Saturday, April 19, 2008

Mencari Pemimpin Republik

Sabtu, 1 Maret 2008 | 02:37 WIB

B HERRY PRIYONO

Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama bagi kerumunan gejala sebab ia cuma hasil sampingan dari kerumunan tindakan individual atau sektoral yang kita lakukan. Mungkin itu yang sedang terjadi pada cita-cita tentang Indonesia dewasa ini.

Apabila mudah kita temukan pemimpin baru dalam bisnis, teknologi, media, seni, atau akademik, namun sulit menemukan pemimpin baru Republik, mungkin lantaran Republik jauh melampaui bidang sektoral seperti bisnis, teknologi, media, seni, akademik, atau bahkan gabungan itu semua. Tentu selalu ada guna membandingkan keduanya, pun seandainya itu hanya sebagai cara mengimbau agar seorang pemimpin Republik ingat bahwa hidup sebuah Republik berjalan di atas taman keragaman berbagai sektor kegiatan yang punya ciri sendiri.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat gemar mengatakan bahwa pemimpin Republik, baik nasional maupun lokal, sebaiknya berlatar pebisnis (Kompas, 22/11/2006). Tentu ia punya alasan yang dibuat masuk akal, juga seandainya kemasukakalan itu sekadar hasil perpanjangan egonya. Gagasan yang sama validnya diajukan oleh Butet Kertaradjasa dengan bilang bahwa pemimpin Republik sebaiknya berlatar seniman.

Pemimpin Republik—dan dengan itu juga kepemimpinan Republik—dipandang jauh lebih luas dan melampaui corak khusus sektor seperti bisnis, seni, teknologi, akademik, media, dan seterusnya. Karena itu, kebiasaan menyamakan secara kategoris bisnis dan Republik ibarat memaksa kita menganggap sebatang pohon sebagai hutan. Republik punya kategori berbeda dari dunia akademik, seni, media, teknologi, dan seterusnya.

Lalu, di mana letak bedanya? Catatan kecil ini tak bermaksud menjawab pertanyaan mahabesar itu. Ia hanya mengiris bagian sangat kecil dari pertanyaan itu sebagai titik berangkat, terutama yang menyangkut implikasinya bagi pencarian pemimpin Republik. Perkenankan saya mengajukan irisan kecil problematik itu dalam pertanyaan: bila Republik jauh melampaui bidang sektoral hidup-bersama seperti bisnis, teknologi, seni, media, ataupun akademik, apa implikasinya untuk pemimpin dan kepemimpinan Republik?

Kesempitan sektoral

Mulailah dari soal kecil. Mengapa pemimpin yang sukses di bidang tertentu tak serta-merta cocok jadi pemimpin Republik? Jawabnya dua lapis. Pertama, dengan mengandaikan Republik jauh lebih besar dan melampaui bidang sektoral yang spesifik, cara-berpikir seperti yang biasa diajukan Kalla adalah bagian kesesatan elementer pars pro toto. Ini sesat logika paling sederhana. Kedua, lebih serius dari lapis pertama, cara-berpikir itu mengabaikan perbedaan raison d’être antara Republik dan bidang sektoral yang spesifik. Ambil satu contoh. Apa alasan adanya tata-pengadilan (hukum)? Tentu: pengelolaan tata kesamaan hukum bagi keadilan, dan bukan untuk dakwah atau mengeruk laba. Penerapan prinsip bisnis dalam kinerja tata-pengadilan akan berakibat ”keadilan” selalu hanya dimenangkan oleh mereka yang mampu membayar paling tinggi sebab bisnis beroperasi dengan prinsip keramat ”pembayar tertinggi adalah pemenang”. Dengan itu, keadilan tak lagi soal hak, tetapi daya-beli. Akhirnya, tata-pengadilan kehilangan alasan adanya.

Keragaman raison d’être bidang sektoral itu indah dan sesungguhnya dapat bekerja sebagai pencegah kecenderungan totalitarianisme, entah totalitarianisme oleh doktrin agama, politik, atau bisnis. Keragaman raison d’être bidang sektoral itu dapat dipandang sebagai cerminan institusional keragaman antropologis manusia sendiri. Jadi, ada semacam paralel antara bidang sektoral tata hidup-bersama (pendidikan, ekonomi, budaya, dan seterusnya) dan ragam dimensi pribadi manusia (homo educationis, homo oeconomicus, homo culturalis, dan seterusnya).

