BUDIARTO SHAMBAZY
Rocky Gerung menulis ”Bersama Kita Bisa, Berpisah Pun Kita Biasa” di harian ini 5 April. Popularitas Presiden SBY berdasarkan survei masih unggul meski opini publik bukan dasar legitimasi.
Jika sampai kini SBY masih melakukan ”konsolidasi politik”, Wapres JK telah lama memerintah. Rocky, seperti kata banyak pakar, mensinyalir SBY-JK pecah kongsi dan mungkin tak akan berduet lagi.
Dan, kalaupun begitu kondisi riilnya, itu tak apa-apa. Bung Hatta mundur dari jabatan wapres tahun 1956, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menolak jadi calon wapres Pak Harto tahun 1978.
Analisis ”punditocracy” yang disajikan Rocky dan pakar-pakar lain tentang skenario Pilpres 2009 makin dibutuhkan. Mereka, ibaratnya, membuka mata dan telinga lebih dari 100 juta calon pemilih.
Beruntunglah capres-capres serta calon wapres masing-masing dapat masukan sedini mungkin. Lebih baik cepat-cepat mengukur diri daripada bersikap ”malu-malu tetapi mau”.
Dan tak perlu malu—apalagi gusar—kalau tahu tak ada gunanya untuk maju. Seperti kata perumpamaan, ”Janganlah memakai logika analog di zaman digital ini”.
Media massa sering menampilkan hasil berbagai jajak pendapat. Kalau diurutkan, capres terpopuler berturut-turut SBY, Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, JK, Wiranto, dan seterusnya.
Di Amerika Serikat (AS) tak sedikit jajak pendapat keliru meramal persentase keunggulan Hillary Clinton atas Barack Obama. Ramalan Hillary unggul dua digit malah berbalik jadi kemenangan Obama sebanyak dua digit persentase.
Majalah Time melédék kesalahan fatal itu dengan cerita sampul berjudul ”It’s the Voters, Stupid!” Di sini yang kelak menentukan kemenangan adalah sekitar 70 persen rakyat pedesaan—bukan Anda ”orang kota”.
Beberapa waktu lalu kepada Agung Laksono dan Pramono Anung saya usulkan Golkar dan PDI-P pakai jajak pendapat internal—bukan pesanan. ”Orang dalam” lebih jujur membantu ketimbang ”orang luar” yang punya target politis/bisnis.
Andaikan JK tak mau berduet lagi, itu bukan hari kiamat bagi SBY karena ia punya lebih dari satu calon wapres alternatif dari parpol atau nonparpol. Apalagi SBY sendirian saja sudah amat populer.
Masih ada yang berspekulasi, duet ini agar tetap dipertahankan karena mereka punya kans terbesar untuk menang. Pertanyaannya adalah apakah JK mematok target lebih tinggi daripada sekadar wapres?
Jujur saja JK menawarkan leadership yang unik. Di tengah keringnya model kepemimpinan di negeri ini, ia tampil serba apa adanya—justru itulah kekuatannya.
Cukup senang menyaksikan JK selalu ada di mana-mana. Ia jelas bukan tipe pemimpin yang gemar tebar pesona, doyan tarian poco-poco, atau berjoget kayak undur-undur.
Mengutip kalimat pamungkas Pak Ali Moertopo, ”Whether you like it or not”, JK cukup memuaskan selera pasar. Dan ia bukan golongan ”L4” (Lu Lagi Lu Lagi) karena belum pernah memangku jabatan RI-1.
Begitu juga dengan Sultan Hamengku Buwono X dan Wiranto yang bukan golongan ”L4”. Alhasil, mereka masuk golongan ”G3” (Giliran Gua, Gitu!).
Banyak sekali yang cocok untuk mengisi posisi calon wapres—mungkin malah sudah berlebih. Namun, patut digarisbawahi bahwa peranan calon wapres untuk 2009 jauh lebih strategis dibandingkan capres.
Ia mengisi perimbangan atau kevakuman politis dan kultural yang tak dimiliki capres. Dan posisi itu membuka memungkinan seluas-luasnya bagi beraneka latar belakang calon wapres, seperti profesi, etnis, agama, ataupun usia.
Pilpres 2009 justru semakin menarik dan menentukan juga karena menjadi kesempatan terakhir bagi generasi capres yang berusia 60 tahunan. Dengan begitu, periode 2009-2014 sekaligus pula menjadi kawah candradimuka bagi para politisi muda.
Ada baiknya SBY, Megawati, Sultan Hamengku Buwono X, ataupun Wiranto membuka pintu lebar-lebar bagi generasi 40-50 tahunan di kabinet. Alih generasi tanggung jawab paling serius yang diemban mereka demi masa depan bangsa.
Kesimpulannya, bangsa ini masih mempunyai putra terbaik untuk memimpin. Ada seorang pembaca bertanya, ”Apakah masih ada cahaya di ujung terowongan sana?”
Jangan terlalu optimistis karena lama-kelamaan Anda berubah jadi pribadi yang narsistis. Sebaliknya, tak perlu pesimistis karena itu tandanya Anda pribadi yang tidak humoristis.
Konon memelihara rasa humor lebih sukar dibandingkan memelihara ikan koi. Soalnya syarat utama jadi humoris lebih berat ketimbang jadi capres di negeri ini.
Coba ambil metafora orang bercermin. Ketika berkaca orang yang optimistis yang berkacamata minus bilang, ”Wah, saya pasti lebih seksi kalau enggak pakai kacamata lagi.”
Sebaliknya, orang pesimistis sudah emoh berkaca lagi. ”Ah, cermin itu kekecilan. Saya butuh cermin raksasa, tahu!” sergahnya.
Lain lagi orang yang narsistis alias pemuja diri sendiri. Ia tak henti bercermin, bahkan melewati kaca etalase toko pun sempat-sempatnya stop untuk mematut diri.
Beda dengan orang yang realistis. Ia mencari kaca yang utuh, yang ”mencerminkan” dirinya sendiri, dan tak malu berkaca tanpa sehelai benang pun.
Orang yang realistis berprinsip semua politisi, termasuk capres, kadang kala ngibul. Kalau enggak percaya, coba minta tolong mereka jualan barang-barang bekas milik Anda, pasti cepat laku deh.
No comments:
Post a Comment