Wednesday, April 16, 2008

Ayat-Ayat Perang

Hari-hari belakangan ini Republik Indonesia diharu biru oleh film Hanung Bramantyo, Ayat-Ayat Cinta (AAC). Banyak yang sudah menonton.

Bukan hanya yang harus membayar sendirian atau sekeluarga, tetapi juga gratis atas nama "nobar (nonton bareng)".Nah,dalam barisan ini terdapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta para kepala daerah. AAC adalah produk tontonan paling massal, selain film tentang Gerakan 30 September 1965 dulu.

Kalau film Pengkhianatan G 30 S/PKI (rilis pada 1984) dibuat untuk menunjukkan bahwa komunisme itu berbahaya, maka AAC justru memperlihatkan betapa agama Islam begitu indah. Sekalipun produser dan pemain film ini tidak seluruhnya orang Islam, melainkan ada pula yang beragama Kristen dan Hindu, serta mungkin juga Buddha, tetap saja wajah Islam muncul dengan sangat menyentuh.

Itu setidaknya bagi para penontonnya. Akan tetapi, setelah menonton film itu, adakah yang berubah dalam dunia politik,sekalipun ditonton oleh para tokoh politik? Tunggu dulu! Belum tentu! Justru yang naik ke permukaan adalah gairah politik yang menaik. Libido kekuasaan yang meninggi.

Disertai teguran dan kemarahan, saling sindir,dan nyinyir sendiri. Yang justru keluar adalah ayatayat perang (AAP).Lihat saja perseteruan dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa.Juga jumpalitan pendaftaran verifikasi partai politik peserta Pemilu 2004 di Komisi Pemilihan Umum. Yang keluar adalah kebenaran versi masing-masing. Belum lagi pilkada demi pilkada yang menawarkan program- program luar biasa,betapa para kandidat yang maju bisa mengangkat derajat orang miskin, pengangguran, dan tidak berpendidikan. ***

Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa tidak ada yang baik di dunia politik. Ada banyak kebaikan di dalamnya kalau dikerjakan dengan penuh kebajikan.Tetapi,kebajikan politik itu semakin hari kian digerus oleh tujuan-tujuan jangka pendek. Sekadar berkuasa, setelah itu tiada.Sebut saja apa ada primadona baru di dunia politik dalam sepuluh tahun terakhir ini?

Sulit menemukannya. Kalaupun ada, tentu orang itu merasa dirinya sebagai primadona. Mau tidak mau, masyarakat menjadi pesimistis dengan politik. Ada yang menilai bahwa ini keberhasilan depolitisasi dalam era demokratisasi. Masyarakat justru membenci dunia politik ketika tiada hari tanpa politik. Apa benar demikian? Sangat tergantung dari perspektif kita masingmasing.

Bagi saya, jauh lebih baik era kebebasan politik sekarang ketimbang era ketertutupan politik sebelumnya, ditinjau dari sudut kemelimpahan informasi. Saya tidak yakin bahwa politiklah yang menjadi pangkal sebab dari kelangkaan pangan di sejumlah daerah. Yang saya percayai adalah betapa sumber dari kelangkaan itu berasal dari pengabaian oleh penyelenggara negara atas persoalan terpenting, yakni hajat hidup orang banyak. Ini lebih karena disorientasi pemerintah atas apa yang hendak dilakukan.

Kebanyakan yang ditempatkan sebagai faktor penting adalah bagaimana memilih orang, bukan bagaimana mengendalikan orang itu ketika terpilih. Disorientasi itu muncul karena orang-orang politik juga bergaul dengan orang-orang politik lain.Pemerintah lebih sibuk memerhatikan apa yang dikatakan oleh parlemen,sementara parlemen tertuju pada perkataan pemerintah. Suara-suara publik, rintihan pada malam-malam hening akibat kelaparan,jarang didengarkan,saking sibuknya rapat dan rapat. Kepedulian adalah inti dari politik.

Dalam perspektif yang lebih luas, kepedulian itu terletak pada asas humanisme universal dalam sila pertama Pancasila dan keadilan sosial pada sila kelima Pancasila. Entahlah, dalam setiap pasal persyaratan calon anggota legislatif dan eksekutif,serta lainnya, selalu saja tercantum penghayatan atas Pancasila dan UUD 1945. Tetapi substansi kemanusiaan dan keadilan sosial selalu saja terlupakan. ***

Kalau AAC berhadapan dengan AAP, maka yang dulu pernah muncul juga akan diungkap kembali, yakni Ayat-Ayat Setan (AAS). Nah, ini yang terjadi dengan film Fitna. Film ini mengingatkan orang Indonesia akan Salman Rusdhie.Para fanatikus AAC dan penyuka AAP, secara bersamasama akan langsung mengutuk AAS. Boleh dikatakan betapa persekutuan itu selalu berhasil.

Rakyat juga akan ikut dalam jumlah besar mengamini kutukan dari Pemerintah Indonesia dan usaha internasional untuk menghentikan peredaran film Fitna. Saya tentu tidak ingin berpendapat soal ini terlalu jauh. Saya hanya ingin menghadirkan sebuah logika, betapa arus besar publik akan diikuti oleh para politikus.Kalau ada satu juga orang secara serentak mengatakan bahwa pendidikan murah itu penting, siapa pun yang menjadi pejabat publik akan mengatakan hal yang sama.

Begitu pula kalau ada satu juta orang secara aktif mengatakan bahwa perpustakaan desa itu adalah program yang dinantikan,maka seluruh tokoh politik akan mengamininya juga. Logika lain, kalau ada perseteruan di kalangan politisi, mereka berkeyakinan bahwa itu hanya tontonan sesaat.

Besok, rakyat melupakan itu, ketikayel-yelkampanye mulaidisusun, mars partai politik berkumandang,lalu warna-warni bendera berkibar-kibar di kantor-kantor KPU dan KPU daerah. Orang yang berseteru akan dilupakan, digantikan dengan pelebih-lebihan atas simbol-simbol yang dianggap penting seperti bendera, warna, dan nomor urut. Dengan segala rupa pencitraan yang dimainkan, rakyat akan dipaksa terhipnotis untuk memilih pilihan dari partai politik itu.

Berikutnya, kalau ada kegagalan komunikasi politik kalangan elite, keresahan meningkat dan kelaparan mulai terdengar lagi satu dan dua,maka tinggal dicarikan musuh bersama. Itu banyak jumlahnya. Fitna adalah salah satunya-sekalipun memang film ini pantas dikutuk, tetapi tidak perlu sampai selevel presiden yang mengatakan itu-serta komunisme pada tataran yang lain.

Kalau tidak ada juga,masih ada Ahmadiyah,kelompok separatis,Malaysia,agen-agen Yahudi, teroris,AS,Bank Dunia,atau seseorang yang dituduh menyebarkan ajaran sesat di komunitasnya. (*)

Indra Jaya Piliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p