Saturday, April 19, 2008

Pemimpin Bicara, Rakyat Tertidur

/ Kompas Images
oom pasikom
Sabtu, 19 April 2008 | 00:38 WIB

Rhenald Kasali

Benarkah perubahan cepat yang dialami Indonesia dewasa ini telah membuat rakyat sulit mendengarkan? Sudah tiga kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berang melihat tamu-tamunya tertidur saat mendengarkan pidatonya di Istana Negara.

Ada indikasi kuat, para tamu terhormat itu sudah terbiasa berpidato ditinggal tidur audience-nya. Di DPR, suara rakyat pun banyak yang tidak didengarkan. Mereka sibuk berbicara, tetapi saat menteri menjawab, sebagian besar penanya sudah menghilang.

Dalam kampanye politik, situasinya tak jauh berbeda dengan demonstrasi yang digelar para tokoh publik di bundaran Hotel Indonesia. Jika tidak diiming-imingi duit atau kaus, yang ikut berbaris bisa dihitung dengan jari. Para menteri yang membawa misi dagang ke luar negeri pun kesulitan. Mereka yang diajak promosi tidak mau mendengarkan, apalagi ikut.

Malas mendengarkan

Sulitnya berbicara di publik bukan cuma urusan pejabat. Presenter CNN, Lary King, bahkan pernah menyatakan, banyak perempuan yang merasa lebih nyaman melahirkan (disaksikan 1-2 dokter) daripada berbicara di depan publik.

Namun, di era perubahan, mendengarkan jauh lebih sulit. Jika cuma mendengar, tentu tak sulit sebab telinga selalu terbuka. Namun, mendengarkan butuh pikiran, untuk itu diperlukan energi amat besar.

Jauh sebelum Presiden mengeluhkan tamu-tamunya yang tertidur, pakar komunikasi McGregor pernah mengingatkan (1970), manusia adalah makhluk yang malas. Kita malas mendengarkan jika yang bicara tidak benar-benar mampu membujuk (persuasif). Maka McGregor tidak menyalahkan pendengar jika mereka tertidur sebab secara alamiah manusia benar-benar malas mendengarkan.

Mendengarkan, merupakan upaya yang memerlukan energi dan konsentrasi. Energi bisa hilang di jalan karena kemacetan lalu lintas, amarah, dan berbagai masalah pekerjaan. Sementara konsentrasi ditentukan oleh daya persuasi pemimpin, gangguan-gangguan informasi, desain ruangan, pencahayaan, kualitas suara, dan intonasi serta protokoler.

Bayangkan, apa jadinya mendengarkan sesuatu dalam keadaan yang penuh gangguan. Semakin sulit mendengarkan dan semakin mudah tertidur.

Era perubahan

Era perubahan ditandai dengan presentasi multimedia yang kaya ilustrasi. Kecepatan menjadi sangat penting. Lihatlah presenter-presenter dan dialog-dialog di televisi. Semua berbicara sangat cepat dalam hitungan detik. Tidak ada tempat lagi bagi narasumber yang lemot (lemah otak) atau laksmi (lambat mikir).

Intonasi suara yang naik-turun berirama secara ekstrem, bahkan berteriak, menjadi penentu apakah penonton memindahkan channel-nya atau tidak.

Mereka juga tampil lebih muda, lebih modis, lebih berani dengan warna, jokes, contoh, bahkan konflik dan drama. Terus terang, spontan, dan bicara tanpa teks.

Seorang tak akan dibiarkan bicara sendiri bermenit-menit. Selalu saja ada yang memotong pembicaraan.

Sehari-hari masyarakat juga mulai terbiasa berkomunikasi cepat dengan kalimat-kalimat pendek (SMS). Di luar itu, berita-berita digital dan lebih menghibur mengepung masyarakat. Semua lebih singkat, lebih cepat, lebih menarik. Suka atau tidak suka, kebiasaan baru masyarakat mendengar yang demikian telah membentuk cara baru berkomunikasi.

Bagaimana para pejabat pemerintah kita berbicara?

Jujur, harus kita katakan, mereka semua mengabaikan berbagai tuntutan perubahan itu. Pidatonya panjang, bertele-tele, terlalu banyak basa-basi dan nasihat, serta disampaikan sambil membaca dan tanpa ekspresi. Kecepatannya lamban, intonasinya lemah, tidak ada interaksi, sementara penampilannya serius dan kaku.

Kalau para pejabat publik mengabaikan semua itu, bisa dibayangkan bagaimana mereka mengurus pembangunan. Semua orang bicara sendiri-sendiri dan tidak ada lagi yang mendengarkan. Tensi meninggi, amarah tak terkendali, respek memudar karena kita mendengar hanya karena terpaksa.

Jangan terkejut bila rakyat lebih memilih dipimpin selebriti yang mengerti perubahan dan lancar berkomunikasi daripada politisi yang kurang memahami denyut nadi perubahan.

Reformasi keprotokolan

Kegagalan komunikasi para pemimpin dan gagalnya rakyat mendengarkan, sebenarnya tidak lepas dari gagalnya reformasi keprotokolan dalam beradaptasi dengan perubahan. Protokol telah menjadi sebuah ”komunitas pedalaman” yang pekerjaan sehari-harinya rutin, dan kalau ditanya mengapa harus demikian aturannya, jawabnya adalah karena kemarin juga demikian.

Presentasi dan pidato pemimpin dibuat tegang, kaku, dan tertulis secara runtut, dengan metode cut and paste, sehingga semua pembukaan dan penutupannya sama. Pemimpin seakan-akan dipenjara dan dibelenggu dengan aturan-aturan protokol dan tradisi yang dibuat satu-dua dekade lalu.

Pemimpin yang terbelenggu pun mengikuti semua itu dengan patuh sehingga administrasinya bagus, tetapi rakyatnya malas mendengarkan. Kalau pejabat yang berwenang berhalangan, penggantinya wajib membacakan teks yang sudah disiapkan. Hanya membacakan saja. Padahal, pemimpin perlu sadar konteks, mendengarkan sebelum berbicara.

Protokol zaman sekarang dituntut lebih cerdas, mendorong agar pemimpinnya sadar konteks dan membiasakan berpidato tanpa membaca, tetapi tetap bisa berbicara ringkas, padat, cepat, berirama, dan interaktif.

Hanya inilah yang bisa menyelamatkan respek masyarakat terhadap pemimpinnya. Ayo bongkar kebiasaan lama yang sudah ketinggalan zaman sampai tuntas. Pemimpin jangan lagi lemot dengan pidato sambil membaca teks.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p