Saturday, April 19, 2008

Survei Akademisi

Yang Pintar Segan Jadi Pemimpin

Kompas/Lasti Kurnia / Kompas Images
Hingga kini belum muncul figur pemimpin yang kredibel untuk menggarap dengan serius problem penegakan hukum, pengangguran dan kemiskinan, serta persoalan lemahnya sumber daya manusia. Padahal di mata kalangan akademisi, problem tersebut menjadi perhatian utama yang harus menjadi fokus kerja pemimpin negara saat ini. Kalangan akademisi tengah berkumpul di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, awal Maret 2008.
Sabtu, 19 April 2008 | 02:10 WIB

PALUPI PANCA ASTUTI

Di mata kalangan akademisi, problem penegakan hukum, pengangguran dan kemiskinan, serta persoalan lemahnya sumber daya manusia menjadi perhatian utama yang harus menjadi fokus kerja pemimpin negara saat ini. Sayangnya, hingga kini belum muncul figur pemimpin yang kredibel untuk menggarap dengan serius problem tersebut, termasuk dari kalangan pendidikan.

Kesimpulan tersebut mengemuka dari hasil survei Litbang Kompas yang mewawancarai 223 responden dari kalangan akademisi. Ketika kepada setiap responden diajukan pertanyaan tentang masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, masalah penegakan hukum mendapat respons sebanyak 54,1 persen, problem kesejahteraan dan kemiskinan 47,7 persen, dan kualitas sumber daya manusia 40,5 persen.

Maraknya praktik KKN yang dilakukan mulai dari level masyarakat terendah hingga para pemegang kekuasaan di negeri ini mengaburkan tingkat kepercayaan responden terhadap upaya penegakan hukum. Peringkat indeks korupsi Indonesia yang selalu berada di level terburuk kian menegaskan lambatnya perbaikan di bidang hukum.

Problematik berikutnya adalah pengangguran dan kemiskinan yang masih dialami sejumlah besar masyarakat Indonesia. Setelah hampir sepuluh tahun reformasi bergulir, memang belum tampak tanda-tanda pemberantasan kemiskinan dan penanganan problem pengangguran menjadi lebih baik. Harga barang kebutuhan yang terus meningkat, sementara pendapatan stagnan mengakibatkan daya beli masyarakat rendah.

Kualitas sumber daya manusia adalah permasalahan terbesar ketiga setelah ekonomi dan penegakan hukum. Dikatakan, buruknya mutu pendidikan Indonesia telah menghasilkan manusia-manusia yang tidak hanya memiliki tingkat intelektualitas yang kurang, tetapi juga minim keterampilan dan profesionalisme yang rendah.

Selain persoalan di atas, beberapa problem lain seperti kualitas kepemimpinan, politik (mulai dari buruknya sistem pemerintahan hingga rendahnya nasionalisme) juga menjadi perhatian responden (lihat tabel).

Sikap apolitis

Ketertarikan kalangan akademisi, sebagai modal paling dasar untuk terjun ke politik praktis, tak begitu kuat tergambar. Hanya 13,9 persen responden yang tertarik untuk terjun ke dunia politik praktis. Terbanyak, 84,8 persen, justru tidak tertarik untuk mendalami bidang ini.

Keraguan juga masih membayangi benak kalangan akademisi manakala kepada mereka dihadapkan pada soal kemampuan dan stok pemimpin dari kalangan mereka. Di satu sisi, mereka merasa yakin, ditunjukkan oleh 75,8 persen responden, bahwa kalangan mereka memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin bangsa. Namun, di sisi lain, 80 persen dari mereka belum tahu siapa yang paling cocok untuk menjadi presiden dari kalangan akademisi.

Akan halnya figur kepemimpinan, karakter utama yang diharapkan dari calon pemimpin adalah kepribadian positif. Sebanyak 40,8 persen responden menginginkan pemimpin yang memiliki integritas moral yang baik atau berkepribadian positif, yakni yang memiliki sifat jujur, adil, arif, bijaksana, dan rendah hati. Kepribadian positif itu harus dibarengi dengan kompetensi dan dedikasi tinggi (38,6 persen). Berikutnya, sifat seorang negarawan yang visioner, dapat menjadi teladan, serta mampu berdiri di atas semua golongan adalah syarat ketiga yang disebutkan responden (17,9 persen).