Pokok di atas punya implikasi jauh. Manusia pasti seorang homo oeconomicus, tapi homo oeconomicus pasti bukan keseluruhan manusia. Begitu pula, sebuah Republik pasti mencakup bisnis, pendidikan, dan seterusnya, tapi bisnis, pendidikan, dan seterusnya pasti bukan keseluruhan hidup Republik. Inilah pokok paling sederhana yang perlu dipegang oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin Republik.

Lalu apa alasan adanya sebuah Republik? Bagi RI, itu sudah jelas dalam Pembukaan UUD 1945: ”membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Cukup jelas, alasan adanya RI tak dalam kategori sama dengan dimensi sektoral. Pokok ini punya implikasi lanjut bagi kualitas pemimpin Republik.

Mengatasi ”ceteris paribus”

Ceteris paribus adalah ungkapan Latin yang harfiah berarti ”dengan mengandaikan hal-hal lain sama/konstan”. Ceteris paribus biasa dipakai dalam literatur bahasa Latin untuk mengatakan atau menjelaskan sesuatu dengan menangguhkan faktor lain yang mungkin terkait, namun tak diperlakukan sebagai penjelas atau penjelasan pada momen itu.

Contoh: mengapa mutu kebanyakan acara televisi di Indonesia begitu rendah? Andaikan kualitas rendah acara televisi diberi simbol Y. Andaikan pula, berdasarkan studi awal, seorang peneliti menemukan lima kemungkinan penjelas. Misalnya: selera kultural para pembuat program yang rendah (X1), tidak ada badan standar mutu acara televisi dengan otoritas regulatif (X2), kriteria rating didasarkan pada histeria suka dan tidak-suka (X3), acara televisi ditentukan oleh iklan (X4), kultur voyeuris para pembuat acara televisi (X5), dan seterusnya (Xn). Kita tidak tahu apakah faktor penjelas itu memang menjelaskan Y. Karena keterbatasan, sang peneliti coba menjelaskan Y hanya dengan X2 serta X4, dan dengan itu menangguhkan X1, X3, X5, dan Xn. Dalam ungkapan formal, Y dijelaskan oleh X2 dan X4, ceteris paribus X1, X3, X5, dan Xn. Masalahnya, dalam dunia riil, penyebab rendahnya mutu acara televisi tidak mengenal ceteris paribus.

Contoh di atas terdengar teknis. Yang mau diajukan adalah pokok sederhana berikut. Analog dengan itu, pemakaian cara-berpikir bisnis, atau cara-berpikir teknologi, ataupun yang lain selalu merupakan bentuk ceteris paribus terhadap semesta hidup Republik. Implikasinya sangat besar bagi pemimpin atau calon pemimpin Republik. Ia pemimpin Republik jika, dan hanya jika, mampu mengatasi ciri ceteris paribus cara-berpikir sektoral tiap bidang.

Tentu pokok itu tak berarti pendekatan sektoral tak berguna bagi diagnosis dan solusi berbagai masalah yang mendera Republik. Justru sebaliknya, dinamika hidup dan konstelasi masalah Republik yang riil berisi pertautan tak terpisahkan antara gugus-gugus tersebut—tanpa ceteris paribus. Itu juga sama sekali tak berarti seorang pemimpin Republik harus ahli dalam semua atau bahkan satu bidang. Namun, cukup pasti, kedalaman, keluasan, dan kepekaan wawasan seorang pemimpin Republik adalah syarat mutlak. Ia disebut pemimpin Republik persis karena mengerti kesempitan cara-berpikir sektoral bidang sekaligus mampu melampauinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedalaman, keluasan, dan kepekaan pemimpin Republik merupakan syarat mutlak, namun itu tak identik dengan kepandaian akademik, apalagi ilmiah. Kapasitas melampaui ceteris paribus itu hanya terasa bila kita mengerti bahwa perangkat utama kepemimpinan Republik adalah kebijakan publik.

