Thursday, April 17, 2008

Gusti Ora Sare

Oleh Sukardi Rinakit

KEMENANGAN pasangan Hade di Jawa Barat, sama seperti kemenangan Ismet - Rano di Tangerang, adalah sinyal bahaya bagi partai-partai politik utamanya partai-partai besar apabila tidak segera melakukan langkah-langkah penyesuaian baik dalam strategi penggalangan massa maupuan rekrutmen kader.

Fenomena itu dalam batas-batas tertentu, menegaskan lahirnya ’’budaya tanding’’ di masyarakat. Masyarakat tidak bisa lagi digiring dalam aliran mengikuti jejaring infrastuktur partai. Mereka condong melihat wajah baru, figur alternatif. Ini bukan berarti harus artis tetapi siapa pun yang memenuhi kriteria alternatif.

Semua itu membuktikan putaran mesin politik untuk sementara ini adalah sia-sia jika dihadapkan pada perilaku pemilih. Masyarakat sedang membangkitkan potensi budaya tanding yang ada pada diri mereka. Ini sekaligus membuktikan karakter masyrakat Indonesia secara umum adalah melodramatrik.

Secara umum, mereka suka mengharu biru, mempunyai ingatan pendek, mudah bosan, dan cenderung mengambil sikap diametral. Dalam batasan yang lebih ekstrim, tamzilnya adalah ’’mau kaya tapi tanpa kerja, pandai tapi tidak berkarakter, beragama tapi malas berkorban, dan berpolitik tapi tanpa prinsip.’’
Dalam karakter masyarakat melodramatik yang demikian, jika dinamika politik bergerak linier, mereka akan memilih kembali pemimpin yang gagal hanya karena orang tersebut berbuat baik pada hari-hari terakhir menjelang pemilihan. Ini terjadi karena ingatan publik memang pendek.

Tetapi apabila pemimpin tersebut tidak berbuat baik, maka pemilih langsung mengambil sikap diametral. Jika incumbent itu pendiam, maka yang akan dipilih adalah yang banyak bicara. Jika ia tidak tegas, maka figur baru yang diimpikan adalah yang tegas. Mereka mudah bosan dengan penampilan.

Tetapi, kalau melihat kasus pilkada Jawa Barat dan Kota Tanggerang, Tuhan memang tidak tidur. Ternyata dalam karakter yang melodramatik tersebut, terselip juga potensi perlawanan yang luar biasa. Bahkan karakter ini ibarat dua mata pisau. Sikap mudah bosan, misalnya, ternyata bisa dijadikan katalisator bagi penguatan budaya tanding.

Wajah-wajah lama, calon-calon alternatif yang di usung oleh partai-partai menengah dan kecil. Oleh sebab itu, partai-partai besar juga harus melakukan lompatan radikal baik dalam strategi dan perekrutan kader. Tanpa langkah tersebut, konsolidasi demokrasi akan bergerak lambat (lebih bersifat artifisial daripada substantif).

Dalam karakter masyarakat melodramatik demikian, tugas kepemimpinan nasional bukan sekadar pemberikan pemenuhan pangan, sandang, papan, dan biaya kesehatan dan pendidikan yang terjangkau bagi rakyat, tetapi juga mengubah karakter masyarakat tersebut. Secara objektif, mesin ekonomi di republik ini sebenarnya sudah tersedia. Kalau pemerintah tidur saja, target pesimistis pertumbuhan 4% bisa tercapai, sehingga kalau pemerintah menyatukan tangan dan hati untuk menggerakan panel-panel produksi dan kapasitas terpasang yang idle, maka lompatan pertumbuhan ekonomi bukan hal yang luar biasa.
Character Building
Oleh sebab itu adalah keliru jika mengukur keberhasilan kepemimpinan nasional hanya sebatas capaian pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan dan pengangguran. Seorang pemimpin di republik ini hanya bisa disebut berhasil apabila mampu merengkuh capaian sosial-ekonomi tersebut dan menekan karakter melodramatik masyarakat. Artinya, membangun character building bangsa, perasaan bernegara, membangun nastion.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus menginspirasi rakyat, termasuk keberanian untuk mencari the new frontier bagi Tanah Air. Jika Jakarta sudah tidak memadai untk menjadi ibu kota dan Pulau Jawa sudah begitu sesak, pemikiran alternatif untuk memindahkan ibukota negara ke Papua, Sabang, Kaliman Tengah adalah pilihan-pilihan yang tersedia.

Jika geopolitik dan geostrategi masa depan diarahkan pada kegemilangan abad Pasifik, maka memilih Papua (Sentani) sebagi the new frontier kita adalah rasional. Sedangkan kalau kita ingin memandang Eropa sebagai orintasi baru, maka Aceh (Sabang) adalah sebuah cita-cita masa depan. Tetapi kalau Asia Tenggara adalah segala-galanya bagi Indonesia, Kalimantan Tengah (Palangkaraya), seperti digagas Bung Karno, adalah masa depan ibukota Republik.

Dengan demikian, jika seorang pemimpin hanya sibuk membangun citra diri, merasa sudah berbuat banyak, mudah mengeluh, dan menikmati kebun mawar kekuasaan --tetapi tidak menginspirasi rakyatnya-- sejatinya ia tidak memberikan sumbangan apapun bagi penguatan nasion. Tetapi jangan khawatir, masih ada hati rakyat, ada budaya tanding mereka, dan ada calon-calon alternatif. Gusti Ora Sare (Tuhan memang tidak tidur). Salam Indonesia.(77)

- Tulisan ini dibuat dalam orasi politik, pada peluncuran buku Sukardi Rinakit ’’Tuhan Tidak Tidur’’ Gusti Ora Sare

No comments:

A r s i p