Rabu, 2 April 2008 | 00:37 WIB
Oleh Dita Indah Sari
Komisi Pemberantasan Korupsi bergerak cepat. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan segera diikuti dengan penahanan dan penggeledahan sejumlah ruangan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung berikut rumah kediaman Sjamsul Nursalim (Kompas, 4/3). Penangkapan ini tentu adalah aib, bukan saja bagi Kejagung, tetapi juga bagi segenap jajaran birokrasi penegakan hukum, bahkan bagi pemerintahan SBY.
Kebobrokan birokrasi di republik kita sudah jamak dirasakan, telah mendarah daging dan berurat akar. Bagaimana mungkin birokrasi bisa mengurus keperluan publik jika mengurus dirinya sendiri saja tidak mampu? KKN, struktur yang gemuk dan tidak efisien, profesionalisme rendah, minimnya gaji, dan cara pandang feodal merupakan wajah publik birokrasi kita, apa pun bidangnya. Reformasi birokrasi pun kemudian menjadi soal mendesak yang banyak dibahas serta menjadi salah satu program pemerintah.
Pembentukan komisi
Reaksi terhadap kekacauan birokrasi kemudian melahirkan gagasan pembentukan berbagai komisi yang juga dikenal sebagai lembaga negara independen. Komisi-komisi ini diharapkan dapat melakukan check and balances serta memelopori penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efektif. Komisi-komisi ini juga diharapkan dapat mem-by-pass belitan kusut proses birokrasi sehingga dalam jangka panjang dapat mewujudkan reformasi birokrasi.
Namun, belakangan muncul keluhan soal efektivitas komisi-komisi ini. Selain terlihat ada upaya dari kekuasaan (pemerintah dan DPR) untuk menggergaji otoritasnya, sejumlah komisi sedari awal memang tidak dilengkapi dengan wewenang besar. Beberapa komisi memang kokoh berdiri di atas pijakan UU yang disahkan oleh DPR, tetapi sejumlah lainnya ditetapkan hanya oleh keppres. Komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dipersenjatai dengan wewenang untuk menyusun peraturan, memeriksa, memberi putusan yang mengikat, bahkan menjatuhkan sanksi. Namun, tidak sedikit komisi yang hanya berhak memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah. Komnas HAM merupakan contoh lembaga yang wewenang puncaknya sekadar memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung tentang kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pendirian berbagai badan ini pada era reformasi (50 lembaga/ komisi negara dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen) seakan menciptakan birokratisasi baru. Meskipun dimaksudkan sebagai ”tandingan” atau ”pengimbang” terhadap birokrasi yang ada, dalam praktiknya memang menciptakan prosedur dan formalitas baru.
KPK dan Komnas HAM
Di sisi lain, gebrakan KPK di Kejaksaan Agung memberikan bukti bahwa auxillary bodies atau lembaga tambahan dapat berfungsi sangat efektif jika memiliki otoritas besar. Wewenang KPK yang setara dengan Kejaksaan Agung dalam soal korupsi membuatnya dapat bertindak cepat dan tuntas, mulai dari menyelidiki hingga membawa kasusnya ke pengadilan. Demikian juga hukuman KPPU terhadap Temasek Holdings untuk melepaskan selu- ruh saham di Telkomsel dan Indosat serta membayar denda yang bersifat otoritatif. Hampir mustahil birokrasi resmi pemerintah saat ini berani melakukan kedua hal di atas. Lebih mustahil lagi bagi komisi-komisi yang ada untuk sanggup menjalankan ini tanpa wewenang yang besar.
Kewenangan Komnas HAM yang terbatas membuat begitu banyak kemacetan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Tanpa otoritas untuk melakukan penyidikan dan penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK, upaya Komnas HAM untuk memeriksa berbagai petinggi negara juga mudah dimentahkan. Padahal, hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM biasanya sudah sangat kuat. Pascapembatalan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, sangat wajar jika untuk mengisi kekosongan yang ada, otoritas Komnas HAM-lah yang diperkuat dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keberadaan komisi-komisi tanpa pengokohan wewenangnya tidak akan menyumbang banyak dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Sebaliknya, penguatan dan perluasan KPK menjadi suatu keharusan. Untuk saat ini KPK dapat dianggap sebagai ujung tombak membenahi birokrasi yang tercemar. Sudah saatnya KPK dibentuk di daerah- daerah, minimal hingga tingkat provinsi. Dengan otoritas besar, proses seleksi yang ketat tetapi wilayah kerja yang lebih kecil, KPK di daerah-daerah dapat menjadi tulang punggung pemberantasan KKN dalam birokrasi pemerintah daerah. Penggabungan beberapa komisi pun dapat menjadi pilihan jika dinilai dapat membuat proses pengawasan dan penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi pada intinya menuntut keberanian politik. Penguatan otoritas komisi/ lembaga negara yang strategis, KPK, Komnas HAM, KPPU, dan sebagainya, bergantung pada seberapa besar pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk membenahi birokrasinya. Reformasi birokrasi pada era reformasi ini dengan sekadar mengandalkan tindakan ad-hoc tidak akan menghasilkan perubahan mendasar.
