajib dibuka kepada publik dan informasi apa saja yang bisa dikecualikan dalam periode tertentu. Di sini, secara teoretis UU KIP memberikan solusi bagi kalangan jurnalis, peneliti, dan masyarakat awam yang selama ini selalu menghadapi klaim rahasia negara, rahasia instansi, atau rahasia jabatan ketika mengakses dokumen-dokumen di badan publik.

Namun, UU KIP juga tak luput dari kelemahan. Di antaranya adalah adanya kriminalisasi terhadap publik sebagai pengguna informasi. Pasal 51 UU KIP menyatakan, ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah.” Merujuk pada praktik di negara lain, UU KIP seharusnya hanya meregulasi akses informasi publik, bukan penggunaan informasi publik. Maka, tidak lazim adanya kriminalisasi terhadap penggunaan informasi publik. Kriminalisasi hanya lazim untuk tindakan-tindakan menutup atau merusak akses informasi publik dan tindakan membuka informasi yang dikecualikan secara ilegal.

Tanpa norma yang jelas, pasal itu juga seperti cek kosong yang dapat digunakan pemegang otoritas untuk mendakwakan penggunaan informasi publik secara ilegal. Wajar jika pasal ini memantik reaksi penolakan dari masyarakat dan media. Namun, bisa dipahami pula jika DPR tidak berhasil menghapus pasal ini. Pemerintah menuntut, jika pasal 51 di atas dihapuskan, harus dihapuskan pula pasal-pasal sanksi pidana bagi badan/pejabat publik yang melakukan pelanggaran akses informasi. Sebuah tuntutan yang tidak masuk akal dan hanya akan membuat UU KIP tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kedudukan badan publik dan publik jelas tidak sejajar dalam UU KIP. Yang pertama penerima mandat pemerintahan, yang kedua pemilik mandat. Yang pertama pemegang kewajiban, yang kedua pemegang hak. Maka, mengherankan sikap keras kepala pemerintah untuk menyamaratakan rumusan sanksi untuk publik dan badan publik sebagaimana terakomodasi dalam Bab Sanksi UU KIP yang telah disahkan. Ternafikan bahwa UU KIP adalah sebuah kerangka hukum untuk mereformasi birokrasi guna mewujudkan good and clean governance, bukan untuk menertibkan hak publik untuk mengontrol akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Lembaga regulator

Persoalan lain adalah Komisi Informasi sebagai lembaga regulator dan lembaga penyelesaian sengketa akses informasi publik. Pada draf awal RUU DPR, diproyeksikan Komisi Informasi sebagai lembaga negara independen dan representasi masyarakat dalam kerangka check and balances kekuasaan. Namun, bagaimana membayangkan independensi itu jika Pasal 25 UU KIP menegaskan, ”keanggotaan Komisi Informasi yang berjumlah tujuh orang harus mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat”?

Pasal 30 UU KIP juga menegaskan, ”rekrutmen calon anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah secara terbuka, jujur, dan obyektif”. Inilah hasil kompromi yang berangkat dari sikap reluctant pemerintah terhadap keberadaan Komisi Informasi sejak awal pembahasan RUU KIP.

Proses pembahasan RUU KIP yang panjang dan berbelit-belit pada akhirnya menunjukkan kita sesungguhnya belum benar-benar sepenuh hati memproyeksikan diri menuju rezim keterbukaan. Ini bukan hanya merujuk pada konservatisme pemerintah dalam membahas pasal demi pasal RUU KIP dan sikap kompromistis DPR terhadap tuntutan-tuntutan pemerintah, tetapi juga tercermin dari animo dan sensibilitas unsur masyarakat: Ornop, komunitas akademik, asosiasi-asosiasi profesi, bahkan pers yang terkesan ”ala kadarnya” terhadap pembahasan RUU KIP.

Dengan sikap kritis dan waspada, UU KIP tetap perlu disambut. Undang-undang ini, bagaimanapun, cukup strategis untuk melengkapi perangkat-perangkat hukum pemberantasan korupsi yang telah ada: UU Anti Korupsi, UU KPK, UU Perlindungan Saksi, dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

No comments:

A r s i p