Penjaga kebijakan publik

Sesuatu disebut ”kebijakan publik” bukan karena diundangkan atau karena diberlakukan untuk semua warga, tetapi karena substansinya menyangkut jatuh-bangun kelangsungan Republik. Terdengar sederhana, namun pokok ini dalam banyak hal menentukan apakah kepemimpinan Republik mampu membawa kita membentuk Indonesia sebagai bangsa.

Berbicara tentang Republik selalu mengandaikan ada cita-cita tentang tata hidup-bersama. Itu juga berarti, tak ada guna bicara Republik bila kita tak mengandaikan ada cita-cita hidup-bersama. Cuma, cita-cita itu berisi tegangan abadi. Di satu pihak kita ingin bebas melakukan apa pun yang kita kehendaki dengan cara sesuka kita. Di pihak lain cita-cita hidup-bersama hanya mungkin terwujud jika, dan hanya jika, tersedia cara mengoordinasi kebutuhan semua warga yang menjadi anggota tata hidup-bersama. Itulah tegangan abadi antara individualitas dan sosialitas. Mengelola tegangan antara keduanya bagi pencapaian persis merupakan raison d’être kebijakan publik.

Dapat diringkaskan: selama kita hendaki ada Republik, selama itu pula kita butuh kebijakan publik. Seorang yang lewat proses politik dipilih sebagai pemimpin Republik punya ”kebijakan publik” sebagai perangkat utama menjalankan kepemimpinan. Sampai di sini semua terdengar indah, tetapi keindahan sering jadi induk kekecewaan. Berikut ilustrasi.

Beberapa tahun ini kita cemas dengan luasnya kemiskinan dan pengangguran. Dengan menyadari tarik-ulur data orang miskin di Indonesia, kita tak keliru total memakai data orang miskin dan ambang-miskin berjumlah 108,78 juta (Bank Dunia 2006). Berbagai perdebatan atas kebijakan ekonomi dikaitkan dengan upaya memecahkan masalah kemiskinan kolosal ini. Itu mulia. Dalam rangka hidup Republik, alasan adanya sektor ekonomi memang untuk mewujudkan kesejahteraan material semua warga.

Strateginya berkisar pada dua arus. Pertama, kebijakan ekonomi sibuk diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi para investor besar dan global melalui investasi langsung. Maksudnya, agar investasi besar-besaran oleh perusahaan raksasa diharapkan mengurangi orang miskin melalui penyerapan jumlah besar penganggur. Kedua, sudah beberapa tahun berlangsung kesibukan slogan mengarahkan kebijakan pada pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Cuma, jalur kedua ini dipahami secara sempit sebagai urusan kredit modal bagi UMKM. Kutak-kutik kebijakan pun difokuskan pada fungsi intermediasi bank. Ketika bicara tentang bank, yang dimaksud adalah perbankan modern.

Ada kebangkrutan cara-berpikir tentang kebijakan publik yang terlibat dalam perkara itu. Pertama, mengandalkan solusi masalah kemiskinan 108,78 juta orang kepada investasi perusahaan besar sama dengan menyerahkan hidup-mati 108,78 juta orang kepada kebaikan hati perusahaan besar. Dalam corak globalisasi dewasa ini, bahkan sejak awal kita sudah tahu, solusi itu akan gagal. Kedua, kendati keberadaan perusahaan besar bisa sangat berperan sebagai ”faktor penarik” bagi penciptaan ekonomi Indonesia menuju korporatisasi, kita mengerti strategi itu akan gagal memecahkan pengangguran dan kemiskinan dalam skala kolosal. Ketiga, dilihatnya kemacetan UMKM terutama sebagai soal kegagalan kredit dan fungsi intermediasi perbankan modern sesungguhnya menunjukkan bahwa UMKM dipahami secara instrumental dari cara-berpikir serta tujuan korporatisasi, dan bukan sebagai cara memberdayakan 108,78 juta orang.