Dita Indah Sari MPP Papernas
Wednesday, April 2, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A r s i p
-
▼
2008
(408)
-
▼
April
(114)
- Keterangan Pers KPU Mengenai Rencana Anggaran Pemi...
- Menghapus Pilkada Langsung
- DAFTAR NAMA SEMENTARA PARTAI POLITIK
- Pilpres 2
- Pilpres Putaran 1
- Peserta Pemilu 2004
- Pemilu 2004
- Puisi Tidak utk DPR
- Satu Perempuan, Satu Generasi
- Survei Pengusaha
- Survei LSM
- Survei Parpol ( Punggawa Politik )
- Dominasi Partai Golkar dan PDI-P Berakhir
- Rakyat Menuntut Perubahan
- Negeri Para Mafioso
- QUICK COUNT PILKADA JABAR
- LSN: Keok di Dua Pilkada, Golkar Tetap Favorit 2009
- Keok di Dua Pilkada
- Mencari Pemimpin Republik
- Survei Akademisi
- Survei LSM
- Survei Pengusaha
- Survei Parpol
- Pemimpin yang Pantas
- Siapakah Rakyat Itu Sebenarnya?
- Pemimpin Bicara, Rakyat Tertidur
- Pilkada, Embrio Koalisi Permanen
- Pemilu 2009
- Kalah di Beberapa Pilkada, Golkar Optimistis
- POLITIKA
- Parpol Harus Berani Munculkan Tokoh Alternatif
- Menghapus Jejak Berdarah
- Kuasa Modal dan Reforma Agraria
- Retorika Negara Kesejahteraan
- Reformasi Politik
- BUDAYA TANDING
- Ketua BPK : Memangnya MA Lembaga Penitipan Uang?
- Gusti Ora Sare
- KAUM AKTIVIS KEBABLASAN
- PERUBAHAN SIGNIFIKANSI POLITIK ALIRAN
- Demi Demokrasi
- Golkar di Mata Publik
- Mengelola Turbulensi Politik Partai
- Artis Merambah Dunia Politik
- Regenerasi Kepemimpinan Bergairah
- Ayat-Ayat Perang
- Tragedi Demokrasi di Tubuh PKB
- Memuseumkan Pemilu
- Demokrasi Tak Terpimpin
- Ingin Bertahan Lima Tahun
- Anwar Goyang Posisi UMNO
- Demokrasi Politik dan Ekonomi Harus Sejalan
- Kebebasan Informasi
- Posisi DPR Kuat, Korupsi Marak
- TAJUK RENCANA
- HAM dan Kedewasaan Bangsa
- Pemasaran Partai Politik
- POLITIKA
- ANALISIS POLITIK
- Survei Pascapencoblosan
- GOSSIP JALANAN ( SLANK )
- KEBEBASAN PERS
- 27 Parpol Daftarkan Diri
- SBY: Sinergi di Kabinet Mengkhawatirkan
- Mencari Roh
- POLITIKA
- Hilangnya Roh Keutamaan
- Transparansi Sepenuh Hati?
- Gus Dur: Muhaimin Mundur, Otomatis Muktamar Luar B...
- Tak Ada Angin Bahas Posisi Muhaimin Sebagai Wakil ...
- Ali Masykur Akan Tanda Tangani Surat Atas Nama Ket...
- Konsolidasi Kubu Muhaimin Berlanjut
- Mengapa Gus Dur Tunda Tunjuk Pjs Ketua Umum PKB?
- Musyafa' Buka-bukan Soal Yenny - Sigid di Muspim P...
- Muspim Dukung Cak Imin Reshuffle Pengurus DPP PKB
- Lily Wahid: Gus Dur dan Yenny Dimainkan Orang Lain
- Dukung Imin, 100 Kiai Minta PBNU Turun Tangan
- Demi Ayat-ayat (Cinta) Konstitusi
- Calon Perseorangan
- Kisruh PKB (2)
- Kisruh PKB (1)
- Pengurus Golkar Jateng Lebih Gemuk
- Moeslim Abdurrahman: Apa Kekuatan Saya di PKB?
- Manusia Setengah Dewa (2)
- TAJUK RENCANA
- Perseorangan, Paling Cepat Juli
- Negeri yang Lapar
- Negara Gagal?
- Perselisihan Bush-Putin Kian Meruncing
- Manusia Setengah Dewa
- Muhaimin Iskandar:
- Dipecat Gus Dur Itu Rahmat
- Partai Kebangkitan Bangsa
- Menimbang Ramalan Jayabaya
- Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi
- Reformasi Birokrasi Bukan Birokratisasi Reformasi
- Perseorangan Bisa Ikut Setelah UU Sah
- Perseorangan Bisa Ikut Setelah UU Sah
- Hasyim: Parpol Islam Tak Laku Sampai Kapanpun
- Republik Ini Butuh Pemimpin, Bukan Majikan
-
▼
April
(114)
No comments:
Post a Comment