Wednesday, April 16, 2008

Demi Demokrasi

Ditulis oleh : Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Group

'Boediono Lulus Tes'. Judul tegar di halaman muka sebuah harian ibu kota Selasa lalu itu mengundang komentar. Kedengarannya seperti pengumuman lulusan sekolah menengah, kata yang satu. Komentar lain, apa latar belakang, persyaratan, dan parameter yang dipakai anggota DPR? Mengapa mereka bisa menentukan yang mana lulus, yang mana tidak? Tentunya yang mereka anggap paling mampu dan mampu pula menjaga moralitas, akan lulus. Namun hasil-hasil fit and proper test masa lalu ada kalanya membuktikan lain. Mungkin sistemnya yang keliru. Beberapa yang lulus tes tujuh tahun yang lalu untuk pimpinan KPU, misalnya, masih menjadi tahanan sampai sekarang. Burhanuddin Abdullah pun lulus tes 12 Mei 2003. Sekarang DPR repot memilih penggantinya.

Demi demokrasi, kita memunculkan tradisi politik baru setelah pemerintahan Orde Baru lengser. Tokoh-tokoh yang akan memangku jabatan penting perlu melewati proses seleksi yang istilahnya kedengaran profesional, fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan, oleh DPR. Tujuannya, jangan sampai terjadi KKN seperti di masa lalu, apakah demi kepentingan partai politik ataupun kepentingan individu. Jangan tujuan baik ini hanya demi kepentingan politik jangka pendek, bukan demi kepentingan rakyat.

Dalam praktik, proses seleksi ini tidak terlalu beda dengan yang lama. Tetapi yang sekarang ini dianggap lebih terbuka. Akibatnya, ketika para calon pejabat publik menjalani proses seleksi, lewat televisi kita bisa menyaksikan bagaimana mereka dicecar pertanyaan-pertanyaan dengan cara yang kedengarannya tidak patut dan tidak layak untuk sosok semacam mereka. Mungkin karena kita belum biasa. Apakah proses semacam ini memang perlu demi demokrasi? Bagaimana pula hasilnya? Kita ingat seleksi hakim agung tahun 2003. Bagaimana kinerja Mahkamah Agung sejak itu? Maka pada umumnya, jika ditelusuri, untuk menyapu bersih, diperlukan pula sapu yang bersih, apakah pada waktu proses seleksi ataupun sesudahnya. Sekali lagi, barangkali sistemnya perlu penyempurnaan.

Berbicara tentang sapu bersih, negara demokrasi tidak mungkin terwujud bila mengabaikan elemen-elemen penting sebagai persyaratannya, antara lain eksistensi partai-partai politik yang berkembang dan mendapat pengakuan lingkungan. Juga kenyataan, masyarakat tentunya tidak gampang memberikan pengakuan. Karena pentingnya peran partai politik, masyarakat wajib selalu menyimak: bagaimana partai itu mengorganisasi dirinya, bagaimana dia menjalankan fungsinya, dari mana dananya, bagaimana memilih tokoh-tokoh pimpinannya, dan bagaimana dia mengambil keputusan. Latar belakang dan sikap anggota-anggota partai juga diteliti. Begitu pula kecenderungannya dalam hal agama, kesukuan, etnik, ekonomi, nasionalisme, dan etika. Jangan sampai menyimpang dari visi dan misi bangsa ini.

Dari sisi kepentingan demokrasi, tumbuhnya puluhan partai politik pada akhirnya akan sia-sia, kalau tujuan dan strategi keberadaannya tidak jelas dan platform satu partai tidak beda dari platform partai yang lain. Semua mengaku bertujuan menyejahterakan rakyat, tanpa rumusan jelas tentang strategi atau taktik-taktiknya. Banyak contoh dari masa lalu. Bahkan, sekarang, sejumlah partai politik (52) secara resmi telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan diverifikasi KPU. Setelah itu, masih ada lagi yang harus mereka lewati untuk lolos menjadi wakil rakyat. Mungkin berhasil, mungkin pula tidak. Tetapi apa artinya kalau pada ujung-ujungnya yang tertinggal hanya sebuah nama? Untuk pemilihan umum, negara menyiapkan lebih dari Rp10 triliun. Semua demi kepentingan rakyat.

Berkaitan dengan itu, Selasa lalu terjadi peristiwa yang untuk waktu lama akan dikenang kalangan politik maupun publik. Malahan mungkin akan menjadi bahan analisis rumit berbelit. Lewat tayangan televisi, baru pertama kali kita menyaksikan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono marah-marah melihat seorang peserta forum konsolidasi tertidur ketika Presiden sedang berbicara. Pembahasan di Lemhannas waktu itu berkisar tentang kepentingan rakyat. "Malu dengan rakyat yang memilih," kata Presiden. "Jangan main-main dengan tanggung jawab." tambahnya. Ini sanksi sosial berat bagi yang ditegur. Semoga tidak terjadi pada para wakil rakyat yang sering menikmati siesta, sedangkan yang lain sibuk berbicara tentang kepentingan rakyat. Menjadi masyarakat demokratis banyak tuntutannya.

No comments:

A r s i p