Jadi, pada akhirnya strategi ekonomi yang ditempuh untuk memecahkan masalah kolosal kemiskinan dan pengangguran bukan strategi UMKM, tetapi korporatisasi. Bahkan, hanya dengan mendasarkan diri pada angka 108,78 juta orang miskin dan ambang-miskin, sudah jelas sejak awal strategi itu tak akan berhasil. Strategi itu sama sekali bukanlah kebijakan-publik ekonomi, melainkan siasat korporatokrasi (pemerintahan oleh perusahaan-perusahaan besar). Dalam lautan kemiskinan dan ambang-kemiskinan di Indonesia, siasat korporatokrasi bukanlah kebijakan publik sebab ia bukan kebijakan, apalagi publik. Kebijakan publik adalah perangkat utama di tangan pemimpin Republik, namun tampak jelas kebijakan publik dan kepemimpinan Republik selalu dilaksanakan dalam perangkap kekuasaan.

Dalam perangkap kekuasaan

Selain keutamaan manusiawi lain yang biasa kita dapati pada negarawan unggul, kemampuan melampaui kesempitan sektoral dan mengatasi ceteris paribus merupakan dua kemampuan paling penting bagi pemimpin Republik. Mengapa? Karena pelaksanaan kebijakan publik berlangsung dalam simpang-siur tualang kekuasaan yang dengan mudah dapat melumpuhkan pemimpin Republik.

Dalam simpang-siur itu beroperasi kekuasaan para preman, cukong, militer, makelar, spekulan, fundamentalis agama, aktivis, akademisi, politisi, media, pelagak, pengusaha, konglomerat, tuan keuangan global, kawanan massa, dan seterusnya. Masing-masing atau beberapa kombinasinya bersikeras membawa Republik ke arah kepentingan sendiri. Begitu cerdik cara sosok-sosok itu beroperasi sehingga pemimpin Republik dengan mudah tersandera dalam kelumpuhan. Kelumpuhan itu biasanya tecermin dalam ketaktegasan mengambil keputusan. Kecenderungan sang pemimpin Republik tersandera sangat nyata dan lewat proses itu berbagai keputusan kehilangan status sebagai kebijakan publik. Korporatokrasi yang diklaim sebagai kebijakan-publik ekonomi dalam contoh di atas merupakan gejala ketersanderaan yang luas terjadi di bidang lain: dari pendidikan sampai tata kota, dari kasus lumpur Lapindo sampai penggundulan hutan.

Hal di atas juga mengisyaratkan: seorang pemimpin Republik akan selalu terlibat dengan soal kekuasaan. Atau, andai ia tak mau, kekuasaan akan selalu berurusan dengan pemimpin Republik. Ia pemimpin Republik justru karena kekuasaan yang paling besar untuk mengelola Republik kita berikan kepadanya, dan bukan kepada para cukong, pengusaha, ataupun pemimpin agama. Dalam banyak hal dapat dikatakan, kepemimpinannya adalah kisah tentang bagaimana ia memakai kekuasaan paling besar yang kita berikan kepadanya untuk membentuk Republik. Maka, ketika kita menyaksikan banyak keputusannya ditawan oleh sosok kekuasaan lain, ia tak mengerti bahwa kita memberikan kekuasaan paling besar kepadanya justru supaya ia mampu melakukan pemihakan.

Pemihakan biasanya dituntut saat terjadi konflik kepentingan antara beberapa pihak yang ditandai oleh asimetri kekuasaan yang tajam. Dalam contoh tentang kebijakan ekonomi di atas, cukup pasti hubungan antara 108,78 juta orang miskin/ambang-miskin dan perusahaan besar ditandai asimetri tajam. Perusahaan punya akses lebih besar dibandingkan dengan 108,78 juta orang miskin/ambang-miskin dalam menentukan corak kebijakan ekonomi. Maka, tidak mengherankan bila arah pembangunan ekonomi dikuasai siasat korporatokrasi. Tugas pemimpin Republik adalah melakukan tindakan-afirmatif bagi 108,78 juta orang dalam relasi asimetris dengan para korporatokrat.

Pokok ini membawa kita ke argumen utama yang ingin diajukan refleksi kecil ini: pemimpin Republik adalah orang yang kita beri otoritas tertinggi menyuntikkan agenda kesengajaan dalam simpang-siur tindakan individu atau sektor yang pada dirinya tak pernah dimaksudkan secara sengaja untuk membentuk negeri ini sebagai bangsa dan RI.