Figur pilihan

Sejumlah nama memang dirujuk oleh kalangan akademisi yang menjadi responden, tetapi belum muncul figur baru yang cukup kuat. Amien Rais, meskipun sejak Pemilu 1999 lebih lekat dengan dunia politik praktis, diakui oleh 7,2 persen responden dapat mewakili calon pemimpin dari dunia akademisi.

Belum mengerucutnya dukungan atau pilihan kaum akademisi pada sosok baru bisa dipahami mengingat rezim pemilu memang berpotensi membuat popularitas kalangan ini tidak begitu menonjol di arena politik praktis. Dunia politik saat ini lebih identik dengan dunia partai, terlebih setelah partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk menuju kursi kepemimpinan mulai dari level kabupaten/ kota, provinsi hingga presiden.

Sistem perekrutan presiden yang memanfaatkan jalur kepartaian sebagai pintu masuk calon, tidak memberi peluang cukup besar kepada mereka yang berada di luar partai. Akibatnya, banyak calon potensial yang rekam jejaknya dikenal cukup baik kecil peluangnya untuk dapat dicalonkan ataupun mencalonkan diri sebagai presiden, kecuali bersedia masuk dalam sistem kepartaian. Cendekiawan sekelas mendiang Nurcholish Madjid pun terpental ketika dihadapkan pada tata cara dunia partai.

Dalam survei ini, muncul beberapa nama yang cukup diakui memiliki kaitan erat dengan dunia akademis dan dianggap layak untuk memimpin bangsa Indonesia. Meskipun hanya disebutkan oleh sejumlah kecil responden, nama-nama tersebut dipandang memiliki kedekatan dengan dunia akademis. Mereka adalah Gumilar Rusliwa Somantri, Din Syamsuddin, Emil Salim, Muladi, A Syafi’i Ma’arif, Syamsul Ma’arif, Ichlasul Amal, Imam B Prasodjo, dan lain-lain. Gumilar adalah tokoh muda yang mulai dikenal namanya setelah menjabat sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) dalam usia yang relatif muda, 44 tahun. Dalam survei ini, namanya menduduki peringkat kedua terbanyak disebutkan responden setelah Amien Rais.

Berbeda dengan tokoh dari kalangan akademik, preferensi responden kepada tokoh politik umum relatif lebih mengerucut pada figur tertentu. Meskipun 71,8 persen belum bisa memastikan siapakah yang pantas menjadi presiden dalam Pemilu 2009, peluang Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali mencalonkan diri menjadi calon presiden tampaknya masih terbuka lebar. Setidaknya, pilihan dari kalangan terdidik lebih banyak tertuju kepada figur tokoh berlatar belakang militer ini daripada tokoh-tokoh lain. Padahal, dari segi kinerja, kualitas pemerintahan Yudhoyono dianggap buruk oleh 49,8 persen responden dari kalangan akademik ini.

Tokoh politik berikutnya yang berpotensi menjadi ”kuda hitam” untuk dipilih oleh kalangan akademisi adalah Sultan Hamengku Buwono X. Nama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini sebetulnya sudah sering mencuat sebagai tokoh nasional, terlebih setelah ia ikut dalam pertemuan Ciganjur menjelang jatuhnya kekuasaan Soeharto. Dalam beberapa jajak pendapat Kompas sebelumnya, nama Sultan pun cukup banyak disebut. Dalam jajak pendapat Oktober 2007, ia dan Amien Rais menempati peringkat ketiga setelah Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Bahkan, dalam penilaian terhadap kelayakan, Sultan dinilai layak oleh 61,3 persen responden. Sekarang sosoknya makin berkibar setelah menyatakan tidak akan memperpanjang jabatan sebagai gubernur, terlebih setelah ada tanda-tanda beberapa elite partai memperbincangkannya untuk masuk dalam bursa capres 2009.
(PALUPI PANCA ASTUTI/ Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p