Membentuk Indonesia

Ketika bangun pagi dan buru-buru pergi ke kantor, kita ingin segera sampai di kantor mengerjakan tugas; paling jauh dibayangi tujuan agar kita tetap punya pekerjaan yang menghasilkan upah/gaji buat menyangga hidup kita dan keluarga. Cukup pasti, tindakan itu dilakukan bukan dengan maksud sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa. Ciri sentrifugal tindakan itu begitu rupa sehingga arus kegiatan sehari-hari yang kita lakukan membentuk berlaksa interaksi yang terjadi tanpa maksud lain kecuali pemenuhan kebutuhan diri. Itulah genius yang muncul dari spontanitas dan kebebasan. Dalam bahasa akademik, proses itu disebut ”sistem kebebasan alami”. Namun, juga segera jelas bahwa berlaksa tindakan itu tidak dengan sendirinya menciptakan tatanan Republik. Atau, semua itu tidak dengan sendirinya membentuk Indonesia sebagai bangsa.

Antara ciri sentrifugal berlaksa tindakan individu dan terbentuknya Indonesia sebagai bangsa terbentang jurang menganga. Tidak juga argumen laissez-faire yang paling ketat pun mampu membuktikan kaitan itu, karena tindakan sektoral individual dan Indonesia sebagai bangsa adalah dua hal yang kategoris berbeda. Kesesatan kaum libertarian terletak dalam pandangan bahwa komunitas politik seperti bangsa akan terbentuk dengan sendirinya dari ketaksengajaan tindakan bebas dan spontan tiap individu. Itu sebuah fatamorgana.

Republik dan pembentukan Indonesia sebagai bangsa adalah proyek yang menuntut agenda kesengajaan. Itulah tugas paling pokok seorang pemimpin dan kepemimpinan Republik. Semua bakat dan kemampuan yang diperlukan melakukan tugas yang tertulis di atas akan sia-sia bila tak diarahkan jadi agenda kesengajaan demi membentuk Indonesia sebagai bangsa. Tanpa kesungguhan tugas menyuntikkan agenda kesengajaan, Indonesia tak akan terbentuk sebagai Republik dan bangsa. Lugasnya, Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama bagi kerumunan gejala sebab ia cuma hasil sampingan kerumunan tindakan individual atau sektoral yang kita lakukan. Mungkin itu sedang terjadi pada cita-cita tentang Indonesia dewasa ini.

Kita tak tahu persis siapa lagi besok pagi menyatakan diri maju dalam Pemilu 2009. Siapa pun itu, ada guna kita mengukur gerak-geriknya menurut kriteria yang tertulis di atas. Mampukah ia melampaui kesempitan sektoral? Mampukah ia mengatasi ceteris paribus? Penjaga andal kebijakan publikkah ia? Pahamkah ia sepenuhnya bahwa kekuasaan besar di tangannya kita berikan untuk melakukan affirmative actions bagi kaum yang paling membutuhkan? Mampukah ia mengubah keempat syarat itu menjadi agenda kesengajaan membentuk Republik dan Indonesia sebagai bangsa?

Setelah membaca sketsa kecil ini, barangkali kita merasa betapa sulit jadi pemimpin Indonesia. Sesungguhnya syarat yang tertulis di atas tak lebih dari suara akal sehat biasa. Ia belum menyentuh standar paling unggul. Bila syarat paling sederhana itu tampak terlalu tinggi, mungkin bukan karena semua itu memang terlalu tinggi, melainkan karena kondisi Indonesia dan kualitas para pemimpin tua yang ada kini telah jatuh sedemikian rendah.

Itulah mengapa masa depan Indonesia laksana lorong panjang yang menganga tanpa jelas menuju ke mana. Ia sekadar nama yang nyaris kehilangan alasan adanya.

B Herry Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

[Disampaikan dalam seminar akhir tahun Lingkar Muda Indonesia dan Kompas di Bentara Budaya Jakarta, 18 Desember 200]

No comments:

A r s i p